Sabtu, 14 Desember 2013

Solenoida

Segelas moccachino dingin dan kamu.
Aku selalu menikmatinya dengan diiringi ocehan panjang lebar darimu
sesekali tawa
sesekali mencibirkan bibir yang justru terlihat semakin lucu.

Padahal diluar sedang hujan lebat,
dingin,
dan kamu lagi-lagi sempat mengomel diawal ketika yang kupesan justru minuman dingin.
Aku justru tertawa dan hanya membalasnya, "alasannya rahasia".
Lagi-lagi kamu membalas dengan senjata andalan mu, cemberut lucu.

Bukan berarti aku tak peduli dengan ocehanmu,
aku sungguh menikmatinya
Menikmati setiap kata yang terucap,
menikmati setiap ekspresi yang berefek senyum pada diriku
menikmati waktuku yang berjalan dengan perlahan dan berharap panjang bersamamu
menikmati segelas moccachino dingin dan kamu.

***

Segelas moccachino dingin dan masih dengan kamu
Aku masih selalu menikmatinya
ocehan panjang lebar darimu
ekspresi-ekspresimu

Tapi tak lagi menghangatkan cuaca dingin yang kala ini melingkupi aku dan kamu

Aku,
Kamu,
Masih bersama-sama menikmati waktu yang bergulir dengan perlahan
Tapi aku tahu itu tak lagi sama
Meskipun aku masih tetap menikmatinya

Kamu,
Sadarkah bahwa aku tahu sorot matamu dan senyummu tak lagi sehangat dulu?

***

Segelas moccachino dingin dan hujan,
Aku masih tetap menikmatinya,
menikmati kenangan,
menikmati kerinduan,
menikmati keikhlasan,
menikmati semua melebur menjadi satu dalam rintikan air Sang Pencipta

Aku,
biarkan ikhlas dalam hati ini muncul lebih banyak lagi,
lebih sering lagi,
hingga jauh lebih besar dibandingkan rasa rindu dan kenangan tentangmu

Segelas moccachino dingin dan hujan,
Ya,kali ini aku mengenangmu,
merindukanmu,
mengikhlaskanmu,
dan aku bersyukur menikmatinya.


(*Solenoida dalam ilmu fisika adalah satu jenis kumparan terbuat dari kabel panjang yang dililitkan secara rapat dan dapat diasumsikan bahwa panjangnya jauh lebih besar daripada diameternya - wikipedia)

Minggu, 08 Desember 2013

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 12

Hai.
Orang yang selama bertahun-tahun aku mencoba mempertahankan hatinya.
Kamu pun pasti mengerti dan paham
arti titik kumulasi dari setiap nilai
sama seperti nilai kewarasanku atas keparahanku untuk terus bertahan selama itu
untuk orang yang entah ku ketahui
berbalaskah hatiku atau tidak

Titik kulminasi yang kuberi nama keikhlasan.
Sulit, siapa bilang mudah?
Manusia sekuat apapun imannya tidak menjamin semulus pula teknik dalam mempraktikannya.
Apalagi aku.

Bukan.
Jangan salah persepsi bahwa keikhlasanku itu
layaknya suatu kebosanan
atau ketidakmampuan
atau keputusasaan.
Sekali-kalipum bukan kosakata-kosakata yang mengantarkanku pada satu kata.
Menyerah.

Sekali lagi, bukan.

Aku hanya ingin berkaca sedalam mungkin
bahwa tidak selamanya apa yang kita harapkan
akan disetujui oleh Yang Maha Menghakimi
bahwa manusia juga harus paham
membedakan mana yang bernama ekspektasi dengan apa yang diharapkan.
Dan aku hanya ingin berkaca
menyadari
bahwa selama ini, aku yang memaksa jalan ceritaku sendiri.

Aku yang memaksa hati ini untuk terus bertahan
padahal ia sudah tidak mampu
tidak tahu apapun lagi yang bisa ia lakukan.
Seperti sudah waktunya meledak
Menampung harapan-harapan kosong yang terus kubiarkan menumpuk
tanpa mau membuangnya.

Tidak.
Aku tidak terjatuh.
Terjatuh pada jurang yang kugali sendiri
dengan sebuah cinta tak bertuan lawan.
Hanya diri sendiri yang terus berjuang.

Aku tidak terjatuh.
Aku tidak mati.
Karena aku ingin terus hidup.
Untuk membuat dirimu terus bahagia
dan satu-satunya cara
adalah dengan mengikhlaskan diri ini
untuk membuka mata melihat realita.

Wahai lelaki yang namanya amat kusuka.
Sekalipun aku amat tersiksa untuk mencinta
itu karena aku telah mencinta dengan memaksamu
sebagai partner dalam permainan ini.
Itu karena ketika aku melihatmu
tak ada lagi tawa, raut wajah bahagia dalam dirimu.
Aku hanya bisa memaki diriku
sebagai wanita penjahat
perebut hati suci lelaki sepertimu.

Seperti memakan kue brownis
satu loyang.
Kamu makan satu, ketagihan.
Manis, membuatmu ingin terus memakannya.
Menghabiskannya.
Tapi,
Lama-lama rasa muak dan pahit itu akan tiba.
Karena kamu hanya memaksakan mulutmu untuk terus berusaha
mengunyah.
Hingga kerongkongan mu menelannya dengan mudah.
Tidak ada feedback yang didapat mulutmu.
Yang ada hanya lelah
dan perut yang tertawa karena kenyang tapi muak
secara diferensial.
Itu aku. Analogi diriku.

Aku hanya ingin berkaca
bahwa akan ada kebahagiaan yang luas untukmu
setelah keikhlasan ini terucap.
Terikrarkan.
Terpatri dalam otak dan hatiku.

Bebas.
Membebaslah engkau, wahai seseorang yang amat kucinta dalam hidupku
Selama 9 tahun ini.
Bersiaplah dunia yang bersedia merengkuhmu lebih lebar
menyediakan pelukan bersahabat
merengkuhmu dalam-dalam
membuat hidupmu lebih berwarna
tanpaku.
Tertawa.
Karena keikhlasanku.

Wahai seseorang yang mengantarkanku pada perubahan besar.
Ada cerita yang kau toreh dalam album kehidupanku
dan kau lukis begitu kuat
tertancap di seluruh titik-titik pikiran dan perasaanku.
Ada ribuan jenis perlakuan
milyaran kata ucapan
yang kau rekat kuat dalam perjalanan hidupku.
Biar bagaimanapun
ini salahku.
Aku yang memaksa alur cerita hidupku sendiri.
Aku yang menantang Yang Maha Kuasa Sang Pembuat Cerita Kehidupan.

Pergilah.
Kali ini kamu bebas.
Aku melepasmu dari ikatan cinta yang aku buat sendiri.
Justru karena aku mencintaimu.
Pergilah.
Berkelanalah sesukamu dan cintailah wanita yang kamu mau.
Wahai lelaki yang tak pernah kubenci sampai saat ini.
Terima kasih.
Mengajarkanku bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dalam sekaligus
dan
mengajariku makna keikhlasan dan pengorbanan.

Maaf.
Lagi-lagi aku menangis.
Tanpa sadar.
Karena.
Aku hanya mencintaimu.