Hai.
Orang yang selama bertahun-tahun aku mencoba mempertahankan hatinya.
Kamu pun pasti mengerti dan paham
arti titik kumulasi dari setiap nilai
sama seperti nilai kewarasanku atas keparahanku untuk terus bertahan selama itu
untuk orang yang entah ku ketahui
berbalaskah hatiku atau tidak
Titik kulminasi yang kuberi nama keikhlasan.
Sulit, siapa bilang mudah?
Manusia sekuat apapun imannya tidak menjamin semulus pula teknik dalam mempraktikannya.
Apalagi aku.
Bukan.
Jangan salah persepsi bahwa keikhlasanku itu
layaknya suatu kebosanan
atau ketidakmampuan
atau keputusasaan.
Sekali-kalipum bukan kosakata-kosakata yang mengantarkanku pada satu kata.
Menyerah.
Sekali lagi, bukan.
Aku hanya ingin berkaca sedalam mungkin
bahwa tidak selamanya apa yang kita harapkan
akan disetujui oleh Yang Maha Menghakimi
bahwa manusia juga harus paham
membedakan mana yang bernama ekspektasi dengan apa yang diharapkan.
Dan aku hanya ingin berkaca
menyadari
bahwa selama ini, aku yang memaksa jalan ceritaku sendiri.
Aku yang memaksa hati ini untuk terus bertahan
padahal ia sudah tidak mampu
tidak tahu apapun lagi yang bisa ia lakukan.
Seperti sudah waktunya meledak
Menampung harapan-harapan kosong yang terus kubiarkan menumpuk
tanpa mau membuangnya.
Tidak.
Aku tidak terjatuh.
Terjatuh pada jurang yang kugali sendiri
dengan sebuah cinta tak bertuan lawan.
Hanya diri sendiri yang terus berjuang.
Aku tidak terjatuh.
Aku tidak mati.
Karena aku ingin terus hidup.
Untuk membuat dirimu terus bahagia
dan satu-satunya cara
adalah dengan mengikhlaskan diri ini
untuk membuka mata melihat realita.
Wahai lelaki yang namanya amat kusuka.
Sekalipun aku amat tersiksa untuk mencinta
itu karena aku telah mencinta dengan memaksamu
sebagai partner dalam permainan ini.
Itu karena ketika aku melihatmu
tak ada lagi tawa, raut wajah bahagia dalam dirimu.
Aku hanya bisa memaki diriku
sebagai wanita penjahat
perebut hati suci lelaki sepertimu.
Seperti memakan kue brownis
satu loyang.
Kamu makan satu, ketagihan.
Manis, membuatmu ingin terus memakannya.
Menghabiskannya.
Tapi,
Lama-lama rasa muak dan pahit itu akan tiba.
Karena kamu hanya memaksakan mulutmu untuk terus berusaha
mengunyah.
Hingga kerongkongan mu menelannya dengan mudah.
Tidak ada feedback yang didapat mulutmu.
Yang ada hanya lelah
dan perut yang tertawa karena kenyang tapi muak
secara diferensial.
Itu aku. Analogi diriku.
Aku hanya ingin berkaca
bahwa akan ada kebahagiaan yang luas untukmu
setelah keikhlasan ini terucap.
Terikrarkan.
Terpatri dalam otak dan hatiku.
Bebas.
Membebaslah engkau, wahai seseorang yang amat kucinta dalam hidupku
Selama 9 tahun ini.
Bersiaplah dunia yang bersedia merengkuhmu lebih lebar
menyediakan pelukan bersahabat
merengkuhmu dalam-dalam
membuat hidupmu lebih berwarna
tanpaku.
Tertawa.
Karena keikhlasanku.
Wahai seseorang yang mengantarkanku pada perubahan besar.
Ada cerita yang kau toreh dalam album kehidupanku
dan kau lukis begitu kuat
tertancap di seluruh titik-titik pikiran dan perasaanku.
Ada ribuan jenis perlakuan
milyaran kata ucapan
yang kau rekat kuat dalam perjalanan hidupku.
Biar bagaimanapun
ini salahku.
Aku yang memaksa alur cerita hidupku sendiri.
Aku yang menantang Yang Maha Kuasa Sang Pembuat Cerita Kehidupan.
Pergilah.
Kali ini kamu bebas.
Aku melepasmu dari ikatan cinta yang aku buat sendiri.
Justru karena aku mencintaimu.
Pergilah.
Berkelanalah sesukamu dan cintailah wanita yang kamu mau.
Wahai lelaki yang tak pernah kubenci sampai saat ini.
Terima kasih.
Mengajarkanku bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dalam sekaligus
dan
mengajariku makna keikhlasan dan pengorbanan.
Maaf.
Lagi-lagi aku menangis.
Tanpa sadar.
Karena.
Aku hanya mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar