Rabu, 17 September 2014

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 19

"Saya khawatir, dia akan menderita Pistanthrophobia."
"Maaf itu apa?"
"Itu sejenis phobia atau ketakutan untuk mempercayai seseorang karena pengalaman negatif atau buruknya di masa lalu. Semoga saja sih tidak. Terus ajak dia berbicara supaya dia terbuka untuk menceritakan apa yang disukainya dan yang tidak disukainya."

Setidaknya itu yang sempat aku dengar diam-diam, dan pada saat yang sama, ibu saya diam dan tertegun dengan wajah yang aku sebut 'kesedihan'.

Aku sendiri diam setelah mendengarnya. Jelas aku tidak mau dianggap seperti itu, tapi, ah semoga tidak.

Itu beberapa tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

***

"Nak, kamu kenapa?"
Aku menggeleng pelan, "Nggak kok. Nggak ada apa-apa."
Ayahku menatapku sekilas, mendiamkan aku beberapa menit, "Nak, ayah tau kamu ada masalah. Biar bagaimanapun orang tua pasti tahu kalau anaknya ada apa-apa. Kamu kenapa? Bilang sama ayah."
Aku menggeleng untuk kedua kalinya.
Ayahku meninggalkanku sendirian.

Selang beberapa jam kemudian, suara ayah mengagetkanku. "Ayah tahu kamu sulit bercerita tentang apapun, ceritalah, nak. Ayah tahu ada yang kamu pendam."

Entah mengapa, aku ingin menangis, aku tidak kuat lagi, "Tadi aku sama teman-teman sekelas mau janjian jenguk teman yang lagi dirawat. Aku datang paling awal, aku yang sewa angkutan umum, tapi berhubung yang ikut banyak, aku nggak kebagian duduk. Aku tau, aku nggak apa-apa, tapi.. tapi ayah pasti tau juga kalau tadi hujan deras banget. Dan aku basah kuyup, pulang gitu aja."

Itu waktu aku duduk dikelas satu SMP.

"Kamu. Jangan terlalu baik sama orang lain, nanti kamu yang dimanfaatin."
"Iya, tapi kalau memang begini, mau diapain lagi?"
"Hahaha, Biar bagaimanapun kamu harus tahu, mana orang yang bisa kamu percaya memang membutuhkan kamu dan mana yang hanya sekedar memanfaatkan kamu."
"Kalau nolong orang bukannya nggak perlu alasan ya?"
"Iya sih, tapi kalau keseringan juga, nanti kamu malah nyiksa diri sendiri. Kalau kamu ada masalah, cerita aja ke aku. Nggak apa-apa. Aku siap mendengarkan."
Aku hanya balas dengan senyuman.
"Percaya deh sama aku. Aku akan ada buat kamu, saat kamu butuh."

Dan sekarang orang itu entah ada kabarnya atau tidak.

"Kamu, nggak tahu kenapa, rasanya aku punya perasaan yang lebih sama kamu."
Tidak kujawab.
"Aku lagi nggak bisa percaya sama lawan jenis."
"Oke, nggak masalah, nanti kamu akan percaya sama aku sedikit demi sedikit,"

Dan aku ditinggalkannya begitu saja. Tanpa alasan.
Tapi itu dulu, dan sayangnya sekarang terjadi lagi.

***

Aku suka hujan, aku lebih suka menikmati dibonceng naik motor atau ketika naik kendaraan umum memilih duduk di pojok atau dekat jendela. Karena pada saat itulah aku menikmati kesendirianku, karena pada saat itulah, jika aku tidak mampu menahan kesedihan, aku bebas mengeluarkan air mata tanpa ada orang yang peduli dengan keadaanku. Seperti saat ini, hujan sedikit deras, tapi aku suka, aku lagi-lagi ditinggal orang tanpa alasan yang aku ketahui dengan jelas, tanpa pembalasan maaf yang setara. Ditinggal begitu saja, dalam sekejap.

"Kamu tahu? Untuk pertama kalinya aku merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Percaya pada orang lain lebih dari apapun, sekalipun aku baru pertama kalinya bertemu sama kamu. Dan itu sungguh langka"

Sangat langka. Sungguh. Dan itu untuk kamu. Tapi...

Aku mengusap air mata dengan lengan bajuku, biar bagaimanapun, mungkin saja orang lain akan melihat aku yang tiba-tiba saja menangis begini, bukan?

