Hai. Sudah berapa lama? Aku bahkan sampai lupa waktu, seberapa lama aku mempertahankan semuanya dengan rasa yang masih sama, tak berkurang sedikitpun. Sekalipun aku sadar, dirimu pun telah lama mengesahkan bahwa semua tidak akan pernah berlanjut lagi. Dalam bentuk apapun, dalam kesempatan apapun.
Kuatkah kamu disana? Ah, betul. Waktu begitu cepat berlalu dan aku rasa bagimu melupakan semuanya juga begitu cepat. Lenyap. Tanpa bekas. Pasalnya, bagiku lagi-lagi itu tidak mudah. Aku telah terlalu banyak menghabiskan kenangan sambil menunggu waktu yang tepat, hingga saatnya tiba, ternyata semua tidak seperti yang aku impikan. Kehadiranmu tak pernah lagi kujumpai. Sampai sekarang.
Aku bahkan kamu saling berbagi cerita, sedekat itu, bahkan untuk terakhir kalinya pun kamu katakan, pertemanan akan tetap diusahakan. Bagimu itu tetap paling yang terpenting. Tidak akan pernah hilang biar saja perasaan yang menghilang. Kenyataannya, aku menelan itu sendirian, seakan-akan dirimu amnesia atau bahkan sedetikpun belum pernah mengenalku, tentang semuanya. Kamu tidak secara gamblang katakan untuk menjauhiku, tapi yang aku temui adalah diriku tak diberi kesempatan untuk dekat seperti dulu.
Demi Tuhan, melihat sosok dengan jaket, jam tangan, dan tas selempang kecil dihadapanku membuyarkan ketangguhan air mataku lagi. Apa kamu sehat? Baik-baik saja kah? Terakhir kamu doakan aku untuk bisa mendapatkan pekerjaan baru yang aku inginkan, dan belum sempat aku ceritakan padamu, tapi aku berhutang doa padamu, bisa jadi doamu salah satu doa-doa yang dia kabulkan untukku.Demi apapun, aku tetap mendoakanmu sampai detik ini.
Mungkin kehadiranku dalam hidupmu justru mengacaukan semua rencana indah yang kamu siapkan. Perjumpaan kita pun, yang aku tahu itu takdir Tuhan, lantas aku bisa apa jika yang aku rasakan memang murni datang dengan sendirinya tanpa dibuat-buat, tanpa dipaksa? Destiny can’t be changed. Nggak akan pernah bisa berubah. Mungkin kita hanya sekedar dipertemukan, bukan dipersatukan. Sekalipun aku harus kehilanganmu untuk kedua kalinya dan mungkin pula ini untuk yang selamanya.
Ketahuilah, aku bahkan tak pernah bisa membencimu. Sedikitpun. Apapun yang sudah kamu lakukan padaku, entah rasanya itu tidak berhasil pula menjadi alasan untuk membenci. Iya, Sedetik waktu bersamamu adalah keniscayaan akan rasa bahagia. Sungguh aku merindukanmu meski aku tahu dirimu telah ada di sudut yang paling jauh dari pandanganku. Keinginanku yang terus menjadikan “harapan” hati untuk berteriak, “jangan menyerah! Sebentar lagi kamu bakal dipertemukan lagi kok!”, sejenis keinginan untuk bisa menjadi sosok yang terus bisa mendampingimu, menyemangatimu dalam meraih impian-impianmu, yang siap merengkuhmu jika kamu lelah dan jatuh, yang siap membelamu jika kamu tersudut, aku rasa, mau tidak mau aku harus menghapusnya. Sedikit demi sedikit. Secara permanen.
Memunculkan sosokmu dalam pikiranku selalu membuat dadaku sesak. Sesak karena aku gagal memenuhi impianku. Sesak karena sesungguhnya aku bukanlah akhir dari perjalananmu. Maafkan aku jika tidak berani mengeluarkan perasaan secara langsung padamu, diriku memang seperti ini. Payah. Tapi ketahuilah, terkadang kata-kata yang kutulis adalah tentang doa dan harapan untuk bahagiamu yang tak mampu aku ucapkan.
Tidak apa.
