Jumat, 16 Mei 2014

Ujian (Kehidupan Siswa) Nasional



Wahai siapapun yang nantinya akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional, saya tahu tulisan saya pun alakadarnya. Saya juga tidak berniat cari sensasi, saya cuma mau cerita sedikit. Entah juga sih, sedikit atau banyak. Tapi betulan, saya mau cerita. Cerita tentang Ujian Nasional. Jadi, jangan berpikiran negatif dulu sama saya, kan saya cuma cerita aja.

Lho, kok ke siapapun yang akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional nanti? Soalnya saya pikir, percuma kalau saya merujuk sama salah satu orang saja. Yang ada palingan saya diketawain doang nanti. Lagi juga Ujian Nasional ini kan programnya beliau, yaa siapa sih yang mau kalau ide yang sudah dijalankan lantas tidak disukai atau bahkan dihapuskan begitu saja? Jadi, saya memilih tulisan ini untuk orang-orang siapapun yang bakalan menjadi bawahan Menteri Pendidikan Nasional terutama yang nantinya menjalankan program dari ide Ujian Nasional ini sekaligus ke yang jadi menterinya suatu saat nanti.

Oke, boleh ya?

Bapak atau ibu yang nanti jadi Menteri Pendidikan Nasional beserta bawahannya, tanggal 5-7 Mei kemarin Ujian Nasional untuk siswa SMP dilaksanakan, kan? Sebelumnya tanggal 14-16 April kemarin Ujian Nasional untuk siswa SMA yang diberlakukan. Kok saya ingat banget? Ya, karena tepat pada tahun ini, adik saya yang masih SMA dan sepupu saya yang masih SMP sama-sama kelas 3 dan sama-sama merasakan dampak dari Ujian Kehidupan bagi siswa sekolah ini.
Kok saya bilang Ujian Kehidupan bagi siswa sekolah?
Iya lah, hidup-matinya siswa sekolah buat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi ada disini.
Dalam tiga hari saja.
Dengan standar nilai yang SAMA RATA se-Indonesia.

Hmm, sepertinya sederhana banget ya. Dan rasanya bayangan saya skenarionya begini waktu ide Ujian Nasional dikeluarkan.

X : Kita butuh suatu sistem yang lebih oke lagi supaya anak-anak Indonesia jauh lebih dipandang "pintar" oleh negara lain. Bagaimana kalau dibuat suatu ujian, serentak untuk setiap tingkat pendidikan, dimana kita tetapkan nilai standarnya dan tiap tahun nilainya semakin lama kita tinggikan. Setuju?

Yang lain hening.

X : Baiklah setuju semua, kalau yang tidak setuju, silahkan keluar dari ruangan saya. Setuju tidak setuju, saya suka dengan ide saya. Any problem?

Dramatis ya? Itu khayalan saya saja sih.

Wahai siapapun yang nanti akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional. Saya nggak minta anda menjadi orang gaul dengan memiliki akun facebook, twitter, path, tumblr, dsb. Nggak kok. Tapi saya ingin sosok yang peka sama rakyatnya. Rakyatnya? Iya. Kan anda pemimpin kami juga. Orang yang memimpin nasib pendidikan kami, ratusan jiwa rakyat Indonesia.
Peka bagaimana? Peka bahwa tidak semua keputusan yang anda perbuat itu "baik" adanya. Bukankah ketika manusia memutuskan sesuatu, pikirkan dahulu apakah bakal banyak mudharat nya atau banyak manfaatnya?
Sekarang, bagaimana dengan Ujian Nasional?

Ah, saya terlalu bertele-tele ya? Maaf ya.

Siapapun yang nanti akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional, anda memang mungkin tidak tahu, tapi boleh kan saya beritahu "keadaan yang sebenarnya"? Adik saya dan sepupu saya luar biasa takut sekali buat menghadapi ujian. Adik saya, dulu pemalas banget sama yang namanya belajar. Dari SD malas banget. Tapi sejak masuk SMA, saya tahu dia berusaha lebih. Iya! Lebih dibanding sebelum-sebelumnya. Dia berusaha untuk rajin belajar, supaya bisa dapat peringkat di tiap semester nya dan mempermudah dia untuk bisa diterima perguruan tinggi lewat jalur undangan. Sekaligus mencicil belajar untuk yang namanya Ujian Nasional.

Lantas, ketika adik saya, di hari-3 bulan meminta saya untuk mengajari dia, mereview matematika, iya MATEMATIKA, dari materi kelas 1, dan dia masih ngerasa kalang kabut, galau berkepanjangan tiada tara sampai -3 hari, apakah lantas saya bilang dengan mudahnya, "Ah, elu sih. Kalau belajar dari dulu juga, ga bakalan takut Ujian Nasional" seperti yang-saat-ini-menjadi-Menteri-Pendidikan bilang di setiap kali wawancara?
Semudah itu kah saya bakalan berkata begitu? Tidak. Saya nggak mau ngomong begitu. Saya tahu rasanya seperti apa. Saya juga pernah merasakannya.

Tekanan batin para siswa, tidak semuanya bukan karena mereka belum menguasai materi. Mereka bisa saja mengerjakan soal-soal yang berbulan-bulan dikasih terus menerus sama guru di sekolah atau pengajar di tempat les mereka, tapi ketika yang menjadi masalah adalah tekanan batin karena "soal tiap tahunnya akan semakin susah", bagaimana? Lain cerita lagi bukan?

Disaat yang diujikan bukan hanya 1-2 pelajaran, tapi enam pelajaran, untuk SMA. IYA ENAM! di tahun ini. Dan dalam sehari ujian, dilaksanakan dua mata pelajaran, dengan kondisi perasaan yang ketakutan, nggak karu-karuan, pengawas ujian dua-tiga orang, nggak sekalian tuh tiap meja ada yang ngawasin?
Perlukah mereka dijaga seketat itu seolah-olah penjahat lagi di uji kebenaran dari perbuatannya?

Oke, begini deskripsinya.

Versi netral :

Pagi-pagi, sekitar jam 6 disaat para siswa mulai berdatangan dengan hati yang saya yakin nggak ada yang bahagia saat itu, di depan pintu gerbang sudah bertengger beberapa polisi, lengkap dengan guru sekolah, bahkan kalau mau jackpot si polisi bawa anjing pelacak. Di pintu-pintu, tembok, papan-papan pengumuman sudah terpasang tulisan "HARAP TENANG. SEDANG ADA UJIAN". Wah, ramai sekali itu selembaran dipasang dimana-mana, seakan-akan itu tulisan berbunyi sesungguhnya, "WANTED. DICARI SISWA X DENGAN CIRI-CIRI xxxxxx. JIKA BERHASIL MENEMUKANNYA, AKAN MENDAPAT HADIAH".
Sejenis itu lah. Menakutkan.

Lebai kah saya? Tidak. Itu kenyataan kok.

Memangnya para siswa itu mau digerebek ketahuan judi, bawa narkoba, bertindak kriminal, atau bahkan berlaku mesum kayak di rumah remang-remang sampai bawa polisi beserta anjing pelacak segala? Menjaga kemurnian soal yang katanya dibangga-banggakan "Hebat" bahkan "Standar Internasional" itu saja kah?

Lantas, para siswa disuruh tunggu diluar kelas, mereka sibuk menghapal materi-materi, kalang kabut buka catatan, tanya-tanya teman, gelisah tak menentu, sedangkan kelas dikunci, diisolasi seakan-akan ada virus berbahaya dan manusia tidak boleh ada yang masuk kedalam. Selang 30 menit menuju ujian, pengawas datang, bawa soal yang (katanya) disegel beserta lembar jawabannya, dimana si pengawas pasang tampang seseram mungkin, malah kalau bisa pengawas yang cewek pakai high heels biar sengaja kalau jalan bunyi "tak-tok-tak-tok" yang begitu merdunya. Tunggu beberapa menit, mereka siapin kertas jawaban di meja masing-masing siswa. Kelas masih dalam posisi ditutup pintunya. Kalau sudahan prepare yang-entah-mereka-melakukan-apa-didalam-sana, pengawas keluar dan menyuruh para siswa masuk kelas.

Para siswa masuk kelas, masih sibuk ngapalin materi, yang ada dipikiran cuma positif thinking, "semoga yang dihapalin di detik-detik terakhir itulah yang justru keluar", sedangkan si pengawas mulai nyuruh ini-itu lah, seperti, "YANG BAWA HP SILAHKAN TARUH DI MEJA PENGAWAS", "CATATAN DALAM BENTUK APAPUN SILAHKAN DISIMPAN DALAM TAS DAN DITARUH DI DEPAN KELAS", dan sebagainya. Lantas, pengawas pamer amplop cokelat yang (lagi-lagi) katanya masih disegel, sambil berkata "INI BUKTINYA YA, AMPLOPNYA MASIH RAPI, SOAL MASIH TERJAGA DAN UTUH".
Yaaa, seperti itulah kira-kira.

Soal dibagikan, para siswa disuruh berdoa sejenak, siswa belum selesai berdoa sudah disuruh berhenti, para siswa mulai mengerjakan, dan disela-sela mengerjakan di menit-menit awal, para pengawas mulai sibuk keliling kelas.
Bukan. Mereka belum beraksi untuk pergokin siswa yang nyontek. Mereka beraksi untuk MINTA TANDA TANGAN SEBAGAI ABSENSI UJIAN.
Mengganggu kah? Sesungguhnya amat sangat mengganggu.
90 menit mengerjakan, selesai, kadang ditambah-tambah dengan kata-kata, "LIMA BELAS MENIT LAGI" macam juri Masterchef nyebut sisa waktu atau "AYO DIKUMPULKAN, YANG BELUM KUMPULKAN SAYA TINGGAL KELUAR". Dan para siswa tambah kalang kabut. Buru-buru menghitamkan lembar jawaban ujian. Selesai. Plong kah? Demi apapun, SAMA SEKALI NGGAK.
Pengawas merapikan semua berkas, pergi keluar kelas, kumpul evaluasi, dikasih upah jaga ujian deh.

Simpel kah?

Versi Para Siswa:

Kalau bisa sih datang jam 5. Ngumpul disalah satu tempat, gerombolan, sibuk bahas sesuatu.
Bukaaaan. Bukan bahas soal atau materi yang belum paham.
Mereka sibuk ketak-ketik via hp. Saatnya memperoleh kunci jawaban UN.
Nggak percaya pak, bu? Silahkan sih, tapi kenyataan versi para siswa ya begitu. Nih ya, abis subuh, semua siswa satu sekolah juga bakalan ada message masuk ke hp yang isinya kunci jawaban soal UN.

Lho, sekarang kan ada banyak versinya? Belasan bukan? Nggak ngaruh, adik saya saja, kemarin masih dikasih kok, cuma via nya bukan sms lagi, via Whats App Messanger. Padahal adik saya nggak minta sama sekali. Dulu saya juga begitu. Tiba-tiba saja ada pesan masuk isinya kunci jawaban A B D E B A D C C E... dan seterusnya.

Makin gaul kan ya?

Nah, giliran jawaban sudah diterima masing-masing anak, ada beberapa kemungkinan.

1. Siswa yang sangat baik dan menjunjung kejujuran, sama sekali nggak ngaruh, mau ada bocoran kunci jawaban apa kagak. Azzamnya sudah kuat buat nggak nyontek.

2. Siswa yang setengah baik dan menjunjung kejujuran. Ada sub bagian nya nih.
a. Siswa yang ikutan pakai kunci jawaban, terserah mau catat jawaban di kertas kek, papan jalan/dada nya kek, atau apapun itu lah, tapi hanya sekedar untuk "menyamakan jawaban" atau ngecek lah jawaban versi kunci sama tidak dengan versi diri sendiri.
b. Siswa yang nggak ikutan pakai kunci jawaban, cukup nanya aja sama teman yang jenis soalnya sama.