"Aduh, maaf. Aku nggak sengaja. Betulan aku nggak sengaja."
"Bohong! Kamu coret muka aku seenaknya, aku aduin kamu ke kepala sekolah."
Aku diam, mau menangis. Aku tahu, dia anak salah satu orang tua penyumbang terbanyak dana sekolahan, dan memang dekat dengan kepala sekolahku.
Aku kabur, naik jjemputan yang sudah datang. Aku pikir hidupku akan selamat, ternyata tidak. 
"Mana anaknya? Saya nyari yang namanya...Bilang dia dipanggil kepala sekolah ke ruangannya."
Aku gelisah, keringat dingin, sungguh aku tidak berani.

Aku menghindar sejadi-jadinya, tidak mau mengaku. Aku tidak sengaja, sungguh. Dan aku sudah minta maaf ke orangnya. Aku pulang ke rumah, mengurung diri seharian, sampai akhirnya ibu aku bertanya, "Kamu kenapa?"

"Aku nggak mau masuk sekolah, bu. Nggak mau."
"Kenapa memangnya?"
Aku menangis sambil menggeleng-geleng kepala.
"Cerita, nak. Cerita."
Aku menggeleng kepala lagi.
"Yasudah, ibu telpon guru kamu ya?"
"Jangan bu. Nggak usah."
Dan aku baru mau cerita setelah lelah menyakiti diri sendiri.

Hingga lusanya, aku tidak berani keluar kelas. Aku datang paling awal, langsung membenamkan diriku pada buku-buku soal, atau membaca buku pelajaran, sedangkan teman-teman yang lain sibuk membicarakan aku dengan santainya.

"Itu tuh yang nggak mau tanggung jawab abis nyoretin mukanya si..."
"Iya, muka gue dicoret sama dia, susah lagi dihilanginnya."
Dan komentar-komentar sinis lainnya.

Mungkin tidak jadi masalah untuk anak pemberani. Tapi sungguh, memiliki teman saat itu saja merupakan hal yang langka bagiku.

***

"Aku tidak akan pernah mempercayai orang lain. Siapapun itu. Kalaupun saat ini ada yang bersikap baik padaku, itu tidak lebih dari sekedar formalitas kebaikan biasa."

Tuhan, izinkan aku menangis kali ini. Sekalinya aku percaya pada seseorang dengan perasaan yang berbeda, tapi lagi-lagi aku menelan kekecewaan. Sungguh, aku tidak menyalahkan dia, aku justru menyalahkan diri sendiri. Seharusnya aku tidak perlu mempercayai dia sebagaimana aku melakukannya pada orang lain. Sungguh, Itu bukan salah dia, pelakunya itu aku.

Kali ini aku mau mencoba untuk bermain dengan teman-teman sekelas aku, berusaha untuk kenalan dengan mereka. Mereka sedang sibuk bermain susun balok, aku pikir, ini saat nya aku bisa bergabung dengan mereka.
Perlahan aku mendekati mereka, dan mereka melihatku. 
"Eh udahan yuk. Kita mainan ayunan aja sekarang. Ayooo!" Seru salah satu dari mereka bertiga diikuti yang lainnya bergegas meninggalkan aku sendirian.
Iya. Sendirian. Dan menunduk seakan-akan aku anak kecil yang punya virus menular.

Hanya untuk sekedar merasakan ayunan saja, aku harus menunggu situasi mulai sepi. Untuk berbaris pulang dan bersalaman dengan guru saja, jikalau aku ada di barisan depan, yang berbaris di barisan belakangku akan menarik seragamku dan memindahkan aku ke barisan belakang atau mencubit pundakku agar aku menyingkir dengan patuh.
Kalau aku kebagian pensil atau crayon yang bagus, maka direbutlah punyaku dan diganti dengan mereka yang kebagian lebih buruk. Kalau aku kebagian susu dengan porsi yang kebetulan penuh dengan wadahnya, akan direbut dengan yang kebagian jatah sedikit. Aku yang memilih berada di bagian paling belakang setiap kali praktik shalat. Aku yang memilih berdiam diri di kelas dibandingkan bermain dengan anak-anak yang lainnya.
Aku yang selalu iri ketika melihat teman-temanku yang lain asyik bercanda-canda, ngobrol, atau saling cerita satu sama lainnya. Aku iri. 

Itu berlangsung terus menerus. Dari Taman Kanak-Kanak hingga SD kelas 3.

Tuhan, bukan berarti aku tidak percaya orang lain. Sungguh. Aku hanya, entahlah. Rasanya aku lebih suka memendam perasaanku sendirian. Tapi, entah ketika bertemu dia, aku percaya. Dan pertama kalinya aku berani untuk bercerita apapun, hal apapun padanya. Meskipun tidak seluruhnya, tapi bagiku, itu amat sangat luar biasa mengingat kebiasaanku yang seperti ini.
Hanya saja dia menghilang. Lagi.