Kau tahu?
Aku berterima kasih padamu. Karenamu aku memang terjatuh, namun Tuhan juga membangkitkan aku. Karenamu aku paham, cinta ini tumbuh karena-Nya dan datang dari-Nya. Dia berikan kejadian ini untuk membangunkanku bahwa cinta-Nya jauh lebih besar, jauh lebih luas untukku.
Kau tahu?
Bagimu aku bisa jadi tampak bodoh tapi aku berterima kasih padamu. Kamu menyadarkanku bahwa Tuhan sesungguhnya mungkin telah siapkan yan terbaik untukku dan pastinya untukmu juga. Yang akan mau menghargaiku sebagai wanita, yang akan menganggapku sebagai wanita yang harus dia jaga kehormatannya. Bukan yang seharusnya aku kejar hingga tega menyakiti hati sendiri yang bahkan dirimu sendiri tak ingin aku kejar, tak ingin aku pertahankan.
Kamu tahu?
Terima kasih telah menghilang dan pergi dariku meskipun aku merindukanmu. Kepergianmu menyadarkan aku agar terus menjadi wanita yang hebat. Mengalami penolakan bukan suatu hal yang baru untukku, bahkan dari kecil aku sudah merasakannya. Memiliki perasaan terhadap orang lain pun sungguh bukan suatu hal yang mudah bagiku dengan “takdir kepribadian” ini. Bahkan menunggu selama itu demi apapun bukan suatu hal yang mudah dilakukan dan bukan hal mudah pula untuk diupakan saat ini. Tapi dengan kepergianmu lah mengingatkan aku pada Tuhan. Kepergianmu mendekatkan aku pada-Nya, bahwa apapun yang akan terjadi nanti padaku dan padamu adalah jalan yang terbaik dari-Nya. Jika memang takdir-Nya, aku yakin kita akan dipertemukan lagi untuk terkahir kalinya dan selama-lamanya untuk sebenar-benarnya bersama. Destiny can’t be changed, right. Dan jika ada kesempatan seperti itu lagi, maukah kamu ‘meyakinkannya’ untuk kali itu?
Kamu tahu?
Terima kasih atas semua waktumu bersamaku.
Aku jauh lebih bahagia mencintai-Nya.
Sekarang.
(1 April 2015)
Kuatkah kamu disana? Ah, betul. Waktu begitu cepat berlalu dan aku rasa bagimu melupakan semuanya juga begitu cepat. Lenyap. Tanpa bekas. Pasalnya, bagiku lagi-lagi itu tidak mudah. Aku telah terlalu banyak menghabiskan kenangan sambil menunggu waktu yang tepat, hingga saatnya tiba, ternyata semua tidak seperti yang aku impikan. Kehadiranmu tak pernah lagi kujumpai. Sampai sekarang.
Aku bahkan kamu saling berbagi cerita, sedekat itu, bahkan untuk terakhir kalinya pun kamu katakan, pertemanan akan tetap diusahakan. Bagimu itu tetap paling yang terpenting. Tidak akan pernah hilang biar saja perasaan yang menghilang. Kenyataannya, aku menelan itu sendirian, seakan-akan dirimu amnesia atau bahkan sedetikpun belum pernah mengenalku, tentang semuanya. Kamu tidak secara gamblang katakan untuk menjauhiku, tapi yang aku temui adalah diriku tak diberi kesempatan untuk dekat seperti dulu.
Demi Tuhan, melihat sosok dengan jaket, jam tangan, dan tas selempang kecil dihadapanku membuyarkan ketangguhan air mataku lagi. Apa kamu sehat? Baik-baik saja kah? Terakhir kamu doakan aku untuk bisa mendapatkan pekerjaan baru yang aku inginkan, dan belum sempat aku ceritakan padamu, tapi aku berhutang doa padamu, bisa jadi doamu salah satu doa-doa yang dia kabulkan untukku.Demi apapun, aku tetap mendoakanmu sampai detik ini.
Mungkin kehadiranku dalam hidupmu justru mengacaukan semua rencana indah yang kamu siapkan. Perjumpaan kita pun, yang aku tahu itu takdir Tuhan, lantas aku bisa apa jika yang aku rasakan memang murni datang dengan sendirinya tanpa dibuat-buat, tanpa dipaksa? Destiny can’t be changed. Nggak akan pernah bisa berubah. Mungkin kita hanya sekedar dipertemukan, bukan dipersatukan. Sekalipun aku harus kehilanganmu untuk kedua kalinya dan mungkin pula ini untuk yang selamanya.
Ketahuilah, aku bahkan tak pernah bisa membencimu. Sedikitpun. Apapun yang sudah kamu lakukan padaku, entah rasanya itu tidak berhasil pula menjadi alasan untuk membenci. Iya, Sedetik waktu bersamamu adalah keniscayaan akan rasa bahagia. Sungguh aku merindukanmu meski aku tahu dirimu telah ada di sudut yang paling jauh dari pandanganku. Keinginanku yang terus menjadikan “harapan” hati untuk berteriak, “jangan menyerah! Sebentar lagi kamu bakal dipertemukan lagi kok!”, sejenis keinginan untuk bisa menjadi sosok yang terus bisa mendampingimu, menyemangatimu dalam meraih impian-impianmu, yang siap merengkuhmu jika kamu lelah dan jatuh, yang siap membelamu jika kamu tersudut, aku rasa, mau tidak mau aku harus menghapusnya. Sedikit demi sedikit. Secara permanen.
Memunculkan sosokmu dalam pikiranku selalu membuat dadaku sesak. Sesak karena aku gagal memenuhi impianku. Sesak karena sesungguhnya aku bukanlah akhir dari perjalananmu. Maafkan aku jika tidak berani mengeluarkan perasaan secara langsung padamu, diriku memang seperti ini. Payah. Tapi ketahuilah, terkadang kata-kata yang kutulis adalah tentang doa dan harapan untuk bahagiamu yang tak mampu aku ucapkan.
Tidak apa.
Kau tahu?
Aku berterima kasih padamu. Karenamu aku memang terjatuh, namun Tuhan juga membangkitkan aku. Karenamu aku paham, cinta ini tumbuh karena-Nya dan datang dari-Nya. Dia berikan kejadian ini untuk membangunkanku bahwa cinta-Nya jauh lebih besar, jauh lebih luas untukku.
Kau tahu?
Bagimu aku bisa jadi tampak bodoh tapi aku berterima kasih padamu. Kamu menyadarkanku bahwa Tuhan sesungguhnya mungkin telah siapkan yan terbaik untukku dan pastinya untukmu juga. Yang akan mau menghargaiku sebagai wanita, yang akan menganggapku sebagai wanita yang harus dia jaga kehormatannya. Bukan yang seharusnya aku kejar hingga tega menyakiti hati sendiri yang bahkan dirimu sendiri tak ingin aku kejar, tak ingin aku pertahankan.
Kamu tahu?
Terima kasih telah menghilang dan pergi dariku meskipun aku merindukanmu. Kepergianmu menyadarkan aku agar terus menjadi wanita yang hebat. Mengalami penolakan bukan suatu hal yang baru untukku, bahkan dari kecil aku sudah merasakannya. Memiliki perasaan terhadap orang lain pun sungguh bukan suatu hal yang mudah bagiku dengan “takdir kepribadian” ini. Bahkan menunggu selama itu demi apapun bukan suatu hal yang mudah dilakukan dan bukan hal mudah pula untuk diupakan saat ini. Tapi dengan kepergianmu lah mengingatkan aku pada Tuhan. Kepergianmu mendekatkan aku pada-Nya, bahwa apapun yang akan terjadi nanti padaku dan padamu adalah jalan yang terbaik dari-Nya. Jika memang takdir-Nya, aku yakin kita akan dipertemukan lagi untuk terkahir kalinya dan selama-lamanya untuk sebenar-benarnya bersama. Destiny can’t be changed, right. Dan jika ada kesempatan seperti itu lagi, maukah kamu ‘meyakinkannya’ untuk kali itu?
Kamu tahu?
Terima kasih atas semua waktumu bersamaku.
Aku jauh lebih bahagia mencintai-Nya.
Sekarang.
(1 April 2015)