3. Siswa yang emang udah busuk niatnya, seriusan banget pakai kunci jawaban bocoran, nggak mau mikir lagi. Biasanya yang kayak begini, ciri-cirinya, dia udah selesai ngerjain ujian duluan, waktu masih tersisa puluhan menit, dia sudah leyeh-leyeh di meja nya, bahkan kalau bisa, dia tidur.

4. Siswa pasrah. Lulus nggak lulus yang penting bisa lewatin Ujian Nasional saja sudah lega luar biasa.
Tapi jarang kayaknya yang tipe keempat.

Lantas, setelah selesai ujian, para siswa keluar kelas, kasak kusuk, ada yang bahas soal dan jawaban, stres karena jawabannya ga sama kayak temannya, ada yang agak lega "eh, pas banget lho kunci jawabannya. Hampir betul semua", atau ada yang memilih langsung pulang untuk belajar lagi mata pelajaran hari esoknya atau pulang karena kepala sudah mumet, atau lebih parahnya lagi, pulang dan berniat bunuh diri.

***

Bunuh diri? IYA! BUNUH DIRI!

Saya pribadi sih belum pernah melihat atau sekedar mendengar secara langsung ada siswa yang bahkan mau bunuh diri setelah mengerjakan Ujian Nasional. Paling hanya via internet atau berita. But, kenyataannya, saya melihat adegan yang nyaris menyerupai, tapi alhamdulillah nya salah satu anggota keluarga saya ini masih diberikan ketabahan sama ujian ini.

Sepupu saya yang masih SMP dan mengalami Ujian Nasional kemarin dari selesai ujian hari pertama, baru kali itu saya lihat dia berlutut, minta maaf sama ibu nya, sambil nangis sesenggukan, dalam hal "sekolah" doang.

Selesaikah sampai hari pertama? Nggak.

Dia lagi-lagi melakukan hal yang sama, hal yang serupa, terlebih setelah selesai mengerjakan Ujian Nasional yang judulnya MATEMATIKA.
Bodoh kah dia? Nggak. Dari SD sampai SMP, Alhamdulillah selalu dapat ranking paling tidak sepuluh besar dikelasnya. Lantas kenapa dia sampai nangis dengan model seperti itu?

"Ampunin aku ya, ma. Maafin aku, tadi aku ngerjainnya masih banyak yang salah. Aku takut nilai aku kecil, terus nilai kumulatif aku nggak bisa buat aku lolos masuk ke SMA Negeri..."

Wahai siapapun yang nantinya akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional, saya rasa untuk menunjukkan orang Indonesia itu pintar, tidak perlulah sampai sebegininya. Ujian Nasional dikasih soal dengan tipe soal "standar Internasional" untuk anak SMP-SMA, wajarkah?
Untuk orang egois mungkin bilang wajar. Tapi seluruh siswa SMP-SMA di Indonesia tidak sedang mengikuti perlombaan skala internasional. Mereka sedang berjuang buat bisa lolos sekolah ke tingkat yang lebih tinggi lagi atau diam ditempat sekaligus menerima "acuhan" dan jenis pembunuhan karakter dalam bentuk lainnya dari orang-orang sekitar.
Bukan soal menang-kalah seperti lomba-lomba seperti itu, yang kalau dikasih soal skala internasional dan tidak bisa menjawab ya tidak masalah. Karena kalah pun bukan suatu hal yang memalukan dan menakutkan sampai membuat hidup seseorang "jatuh dengan amat sangat".

Apakah siswa-siswa di daerah-daerah yang masih sulit akses pendidikan, bisa menjawab soal standar "kebanggaan" itu? Dimana standar nilai sekolahnya saja, bisa jadi cuma 6 untuk mata pelajaran Matematika.

Tahukah apa yang dibangga-banggakan, "SOAL UJIAN NASIONAL TAHUN INI TIDAK AKAN BOCOR!", yaaa sesungguhnya tidak akan betulan nggak bocor. Wong dari zaman kakak saya saja, sekitar tahun 2005 (atau bahkan lebih lama lagi), sudah turun temurun "kunci jawaban Ujian Nasional" bakalan ada.
Yang saya curigakan, justru apakah ada "orang dalam" yang memang sudah disediakan untuk menyebarkan kunci jawaban itu? Tahukah tiap siswa diharuskan membayar 50-100 ribu rupiah (versi adik saya kemarin UN) untuk perolehan kunci jawaban tersebut, sekalipun adik saya atau siswa-siswa lain tidak memintanya? Dan memang ada beberapa siswa yang memang mengurusi hal tersebut ke pihak yang memberikan kunci jawaban.

Wallahu'alam. Saya juga tidak mau suudzhan. Gitu-gitu ibu saya digaji disana. Hahaha. Tapi untungnya bukan bagian ngurusin si ujian ini.
Tapi seandainya, (seandainya) lho ya, betul, Ya Tuhan, maafkanlah negara saya, betul-betul jahat sekali membuat suatu sistem dimana niatnya adalah "baik" tapi justru "busuk" sekali didalamnya.
Semoga tidak.

Bapak atau Ibu yang siapa tahu nanti terpilih jadi Menteri Pendidikan Nasional, tahukah apa yang sepupu saya tangiskan?
Boleh saya ceritakan?

Saya lupa, jumlah soal Matematika di Ujian Nasional yang dia ceritakan berapa banyak, kalau tidak salah 40 soal. Dia bilang, ada 3-4 soal dengan standar "kebanggaan" itu, dan itu semua membuat dia semaput mencari jawaban, belum ditambah lagi soal-soal yang lainnya. Dia cerita sambil menangis, kalau dihitung-hitung total soal yang dijawab salah sama dia antara 5-6 soal.
Kalau perhitungan saya tidak salah, anggap salah 6, total soal yang betul adalah 34, maka nilai dia
34 : 4 = 8,5
Kalau saya tidak salah hitung tapi ya. Saya juga nggak tahu hitung-hitungan ala Panitia Ujian Nasional seperti apa.

Apa? 8,5 aja nangis?
Baiklah.

Bapak dan Ibu yang nanti jadi Menteri Pendidikan Nasional, semoga kepandaian anda bisa menjadi teladan bagi semua rakyat Indonesia. Perjuangan siswa-siswa korban Ujian Nasional lantas tidak berakhir begitu saja hanya dengan kata "LULUS" di selembar kertas yang ditambah nama, foto, cap tiga jari, dan tanda tangan siswa.
Ketika siswa mendapat kata "LULUS" mereka masih menghadapi persaingan yang bahkan bisa jadi, jauh lebih sadis lagi. Memperoleh bangku sekolah di tingkat yang lebih tinggi lagi.

Buat yang SMA, dengar-dengar Nilai Ujian Nasional dijadikan syarat masuk Perguruan Tinggi ya? Alhamdulillah sih, zaman saya belum, tapi sekarang? Coba dibayangkan, seandainya ada siswa berprestasi, sudah diterima di Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia, namun hanya karena nilai Ujian Nasionalnya tidak sesuai syarat, masih diterima kah?

Saya harap, masih. Dan saya harap, ada pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Jangan sampai hanya karena TIGA-EMPAT HARI SIALAN itu (maaf kalau kata-kata saya kasar), yang bisa jadi merusak nilai siswa berprestasi sekalipun, mampu mematikan harapan dia. Who knows, kita tidak pernah tahu, kan? Orang sepintar apapun tidak menjamin dia akan "lancar jaya" menghadapi ujian-ujian dan soal dalam bentuk apapun, kan? Pengusaha saja tidak selamanya berhasil dalam usahanya.

Dan yang SMP? Ini lebih sadis. Permainan angka-angka yang tertera di kertas "LULUS" itu, bisa kali dimanipulasi. Yang nilainya kecil, bisa aja dijadiin besar atau dilolosin keterima sekolah-sekolah idaman padahal nilainya tidak mencukupi batas persaingan nilai yang lain, asaaaaaal.
Ada fulus nya.
Ada imbalan lah.
Ada campur tangan lah yaaaaa paling tidak.

"Anak bapak/ibu saya masukin sekolah ini, tapi nanti ada gantinya ya? Buat "pembangunan sekolah"."
"Anak bapak/ibu bisa masuk sekolah sini, tapi nanti yaaaaa, bapak/ibu ngerti lah yaaaa bagaimana kedepannya"

Ada lho. Jangan anggap hal-hal seperti itu tidak ada.

Siapapun yang nantinya, Innalillahi, bisa terpilih jadi Menteri Pendidikan Nasional, tidak semua siswa di Indonesia berasal dari orang kaya raya, borjuis, dan sebagainya, termasuk keluarga saya. Siapa sih yang tidak mengincar sekolah-sekolah negeri, perguruan-perguruan tinggi negeri, karena terjangkau biaya atau yang hanya sekedar mengincar pandangan masyarakat-pemerintah yang kayaknya "lebih keren" sama hal-hal yang berjudul "negeri" dibandingkan "swasta"?
Tapi tahukah juga, jumlah "negeri" itu tidak banyak, yang daftar sampai ribuan-puluhan ribu, yang keterima? Di Perguruan Tinggi Negeri saja, untuk jurusan idaman paling banyak yang keterima 50-100an. Dengan perbandingan yang daftar sebanyak itu.

Makanya, praktik melenceng juga banyak. Dan saya berharap, tolong hargailah siswa-siswa yang sudah berusaha dengan jujur sebaik mungkin, jangan dihancurkan "harapan" mereka dengan praktik-praktik semena-mena itu.

Waktu adik saya masuk SMP, nilai adik saya tidak jelek-jelek amat, tapi entah mengapa siswa-siswa di kota saya, beuuuh, pintar-pintar banget, nilainya tinggi-tinggi. Adik saya kebetulan daftar kesana kemari, selalu kelempar dari ambang batas penerimaan siswa di sekolah-sekolah tersebut. Sampai akhirnya di hari terakhir pendaftaran, hari penentuan, hari yang lebih kejam, dimana orang-orang yang "curang" melancarkan aksi pamungkas nya, apalagi di jam-jam menuju penutupan pendaftaran, adik saya ada diurutan 7 terbawah di salah satu SMP Negeri di kota saya.

Semaputkah adik saya? Mungkin iya, tapi karena sikap adik saya yang "selow" banget, jadi tidak terlihat. Yang semaput justru ayah-ibu saya. Kalau adik saya masuk sekolah swasta, hmmm, di kota saya, sekolah swasta bagus itu mahaaaal, pak/bu. Seriusan.
Dan ayah saya yang selalu memantau dan standby sampai detik-detik terakhir pendaftaran sekolah, dihadapi kenyataan, banyak orang-orang yang mulai "curang". Curangnya kayak apa, tidak perlu saya ceritain lah ya.

Marahkah ayah saya?
Ya.
Beliau masuk ke ruang guru, dan agak mengeluarkan marah-marahnya. Tapi, diacuhkan. Pasrah kah ayah saya? Tidak.
Beliau rela sampai ke Dinas Pendidikan kota saya, melaporkan semuanya, sampai hampir banting pintu segala.
Berlebihan kah ayah saya? Bisa jadi. Tapi ayah saya paling anti sama hal-hal yang nggak adil dan bentuk kecurangan apapun.
Seriously.
Jadi saya pikir, perlu lah sekali-kali ada orang yang "mau melawan" dengan agak keras atas semua lemahnya birokrasi negara ini. Dan saya rasa, cara ayah saya tidak salah-salah banget, entah orang lain anggap seperti apa.

***

Ah, bapak-ibu yang nanti betulan dikasih kesempatan jadi Menteri Pendidikan Nasional. See? Banyak manfaat atau mudharatnya kah? Saya tidak mengharapkan "hapuskan Ujian Nasional". Tidak.
Indonesia juga butuh "standardisasi" untuk progress tingkat pendidikan rakyatnya kan?
Tapi saya rasa tidak mesti dengan "soal standar internasional", standar nilai yang "SAMA RATA" se-Indonesia, yang berujung pada praktik-praktik curang dalam bentuk apapun. Bolehlah buat Ujian Nasional yang diselenggarakan serentak, tapi cukuplah yang membuat itu guru tiap sekolah, atau paling tidak guru-guru sekota atau wilayahnya masing-masing. Hingga bisa lebih jelas, standar para siswa di daerahnya seperti apa.

Oh iya, bukankah lebih baik utamakan perbaikan moral dan karakter siswa? Lihatkah anak SD zaman sekarang bahkan berani pukul adik kelasnya hanya karena menyenggol minumnya sampai adik kelasnya tewas? Atau lihatkah sepasang mahasiswa-mahasiswi cuma karena masalah cinta, dengan bangganya bunuh temannya? Atau banyak anak-anak yang masih bau kencur, pakai seragam putih-biru atau putih-abu-abu, bikin video mesum, tawuran, ngerokok, nyimeng, haha-hihi nggak jelas, keluyuran malam-malam pakai baju minim, pacaran nggak kenal situasi dan kondisi, nyolong, palakin orang, bunuh orang kayak bunuh semut atau nyamuk saking gampangnya, dan hal-hal lainnya?

Apakah dengan pintarnya mereka karena nilai Ujian Nasional nya hampir mendekati nilai sempurna bisa disetarakan atau bahkan lebih mulia dan lebih berharga dibandingkan dengan moral dan kepribadian siswa nya itu sendiri?

Siapapun yang nanti jadi Menteri Pendidikan Nasional, itu jauh lebih penting saya rasa. Negara ini sudah sakit, sangat sakit. Dia butuh penerus-penerus yang jauh lebih kuat, jauh lebih bijaksana, jauh lebih berkarakter dibanding otak secemerlang apapun. Semoga kebijakan-kebijakan anda kedepannya akan jauh bermanfaat untuk pendidikan anak-anak Indonesia dan mencetak mereka menjadi Bangsa Indonesia yang jauh lebih bermartabat dan berkarakter luar biasa. Iya, semoga.

“Intelligence plus character, that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter, adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya) - Martin Luther King
“To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society”(Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya bagi masyarakat) - Theodore Roosevelt

Jumat, 02 Mei 2014

(Selamat) Hari Pendidikan Nasional!

Saya khawatir sesungguhnya dengan ucapan "selamat" ini, karena saya pikir, apa yang mau "dibanggakan" atau "dibahagiakan" dari Hari Pendidikan Nasional termasuk tahun ini. Sejujurnya saya nggak tertarik juga untuk menyalahkan pemerintah, apalagi pak menterinya yang kece banget, yang kadang buat  adik saya berpikiran dan ngeluh, "kita punya mama ga sih? Pulang tiga hari dirumah, dinas lagi seminggu. Emang mama kita kuli. Gimana sih om Nuh ini."

Sebenarnya juga bukan salah bapak sih. Bapak kan nggak ngatur jadwal bawahannya bapak ya. Dan ga ngatur sebegitu banyaknya pegawai bapak. Tapi kalau ngawasin, mantau, bagi-bagi tugas dari puluh ribuan (mungkin) bawahan dalam naungan Kementerian Pendidikan Nasional, dan bukan cuma IBU saya doang bisa ga? Nanya doang sih. Yang pasti ibu saya hebat luar biasa. Kalau bisa, tolong dong dedikasiin ibu saya sebagai abdi negara dari Kementerian Pendidikan Nasional. Seriusan.

Baiklah. Lupakan. Saya nggak mau bahas kerjaannya ibu saya.

Ya, seperti di awal, saya miris kalau mau bilang, "Selamat" di hari pendidikan nasional. Entah mengapa.

"Sumpah Ni (*Uni, read), Gue takut sama UN. Rasanya mau nangis."
See? Itu yang ngomong adik saya. Laki-laki. Kelas 3 SMA. Jadi baru bulan kemarin juga kejadiannya. I know him kayak gimana, seumur hidup dia jadi adik saya, baru kali ini dia takut sama yang berhubungan sama "sekolah". Dia dari TK tipe orang yang masa bodo amat sama prestasi, hingga akhirnya pas masuk SMA, dia rela banget jadi rajin belajar (dikit) biar bisa dapet peringkat di kelasnya dan (setidaknya) memudahkan dia buat daftar universitas nantinya lewat jalur undangan.

But, detik-detik menjelang UN, kira-kira 3 bulan menjelang UN, galaunya minta ampun. Apalagi H-1 bulan atau lebih ekstrimnya lagi H-sehari.

"Uni, gue ga tau lagi mau belajar apaan. Rasanya belajar pun takut. Takut ilang apa yang udah dipelajarin. Dulu lo kayak gimana sih?"

Dulu? Saya juga ngeri. Siapa sih yang nggak ngeri? Munafik kalau saya bilang ada yang nggak ngerasa "ngeri". Atau paling banter ada lah yaaa rasa "khawatir dengan negatif thinking yang kadarnya meskipun cuma 0,000 sekian persen".

Ngeri kenapa sih? Iya ngeri lah. Ngeri karena gue tahu, semales-malesnya anak belajar, dan ketika menghadapi Ujian Nasional, saya yakin nggak ada yang nggak mau lulus. Kenapa? Karena kita (saya dan siapapun bekas siswa atau yang masih jadi siswa-siswa lainnya) ga akan ada yang mau mengecewakan orang tua.

Lho, lho, lho. Kalau nggak mau ngecewain orang tua, yaa jangan males lah belajarnya.

Bisa kok. Bisa banget dibales kayak gitu. Tapi bisa lagi dibales, "kalau sistem pendidikannya macem kayak gini, gimana?
*Jam belajar dari jam 7 pagi - 2 siang
*Mata pelajaran berjumlah (kurang lebih) lima belasan
*Bab tiap mata pelajaran nya banyak
*Ada ulangan harian, Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester, Ujian Akhir Sekolah, Ujian Praktek, Ujian Nasional, Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nasional, Ujian Mandiri Perguruan Tinggi, Ujian Masuk Bersama. Ujian hidup banget kan?
*Standar nilai kelulusan tiap tahun meningkat dan itu SETARA se-nasional
*Dan lain-lain

Padahal kenyataannya,
*Ga semua sekolah BERFASILITAS mewah atau paling tidak punya fasilitas yang semuanya tersedia, bahkan belum tentu semua sekolah punya buku panduan belajar, punya meja-kursi yang layak pakai, gedung yang layak ditempatin selama berjam-jam, papan tulis gaul dengan spidol warna-warni, lemari tempat banyak buku-buku bacaan dan penunjang belajar, dsb.
*Ga semua orang bisa "kesempatan" dapat "pelajaran tambahan" diluar sekolah. Alias les, dengan harga yang sekarang makin gila-gila.
*Ga semua orang bisa punya kapasitas otak dan kemampuan nalar ilmu-ilmu alam/sosial SAMA RATA
*Kesejahteraan guru bahkan masih dibilang "kacau" dan "tragis"
*Dan lain-lain.

Tapi yang paling penting sih yaa yang itu, Ga semua orang bisa punya kapasitas otak dan kemampuan nalar ilmu-ilmu alam/sosial SAMA RATA.
Dan gimana rasa kalutnya orang-orang yang "merasa" dirinya "duh, gue jauh lebih bego dibanding temen-temen gue" atau "gue nggak bisa materi ini. Gue takut justru yang ini yang banyak keluar di soal nanti."
Gimana nggak galau berkepanjangan tuh?

Saya dulu, sumpah deg-degan juga ngadepin UN. Kalang kabut, materi ini sampai hari-H masih belum ngerti juga, tinggal tang-ting-tung doang. Mengingat juga hasil try out terakhir, nilai Fisika saya cuma 4 komaan. IYA. EMPAT KOMAAN!!!
Gimana nggak kacau balau pikiran tuh?
Cuma tinggal dua bulan. DUA BULAN.

Belum lagi ditambah ujian-ujian lainnya.
Dan mungkin itu juga yang dirasain sama adek saya dan orang-orang lain yang merasakan hal serupa begitu.
Jadi kadang suka kepikiran aja kalau ada yang berkomentar, "emang kemana aja para siswa-siswa itu selama tiga tahun di sekolah? tidurkah? main kah? nggak belajar kah?"
Dan rasanya saya ingin mereka kerjakan semua soal-soal, ikutan segala macam ujian, SAMA kayak kita. Dengan posisi standar nilai yang sama.
Bakalan ada yang berkomentar, "kapasitas kemampuan otak manusia kan berbeda-beda" juga kah?

Ah, pak, dan para pemimpin lainnya di jajaran pemerintahan. Saya dulu ngeri, adik saya pun juga ngeri, dan ada berapa jutaan anak siswa yang merasakan hal yang sama seperti kita? Tidak adakah cara lain selain Ujian Nasional yang "menakutkan" ini?

"Temen gue, dia guru honorer. Padahal daerahnya ga terpencil gitu, masih diperkotaan. Gajinya cuma 500 ribu. Mau makan apaan dia tiap bulan?"
Betul-betul kita harus banyak bersyukur. Masih ada orang, dengan pekerjaan mulia, dengan cita-cita luhur mau membuat anak-anak Indonesia, emang sih harusnya guru "tanpa balas jasa", tapi...
Ya. Guru seharusnya bukan profesi, dan ya, mendidik bukan tugas guru, tapi semua manusia di bumi ini adalah pendidik.
Tapi, tapi, tapi.. Ketika guru dianggap sebagai profesi, mau bagaimana lagi? Secara logika, yang memilih jadi guru juga kan harus menempuh pendidikan yang "nggak seberapa" untuk memperoleh ilmu, dan kondisinya nggak semuanya orang "punya".
Iya, tahu sih. Mengajar itu kerja sosial. Seharusnya tanpa mengharapkan balasan materi apa-apa. Tapi setidaknya, bisakah menuntut kesejahteraan, sedikit saja? Sejahtera. Saya yakin banget, yang saat ini duduk di kursi pemerintahan juga dulunya diajarin sama yang namanya "guru".

"Kemana Pasal 31 UUD 1945?"
Ini saya nggak bermaksud sombong ya. Cuma mau cerita aja kok. Dulu, waktu saya SMP, saya ikutan lomba mata pelajaran PPKn dan kalau lolos final, tes nya adalah pidato. Tema nya pendidikan. Bebas. Lima orang yang lolos dan alhamdulillah termasuk saya, tiga diantaranya pidato tentang wajib belajar 9 tahun, satunya lagi pidato tentang kondisi pendidikan saat ini, giliran saya? Saya nggak kepikiran apa-apa. Yang ada di otak saya cuma Pasal 31 UUD 1945.

Dulu waktu SMP, saya penggila Pasal-pasal UUD 1945.
Suer. Sekarang mah udah buyar. Hahahaha.

Kenapa yang dipikiran lo kayak gitu sih, del? Entahlah. Saya sendiri juga ga tau. Saya cuma kepikiran itu doang yaaah hitung-hitung sekalian keluarin unek-unek di depan juri. Padahal ngomong depan kelas saya aja, pengecutnya minta ampun, ini lagi lalaguan keluarin unek-unek segala. Tapi seriusan, yang ada di otak saya cuma si pasal ini.

Pasal 31 ayat 1,2,3,4,5, Hasil amandemen UUD 1945 Ke IV ( tahun 2002) berbunyi :

Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan

Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya

Ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang diatur dengan undang-undang 

Ayat 4 : Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional 

Ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan kesejahteraan umat manusia

For all, saya cuma niatnya mempertanyakan aja sih inti pidato nya dan mengajak sama-sama untuk kembali berpedoman pada UUD 1945. Sekalipun saya lalaguan aja mengambil kesimpulan sendiri sama isi pasal 31 ini.

{Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan}
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan? Seharusnya begitu, tapi kalau yang "kurang punya biaya"? Masih banyak yang terkendala. Mereka minder, mereka tidak "diterima", mereka dianggap "berbeda", bisa jadi dikasih beasiswa, tapi ada yang ngasih cuma bebas uang masuk selanjutnya bayar sendiri kedepannya.

Berhak mendapat pendidikan, berarti bisa jadi berhak untuk sekolah, bukan? Iya, sih. Pendidikan nggak mesti dari sekolah, tapi di Indonesia, tempat formal apalagi sih selain sekolah dan diakuin buat "masa depan" biar "dianggap setara dan sama" kayak yang lain?

{Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya}
Ga jauh beda lah dengan pertanyaan saya di poin atas. Wajib mengikuti pendidikan dasar. SD 6 tahun dan SMP 3 tahun. Dan pemerintah wajib, wajib lho ya, membiayainya. Entahlah. Yang dibiayain apanya.
Oke, nggak semuanya begitu kok. Banyak juga anak-anak yang bisa mengenyam pendidikan secara gratis, untuk pendidikan dasar, tapi coba yuk lihat, kalau lulusan SMP (sekedar pendidikan dasar doang), bisa dapat kerja apaan? Selain wirausaha tapi ya.
Kenapa ga ditambahin, paling nggak sampai SMA?

 {Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional...}
KTSP? Zaman saya pakai istilah ini, nggak tau kalau sekarang istilahnya apaan. Si UN? Hihihi. Termasuk sistem pendidikan nasional juga ga sih? Seinget saya sih waktu zaman saya lomba begituan yang saya bahas cuma ujian-ujiannya dan standar nilai tiap sekolah.
Iyalah saya bahas. Sekolah punya standar penilaian sendiri. Misalnya, nilai Matematika standar sekolah 7, ga semua sekolah ngasih standar dengan nilai segitu, kan? Bisa jadi sekolahan di daerah-daerah lain, standarnya 6.
Dengan standar yang beda-beda, diakhir, semua siswa dikasih UJIAN NASIONAL dengan standar nilai yang SAMA.

Perumpamaannya, kita mau lomba lari, diajar sama pelatih, standarnya dari do'i disuruh latihan lari keliling lapangan bola 3x dalam waktu ga boleh lebih dari 20 menit. Orang lain, dengan pelatih yang berbeda dan punya standar pelatihannya sendiri juga, misalnya disuruh lari keliling lapangan bola 3x dalam waktu ga boleh lebih dari 15 menit. Dan ternyata, diperlombaannya disuruh lari keliling lapangan bola 3x dalam waktu ga boleh lebih dari 10 menit untuk semua pelari.
Mamam ga tuh?

Saya pernah ngajar kecil-kecilan, program BEM nya fakultas saya waktu kuliah, di salah satu SD dekat kampus. Ngajar bahasa Inggris. Pas masuk kelas, fasilitasnya terbatas banget, dan di samping lemari ada kertas dengan tulisan standar nilai sekolah tersebut.

Saya miris lihatnya,
Matematika : 4
Bahasa Indonesia : 5
Bahasa Inggris : 4
Bahkan Agama : 5

Agamaaaaa! Limaaaa!

Ditambah, keputusan-keputusan yang dikeluarin sama pemerintah terkait pendidikan, misalnya jadwal Ujian Nasional, standar nilai yang tiap tahun naik, itu ga dikeluarin di awal tahun ajaran. Helloooo, emang guru-guru di Indonesia bisa sekece itu ngubah kebiasaan anak didiknya untuk rajin belajar dengan standar nilai dadakan atau menjaminkan anak-anak didiknya bisa lulus dengan konsep yang kadang masih amburadul?
Entahlah.

{...yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang diatur dengan undang-undang}
Aiiiih, saya suka banget bahas Ujian Nasional. Soalnya kontroversi banget-banget sih. Ujian Nasional mampukah meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia seorang siswa? Bisa iya, bisa nggak. Bocoran kebetan ada tiap tahunnya. Sekalipun mata pelajaran agama ada di sekolah-sekolah, bisa menjaminkah? Nggak juga lho.

Akhlak mulia? Tawuran, nyontek, anak sekolahan udah berani berlaku mesum, ah, akhlak mulia kah? Nggak sepenuhnya salah siapa sih. Perlu ada pembelajaran dari masing-masing pelaku.

{Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional}

Gedung sekolah masih banyak yang bobrok. Genteng bocor, kursi-kursi buluk banget. Papan tulis masih pakai kapur. kalau juga masih ada yang jual kapur, kalau kagak? Mau nulis pakai apa? Lemari cuma satu, terbatas, mau taruh buku-buku apaan? Kalau juga ada buku, kalau nggak?

Dua puluh persen lho. Sekurang-kurangnya pula. Dan dari APBN.

Terus, itu buat sekolah-sekolah yang rada emang fasilitasnya kurang terpenuhi. Belum lagi kalau sekolah-sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Itu bagaimana kabarnya?
Bahkan kampus-kampus di Indonesia masih minim sekali memberikan kemudahan akses untuk orang-orang difabel.

{Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi...)
Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oke. Mungkin sudah banyak anak-anak yang melek komputer dan internet. Tapi ga sedikit juga yang belum paham sama sekali. Memajukan ilmu pengetahun dengan hanya membiarkan para siswa membaca buku teks, teori, praktik minim, bagaimana bisa mengaplikasikan?
Sekali lagi, memang bukan sepenuhnya negatif yang terlihat di Indonesia.
{...dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban kesejahteraan umat manusia)
Nilai agama dan persatuan bangsa. Dan untuk kemajuan peradaban kesejahteraan umat manusia. Beradab kah? Menyisipkan nilai-nilai moral kah sistem pendidikan Indonesia? Buku-buku teks anak SD aja lumayan banyak yang ketauan isinya ada yang melenceng. Nilai-nilai agama cuma disisipin dengan berdoa sebelum belajar dan selesai belajar. Mata pelajarannya? Yaudah. Ngasih ilmu nya standar buku aja.
Kalau mau yang dalam mah sekalian aja ke pesantren atau madrasah.

Gitu kan?

Bahkan masing-masing agama malah lebih asik untuk menonjolkan apa yang lebih "baik", lebih "oke", lebih "eksis" di lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia, bukannya mengutamakan penanaman nilai-nilai agamisnya.

***

(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Dimana anak-anak daerah-daerah terpencil masih sangat sulit meski sekedar akses untuk pergi ke sekolahnya. Mereka bisa melewati jurang-jurang terjal, jembatan nyaris putus, sungai yang alirannya deras, hanya untuk bisa memperoleh ilmu yang sungguh efeknya akan berdampak luar biasa di kemudian hari. Dilain pihak, orang-orang yang beruntung diberi kesempatan memperoleh pendidikan, di sekolah keren, kece, dan gaul, kalau ke sekolah diantar-jemput jemputan atau supir pribadi, atau bahkan pakai kendaran pribadi sendiri, malah ogah-ogahan, tidur di kelas, kerjaannya cuma ngobrol, ga nafsu banget liat tulisan dan angka atau apapun itu yang berbau ilmu pengetahuan.

(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Dimana gedung-gedung sekolahan yang bahkan sudah tak layak pakai, atap bocor sana-sini dan buat kalang kabut kalau hujan turun, bahkan bisa jadi menimbulkan banjir karena akses nya yang "mentakdirkan" si sekolah harus begitu. Fasilitas ala kadarnya, seragam sekolah yang mungkin hanya bisa dibeli beberapa buah dan itu digunakan selama 6/5 hari dalam seminggu.

(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Disaat para manusia-manusia hebat lebih memilih mengaplikasikan ilmunya meski dengan jasa ala kadarnya, daerah dengan akses dan fasilitas yang tak kalah mirisnya. Mereka tahu, itu jauh lebih mulia dibanding wakil rakyat yang asyik tidur saat rapat, diruangan ber-AC, tanpa perlu berkoar-koar menghadapi orang lain dengan kapasitas otak yang tidak sama, atau yang sibuk bobo-an dipundak dikala rapat berlangsung dengan "senyap" nya, dan mereka jauh dibayar dengan harga mahal dengan peluh yang bahkan menetes pun tidak.

(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Disaat bocah-bocah pinggir jalan, ada yang terpaksa, ada juga yang menjadikan pilihan hidupnya untuk tidak bersekolah. Yang terpaksa, karena memang tak ada biaya, malu, minder, dan sebagainya. Yang menjadikan jalan hidupnya tidak sekolah, karena mereka paham, hidup di Indonesia jauh lebih penting uang dibanding ilmu yang bermanfaat. Toh mereka merasa, orang-orang pintar yang mampu bersekolah saja target hidup sebagian besar dari mereka adalah uang, bukan?

(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Disaat para siswa menangis ketakutan, belajar siang malam, puasa, shalat dhuha, shalat tahajud hanya untuk berdoa, "Ya Allah luluskan saya Ujian Nasional", sedangkan disisi lain ada yang memanfaatkan situasi dengan membuat bocoran soal ujian, menyebarkan, mengambil keuntungan dengan menyuruh para siswa membayar dengan harga jutaan, atau para petinggi pemerintah yang hanya berkata, "Ah, ga mungkin soal bocor. Banyak tipe soalnya kayak gitu kok. Keamanan terjaga sampai hari-H".
Tak tahukah mereka betapa kalutnya anak-anak seusia belasan tahun ini luar biasa ngerinya sampai bahkan merelakan cara tidak halal hanya untuk kata "LULUS" di selembar kertas dengan nama, cap jari, tanda tangan, dan foto mereka? Atau hanya sekedar memperoleh nilai bagus semisal 9 koma sekian untuk dibanggakan dikemudian hari lantas langsung lupa ketika ditanya ilmunya sendiri.

(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Ketika para lulusan terhebat, yang membangga-banggakan dirinya lulusan terbaik, berpendidikan tinggi, terkenal, bisa kerja di lingkungan hebat, tapi justru asyik mengejar duniawinya, lupa bahwa sesungguhnya ada yang lebih penting. Membangun negara nya sendiri. Bekerja untuk negaranya sendiri, bukan untuk bangsa asing. Bukan untuk cari muka lantas korupsi. Bukan untuk agar dikenal lalu cari sensasi. Melanjutkan kembali siklus pendidikan negara nya.
Tidak mesti mengajar, membantu tidak hanya dengan cara lain kan?

(Selamat) Hari Pendidikan Nasional, pak, bu, dan seluruh rakyat Indonesia. Semoga pendidikan ini bukan sekedar tentang mengajar dan diajari, memahami dan dipahami, mengamalkan dan diamalkan, tapi juga mau berubah dan diubah untuk menjadi lebih baik lagi. Iya. Kita semua. Bukan hanya kalian, tapi saya juga. Semoga.

"Membangun pendidikan dan SDM tanpa memberikan peluang dan kesempatan untuk mengimplementasikannya bukan hanya akan sia-sia, bahkan akan menimbulkan rasa apatis, frustasi, dan kemudian destruksi" - Dahlan Iskan.