"Aku nggak enak badan, bu. Aku mau dirumah aja."
"Yasudah, istirahat aja. Tapi besok masuk ya."
Padahal saat itu aku sedang menghindar dari teman-teman jemputanku yang tidak habis-habisnya bertingkah tidak mengenakkan. Memandangmu sinis tanpa alasan, berbisik-bisik sambil melihat kearah kamu lantas setelahnya cekikikan.
Seburuk itukah aku?

Kali ini aku tidak mau bergegas pulang. Aku ingin menikmati hujan lebih lama. Menikmati diriku sendiri yang sesungguhnya.

"Kenapa kamu baru kasih tau ibu sekarang? Kalau dulu kamu cerita mungkin ibu sudah belain kamu lebih dari apapun karena perbuatan teman-teman kamu."

Bukan begitu, aku hanya takut. Takut ketika aku bercerita, ketika aku percaya pada orang lain, orang lain yang tidak percaya padaku atau menanggapi alakadarnya saja. Itu pengakuan terbaik ku, dimalam saat nenekku meninggal.

"Kamu sakit ya?"
"Nggak pak. Saya baik-baik saja. Nggak apa-apa."
Aku ingat, itu hari terakhir aku ikut lomba Murid Teladan, kondisi aku sungguh tidak fit. Mukaku panas, mataku ada benjolan seperti bengkak.
"Tapi kamu lemas banget, nak. Kamu pulang saja. Nggak usah tungguin pengumumannya."
Aku tahu, aku sudah berusaha semampuku. Hari terakhir adalah tes kemampuan budaya dan keterampilan membuat hiasan kesenian. Tapi pada saat itu aku minder, siswa-siswa lain banyak yang mempertunjukkan kebolehannya dalam menari, bermain piano, sedangkan aku hanya bisa bernyanyi. Dan keterampilan yang aku tunjukkan hanya sebatas karangan bunga dari sedotan yang ibu aku pernah ajarkan setiap kali beliau diminta pesanan dari teman-temannya dulu.
Tentu saja nilaiku bagus di keterampilan, tapi jelas menari atau bahkan bermain biola jauh lebih baik dibandingkan menyanyi.
"Badan kamu panas, nak."
"Nggak apa-apa, pak. Aku baik-baik saja." Lagi-lagi tidak mengaku. Beruntunglah aku, perlombaan diadakan di sekolah kakak ku, dan kakakku menungguku pulang juga. Entah apa jadinya kalau aku pulang sendirian dengan kondisi sangat tidak enak ini. Dan sampai rumah aku tertidur tanpa sadar.

Lagi-lagi aku menghapus air mataku. Betapa menyedihkannya hidup dalam ketidakberdayaan percaya pada orang lain.
Aku tahu, Engkau telah mengajarkan kegagalan agar kita mengerti makna kesungguhan. Tapi entah mengapa, rasanya aku selalu gagal.

"Kamu mau serius sama aku kan?"
"Iya. Aku serius."
Dengan yakin aku katakan iya pada orang yang pertama kalinya aku bisa merasakan percaya luar biasa selama hidup aku.

Aku sudah pernah merasakan sulitnya penerimaan orang-orang terhadapku. Rasanya ditampar, dicaci maki di tempat umum, dibiarkan sendirian di keramaian. Aku sudah tahu rasanya.
Hari ini betul-betul terasa berat bagiku. Sungguh. Aku tahu, ada Tuhan yang menguatkan aku, tapi rasanya aku tetap saja ingin menangis.
Maka tak bisa aku tahan, aku bersandar di toilet, menangis sejadi-jadinya, berharap tidak ada siapapun di bilik lainnya.

"... trust me."

Aku yang selalu memilih mundur hanya karena merasa 'mereka jauh lebih baik, pasti lebih dianggap sama orang lain'. Aku yang selalu memilih banyak diam ketika berkumpul dengan teman-teman, karena aku tahu setiap kali aku berbicara, mereka hanya menanggapi dengan sepatah dua patah kata saja atau justru menertawakan aku sebagai balasannya. Aku yang mengusahakan diri aku untuk bisa diterima orang lain, terus mencoba untuk bisa terbuka pada orang lain, mempercayai bahwa mereka juga percaya padaku, mempercayai bahwa mereka memang ada untuk aku.

"Percaya sama gue, ayo ikutan aja."
Aku menggeleng. "Nggak usah, aku disini aja."
"Ih, nggak apa-apa. Kan ada gue. Tenang aja."
Lantas setelah aku percaya, dia memilih meninggalkan aku sendirian dan dia asyik bercanda dengan temannya yang lain.

Aku ingin menangis sepuasnya Tuhan. Menangis betapa rapuhnya aku.

"Bu. Aku... Aku mau cerita. Aku lagi dekat sama seseorang. Aku ketemu lagi sama dia, bu. Dia baik banget....."

Untuk pertama kalinya aku berani menceritakan tentang perasaan pada wanita hebat dalam hidupku. Dan aku sungguh membanggakan hal apapun tentangmu pada beliau.

"Cerita nak. Kalau bukan diri kamu yang memberanikan diri untuk cerita, bagaimana ibu tahu apa masalah kamu? Biar bagaimanapun, disini tempat kamu pulang, nak. Saat orang-orang lain tidak menerima kamu, keluarga kamu tetap ada. Keluarga, nak yang merengkuh kamu. Usaha sayang, berusaha untuk memberanikan diri cerita apapun yang kamu rasakan."

Dan aku menangis luar biasa setelah ibuku berkata begitu.

"Kalau dia benar mencintaimu, dia takkan mengkhianatimu. Kalau dia benar menyayangimu, dia rela berpisah demi kebaikanmu. Kalau dia benar setia padamu, ia takkan menduakanmu. Percaya nak, kalau dia sayang padamu, dia akan kembali. Jika tidak, ibu mohon lupakan. Belajar untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Serahkan semua pada Tuhan. Percaya pada ibu. Dan belajarlah untuk mempercayai orang lain, baik itu sesama ataupun lawan jenis dalam hidupmu. Selama itu baik, nak. Baik untuk hidupmu. Biar bagaimanapun kamu butuh orang lain."

***

"Saya khawatir, dia akan menderita Pistanthrophobia."
"Maaf itu apa?"
"Itu sejenis phobia atau ketakutan untuk mempercayai seseorang karena pengalaman negatif atau buruknya di masa lalu. Semoga saja sih tidak. Terus ajak dia berbicara supaya dia terbuka untuk menceritakan apa yang disukainya dan yang tidak disukainya."

"Caranya? Harus ada orang yang bisa 'dipercaya' sama dia ya?"
"Harus. Lebih bagus lagi kalau dia percaya sama orang lain, orang itu percaya sama dia juga. Tidak menyia-nyiakan kepercayaannya. Berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan diri seseorang. Nanti dia jadi orang yang minder dan penyalah habis-habisan untuk dirinya sendiri kalau terus-terusan begitu."

Lagi. Kata-kata itu terngiang dalam pikiranku.

Tuhan, aku ingin mempercayai orang lagi. Aku tidak mau menjadi seorang Pistanthrophobia seperti yang dikhawatirkan orang lain pada ibuku tentang aku. Sungguh. Jangan sampai aku seperti itu.
Ketika orang yang aku percayai untuk pertama kalinya meninggalkan aku begitu saja, sesungguhnya itu bukan suatu hal yang meruntuhkan hidupku, bukan? Tapi biar bagaimanapun itu tidak mudah bagiku, Tuhan. Sungguh tidak mudah. Tapi aku mohon, jangan salahkan dia. Yang salah aku. Aku yang punya kepercayaan padanya. Bukan dia.

Diluar masih hujan. Aku akan mencoba terus untuk berusaha mempercayai orang lain. Meskipun sulit.

[Hadirmu hanya sekilas di hidupku
Namun meninggalkan luka
tak terhapus oleh waktu
Tertawa hanya tuk tenangkan jiwa
Namun yang kurasa hampa semua hilang tak tersisa

Bayangkan... rasakan
Bila semua berbalik kepadamu
Bayangkan... rasakan
Bila kelak kau yang jadi diriku

Terdiam ditengah heningnya malam
Mencoba tuk memaafkan dan melupakan kesedihan
Maaf sangat sulit kau ucapkan
Selalu ada pembenaran atas hal yang engkau lakukan

Bayangkan... rasakan
Bila semua berbalik kepadamu
Bayangkan .... rasakan
Bila kelak kau yang jadi diriku

Hadirmu hanya sekilas di hidupku
Namum meninggalkan luka
tak terhapus oleh waktu...]


Tuhan. Sungguh aku mencintainya. Sungguh. Hanya saja itu tidak berlaku baginya padaku. 
Tuhan. Sekarang aku kehilangan orang yang aku percaya dalam hidup aku. Yang aku percayai untuk pertama kalinya dan kini hilang untuk selamanya.

***

Nb : Thanks to Maudy Ayunda untuk lagu Bayangkan Rasakan. As usual, saya suka lagu-lagu yang dinyanyikan dia. Sederhana tapi manis campur miris.

For Link:
Maudy Ayunda - Bayangkan Rasakan
Maudy Ayunda - Bayangkan Rasakan

Tidak ada komentar: