Wahai siapapun yang nantinya akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional, saya tahu tulisan saya pun alakadarnya. Saya juga tidak berniat cari sensasi, saya cuma mau cerita sedikit. Entah juga sih, sedikit atau banyak. Tapi betulan, saya mau cerita. Cerita tentang Ujian Nasional. Jadi, jangan berpikiran negatif dulu sama saya, kan saya cuma cerita aja.
Lho, kok ke siapapun yang akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional nanti? Soalnya saya pikir, percuma kalau saya merujuk sama salah satu orang saja. Yang ada palingan saya diketawain doang nanti. Lagi juga Ujian Nasional ini kan programnya beliau, yaa siapa sih yang mau kalau ide yang sudah dijalankan lantas tidak disukai atau bahkan dihapuskan begitu saja? Jadi, saya memilih tulisan ini untuk orang-orang siapapun yang bakalan menjadi bawahan Menteri Pendidikan Nasional terutama yang nantinya menjalankan program dari ide Ujian Nasional ini sekaligus ke yang jadi menterinya suatu saat nanti.
Oke, boleh ya?
Bapak atau ibu yang nanti jadi Menteri Pendidikan Nasional beserta bawahannya, tanggal 5-7 Mei kemarin Ujian Nasional untuk siswa SMP dilaksanakan, kan? Sebelumnya tanggal 14-16 April kemarin Ujian Nasional untuk siswa SMA yang diberlakukan. Kok saya ingat banget? Ya, karena tepat pada tahun ini, adik saya yang masih SMA dan sepupu saya yang masih SMP sama-sama kelas 3 dan sama-sama merasakan dampak dari Ujian Kehidupan bagi siswa sekolah ini.
Kok saya bilang Ujian Kehidupan bagi siswa sekolah?
Iya lah, hidup-matinya siswa sekolah buat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi ada disini.
Dalam tiga hari saja.
Dengan standar nilai yang SAMA RATA se-Indonesia.
Hmm, sepertinya sederhana banget ya. Dan rasanya bayangan saya skenarionya begini waktu ide Ujian Nasional dikeluarkan.
X : Kita butuh suatu sistem yang lebih oke lagi supaya anak-anak Indonesia jauh lebih dipandang "pintar" oleh negara lain. Bagaimana kalau dibuat suatu ujian, serentak untuk setiap tingkat pendidikan, dimana kita tetapkan nilai standarnya dan tiap tahun nilainya semakin lama kita tinggikan. Setuju?
Yang lain hening.
X : Baiklah setuju semua, kalau yang tidak setuju, silahkan keluar dari ruangan saya. Setuju tidak setuju, saya suka dengan ide saya. Any problem?
Dramatis ya? Itu khayalan saya saja sih.
Wahai siapapun yang nanti akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional. Saya nggak minta anda menjadi orang gaul dengan memiliki akun facebook, twitter, path, tumblr, dsb. Nggak kok. Tapi saya ingin sosok yang peka sama rakyatnya. Rakyatnya? Iya. Kan anda pemimpin kami juga. Orang yang memimpin nasib pendidikan kami, ratusan jiwa rakyat Indonesia.
Peka bagaimana? Peka bahwa tidak semua keputusan yang anda perbuat itu "baik" adanya. Bukankah ketika manusia memutuskan sesuatu, pikirkan dahulu apakah bakal banyak mudharat nya atau banyak manfaatnya?
Sekarang, bagaimana dengan Ujian Nasional?
Ah, saya terlalu bertele-tele ya? Maaf ya.
Siapapun yang nanti akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional, anda memang mungkin tidak tahu, tapi boleh kan saya beritahu "keadaan yang sebenarnya"? Adik saya dan sepupu saya luar biasa takut sekali buat menghadapi ujian. Adik saya, dulu pemalas banget sama yang namanya belajar. Dari SD malas banget. Tapi sejak masuk SMA, saya tahu dia berusaha lebih. Iya! Lebih dibanding sebelum-sebelumnya. Dia berusaha untuk rajin belajar, supaya bisa dapat peringkat di tiap semester nya dan mempermudah dia untuk bisa diterima perguruan tinggi lewat jalur undangan. Sekaligus mencicil belajar untuk yang namanya Ujian Nasional.
Lantas, ketika adik saya, di hari-3 bulan meminta saya untuk mengajari dia, mereview matematika, iya MATEMATIKA, dari materi kelas 1, dan dia masih ngerasa kalang kabut, galau berkepanjangan tiada tara sampai -3 hari, apakah lantas saya bilang dengan mudahnya, "Ah, elu sih. Kalau belajar dari dulu juga, ga bakalan takut Ujian Nasional" seperti yang-saat-ini-menjadi-Menteri-Pendidikan bilang di setiap kali wawancara?
Semudah itu kah saya bakalan berkata begitu? Tidak. Saya nggak mau ngomong begitu. Saya tahu rasanya seperti apa. Saya juga pernah merasakannya.
Tekanan batin para siswa, tidak semuanya bukan karena mereka belum menguasai materi. Mereka bisa saja mengerjakan soal-soal yang berbulan-bulan dikasih terus menerus sama guru di sekolah atau pengajar di tempat les mereka, tapi ketika yang menjadi masalah adalah tekanan batin karena "soal tiap tahunnya akan semakin susah", bagaimana? Lain cerita lagi bukan?
Disaat yang diujikan bukan hanya 1-2 pelajaran, tapi enam pelajaran, untuk SMA. IYA ENAM! di tahun ini. Dan dalam sehari ujian, dilaksanakan dua mata pelajaran, dengan kondisi perasaan yang ketakutan, nggak karu-karuan, pengawas ujian dua-tiga orang, nggak sekalian tuh tiap meja ada yang ngawasin?
Perlukah mereka dijaga seketat itu seolah-olah penjahat lagi di uji kebenaran dari perbuatannya?
Oke, begini deskripsinya.
Versi netral :
Pagi-pagi, sekitar jam 6 disaat para siswa mulai berdatangan dengan hati yang saya yakin nggak ada yang bahagia saat itu, di depan pintu gerbang sudah bertengger beberapa polisi, lengkap dengan guru sekolah, bahkan kalau mau jackpot si polisi bawa anjing pelacak. Di pintu-pintu, tembok, papan-papan pengumuman sudah terpasang tulisan "HARAP TENANG. SEDANG ADA UJIAN". Wah, ramai sekali itu selembaran dipasang dimana-mana, seakan-akan itu tulisan berbunyi sesungguhnya, "WANTED. DICARI SISWA X DENGAN CIRI-CIRI xxxxxx. JIKA BERHASIL MENEMUKANNYA, AKAN MENDAPAT HADIAH".
Sejenis itu lah. Menakutkan.
Lebai kah saya? Tidak. Itu kenyataan kok.
Memangnya para siswa itu mau digerebek ketahuan judi, bawa narkoba, bertindak kriminal, atau bahkan berlaku mesum kayak di rumah remang-remang sampai bawa polisi beserta anjing pelacak segala? Menjaga kemurnian soal yang katanya dibangga-banggakan "Hebat" bahkan "Standar Internasional" itu saja kah?
Lantas, para siswa disuruh tunggu diluar kelas, mereka sibuk menghapal materi-materi, kalang kabut buka catatan, tanya-tanya teman, gelisah tak menentu, sedangkan kelas dikunci, diisolasi seakan-akan ada virus berbahaya dan manusia tidak boleh ada yang masuk kedalam. Selang 30 menit menuju ujian, pengawas datang, bawa soal yang (katanya) disegel beserta lembar jawabannya, dimana si pengawas pasang tampang seseram mungkin, malah kalau bisa pengawas yang cewek pakai high heels biar sengaja kalau jalan bunyi "tak-tok-tak-tok" yang begitu merdunya. Tunggu beberapa menit, mereka siapin kertas jawaban di meja masing-masing siswa. Kelas masih dalam posisi ditutup pintunya. Kalau sudahan prepare yang-entah-mereka-melakukan-apa-didalam-sana, pengawas keluar dan menyuruh para siswa masuk kelas.
Para siswa masuk kelas, masih sibuk ngapalin materi, yang ada dipikiran cuma positif thinking, "semoga yang dihapalin di detik-detik terakhir itulah yang justru keluar", sedangkan si pengawas mulai nyuruh ini-itu lah, seperti, "YANG BAWA HP SILAHKAN TARUH DI MEJA PENGAWAS", "CATATAN DALAM BENTUK APAPUN SILAHKAN DISIMPAN DALAM TAS DAN DITARUH DI DEPAN KELAS", dan sebagainya. Lantas, pengawas pamer amplop cokelat yang (lagi-lagi) katanya masih disegel, sambil berkata "INI BUKTINYA YA, AMPLOPNYA MASIH RAPI, SOAL MASIH TERJAGA DAN UTUH".
Yaaa, seperti itulah kira-kira.
Soal dibagikan, para siswa disuruh berdoa sejenak, siswa belum selesai berdoa sudah disuruh berhenti, para siswa mulai mengerjakan, dan disela-sela mengerjakan di menit-menit awal, para pengawas mulai sibuk keliling kelas.
Bukan. Mereka belum beraksi untuk pergokin siswa yang nyontek. Mereka beraksi untuk MINTA TANDA TANGAN SEBAGAI ABSENSI UJIAN.
Mengganggu kah? Sesungguhnya amat sangat mengganggu.
90 menit mengerjakan, selesai, kadang ditambah-tambah dengan kata-kata, "LIMA BELAS MENIT LAGI" macam juri Masterchef nyebut sisa waktu atau "AYO DIKUMPULKAN, YANG BELUM KUMPULKAN SAYA TINGGAL KELUAR". Dan para siswa tambah kalang kabut. Buru-buru menghitamkan lembar jawaban ujian. Selesai. Plong kah? Demi apapun, SAMA SEKALI NGGAK.
Pengawas merapikan semua berkas, pergi keluar kelas, kumpul evaluasi, dikasih upah jaga ujian deh.
Simpel kah?
Versi Para Siswa:
Kalau bisa sih datang jam 5. Ngumpul disalah satu tempat, gerombolan, sibuk bahas sesuatu.
Bukaaaan. Bukan bahas soal atau materi yang belum paham.
Mereka sibuk ketak-ketik via hp. Saatnya memperoleh kunci jawaban UN.
Nggak percaya pak, bu? Silahkan sih, tapi kenyataan versi para siswa ya begitu. Nih ya, abis subuh, semua siswa satu sekolah juga bakalan ada message masuk ke hp yang isinya kunci jawaban soal UN.
Lho, sekarang kan ada banyak versinya? Belasan bukan? Nggak ngaruh, adik saya saja, kemarin masih dikasih kok, cuma via nya bukan sms lagi, via Whats App Messanger. Padahal adik saya nggak minta sama sekali. Dulu saya juga begitu. Tiba-tiba saja ada pesan masuk isinya kunci jawaban A B D E B A D C C E... dan seterusnya.
Makin gaul kan ya?
Nah, giliran jawaban sudah diterima masing-masing anak, ada beberapa kemungkinan.
1. Siswa yang sangat baik dan menjunjung kejujuran, sama sekali nggak ngaruh, mau ada bocoran kunci jawaban apa kagak. Azzamnya sudah kuat buat nggak nyontek.
2. Siswa yang setengah baik dan menjunjung kejujuran. Ada sub bagian nya nih.
a. Siswa yang ikutan pakai kunci jawaban, terserah mau catat jawaban di kertas kek, papan jalan/dada nya kek, atau apapun itu lah, tapi hanya sekedar untuk "menyamakan jawaban" atau ngecek lah jawaban versi kunci sama tidak dengan versi diri sendiri.
b. Siswa yang nggak ikutan pakai kunci jawaban, cukup nanya aja sama teman yang jenis soalnya sama.
3. Siswa yang emang udah busuk niatnya, seriusan banget pakai kunci jawaban bocoran, nggak mau mikir lagi. Biasanya yang kayak begini, ciri-cirinya, dia udah selesai ngerjain ujian duluan, waktu masih tersisa puluhan menit, dia sudah leyeh-leyeh di meja nya, bahkan kalau bisa, dia tidur.
4. Siswa pasrah. Lulus nggak lulus yang penting bisa lewatin Ujian Nasional saja sudah lega luar biasa.
Tapi jarang kayaknya yang tipe keempat.
Lantas, setelah selesai ujian, para siswa keluar kelas, kasak kusuk, ada yang bahas soal dan jawaban, stres karena jawabannya ga sama kayak temannya, ada yang agak lega "eh, pas banget lho kunci jawabannya. Hampir betul semua", atau ada yang memilih langsung pulang untuk belajar lagi mata pelajaran hari esoknya atau pulang karena kepala sudah mumet, atau lebih parahnya lagi, pulang dan berniat bunuh diri.
***
Bunuh diri? IYA! BUNUH DIRI!
Saya pribadi sih belum pernah melihat atau sekedar mendengar secara langsung ada siswa yang bahkan mau bunuh diri setelah mengerjakan Ujian Nasional. Paling hanya via internet atau berita. But, kenyataannya, saya melihat adegan yang nyaris menyerupai, tapi alhamdulillah nya salah satu anggota keluarga saya ini masih diberikan ketabahan sama ujian ini.
Sepupu saya yang masih SMP dan mengalami Ujian Nasional kemarin dari selesai ujian hari pertama, baru kali itu saya lihat dia berlutut, minta maaf sama ibu nya, sambil nangis sesenggukan, dalam hal "sekolah" doang.
Selesaikah sampai hari pertama? Nggak.
Dia lagi-lagi melakukan hal yang sama, hal yang serupa, terlebih setelah selesai mengerjakan Ujian Nasional yang judulnya MATEMATIKA.
Bodoh kah dia? Nggak. Dari SD sampai SMP, Alhamdulillah selalu dapat ranking paling tidak sepuluh besar dikelasnya. Lantas kenapa dia sampai nangis dengan model seperti itu?
"Ampunin aku ya, ma. Maafin aku, tadi aku ngerjainnya masih banyak yang salah. Aku takut nilai aku kecil, terus nilai kumulatif aku nggak bisa buat aku lolos masuk ke SMA Negeri..."
Wahai siapapun yang nantinya akan menjadi Menteri Pendidikan Nasional, saya rasa untuk menunjukkan orang Indonesia itu pintar, tidak perlulah sampai sebegininya. Ujian Nasional dikasih soal dengan tipe soal "standar Internasional" untuk anak SMP-SMA, wajarkah?
Untuk orang egois mungkin bilang wajar. Tapi seluruh siswa SMP-SMA di Indonesia tidak sedang mengikuti perlombaan skala internasional. Mereka sedang berjuang buat bisa lolos sekolah ke tingkat yang lebih tinggi lagi atau diam ditempat sekaligus menerima "acuhan" dan jenis pembunuhan karakter dalam bentuk lainnya dari orang-orang sekitar.
Bukan soal menang-kalah seperti lomba-lomba seperti itu, yang kalau dikasih soal skala internasional dan tidak bisa menjawab ya tidak masalah. Karena kalah pun bukan suatu hal yang memalukan dan menakutkan sampai membuat hidup seseorang "jatuh dengan amat sangat".
Apakah siswa-siswa di daerah-daerah yang masih sulit akses pendidikan, bisa menjawab soal standar "kebanggaan" itu? Dimana standar nilai sekolahnya saja, bisa jadi cuma 6 untuk mata pelajaran Matematika.
Tahukah apa yang dibangga-banggakan, "SOAL UJIAN NASIONAL TAHUN INI TIDAK AKAN BOCOR!", yaaa sesungguhnya tidak akan betulan nggak bocor. Wong dari zaman kakak saya saja, sekitar tahun 2005 (atau bahkan lebih lama lagi), sudah turun temurun "kunci jawaban Ujian Nasional" bakalan ada.
Yang saya curigakan, justru apakah ada "orang dalam" yang memang sudah disediakan untuk menyebarkan kunci jawaban itu? Tahukah tiap siswa diharuskan membayar 50-100 ribu rupiah (versi adik saya kemarin UN) untuk perolehan kunci jawaban tersebut, sekalipun adik saya atau siswa-siswa lain tidak memintanya? Dan memang ada beberapa siswa yang memang mengurusi hal tersebut ke pihak yang memberikan kunci jawaban.
Wallahu'alam. Saya juga tidak mau suudzhan. Gitu-gitu ibu saya digaji disana. Hahaha. Tapi untungnya bukan bagian ngurusin si ujian ini.
Tapi seandainya, (seandainya) lho ya, betul, Ya Tuhan, maafkanlah negara saya, betul-betul jahat sekali membuat suatu sistem dimana niatnya adalah "baik" tapi justru "busuk" sekali didalamnya.
Semoga tidak.
Bapak atau Ibu yang siapa tahu nanti terpilih jadi Menteri Pendidikan Nasional, tahukah apa yang sepupu saya tangiskan?
Boleh saya ceritakan?
Saya lupa, jumlah soal Matematika di Ujian Nasional yang dia ceritakan berapa banyak, kalau tidak salah 40 soal. Dia bilang, ada 3-4 soal dengan standar "kebanggaan" itu, dan itu semua membuat dia semaput mencari jawaban, belum ditambah lagi soal-soal yang lainnya. Dia cerita sambil menangis, kalau dihitung-hitung total soal yang dijawab salah sama dia antara 5-6 soal.
Kalau perhitungan saya tidak salah, anggap salah 6, total soal yang betul adalah 34, maka nilai dia
34 : 4 = 8,5
Kalau saya tidak salah hitung tapi ya. Saya juga nggak tahu hitung-hitungan ala Panitia Ujian Nasional seperti apa.
Apa? 8,5 aja nangis?
Baiklah.
Bapak dan Ibu yang nanti jadi Menteri Pendidikan Nasional, semoga kepandaian anda bisa menjadi teladan bagi semua rakyat Indonesia. Perjuangan siswa-siswa korban Ujian Nasional lantas tidak berakhir begitu saja hanya dengan kata "LULUS" di selembar kertas yang ditambah nama, foto, cap tiga jari, dan tanda tangan siswa.
Ketika siswa mendapat kata "LULUS" mereka masih menghadapi persaingan yang bahkan bisa jadi, jauh lebih sadis lagi. Memperoleh bangku sekolah di tingkat yang lebih tinggi lagi.
Buat yang SMA, dengar-dengar Nilai Ujian Nasional dijadikan syarat masuk Perguruan Tinggi ya? Alhamdulillah sih, zaman saya belum, tapi sekarang? Coba dibayangkan, seandainya ada siswa berprestasi, sudah diterima di Perguruan Tinggi Terbaik di Indonesia, namun hanya karena nilai Ujian Nasionalnya tidak sesuai syarat, masih diterima kah?
Saya harap, masih. Dan saya harap, ada pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Jangan sampai hanya karena TIGA-EMPAT HARI SIALAN itu (maaf kalau kata-kata saya kasar), yang bisa jadi merusak nilai siswa berprestasi sekalipun, mampu mematikan harapan dia. Who knows, kita tidak pernah tahu, kan? Orang sepintar apapun tidak menjamin dia akan "lancar jaya" menghadapi ujian-ujian dan soal dalam bentuk apapun, kan? Pengusaha saja tidak selamanya berhasil dalam usahanya.
Dan yang SMP? Ini lebih sadis. Permainan angka-angka yang tertera di kertas "LULUS" itu, bisa kali dimanipulasi. Yang nilainya kecil, bisa aja dijadiin besar atau dilolosin keterima sekolah-sekolah idaman padahal nilainya tidak mencukupi batas persaingan nilai yang lain, asaaaaaal.
Ada fulus nya.
Ada imbalan lah.
Ada campur tangan lah yaaaaa paling tidak.
"Anak bapak/ibu saya masukin sekolah ini, tapi nanti ada gantinya ya? Buat "pembangunan sekolah"."
"Anak bapak/ibu bisa masuk sekolah sini, tapi nanti yaaaaa, bapak/ibu ngerti lah yaaaa bagaimana kedepannya"
Ada lho. Jangan anggap hal-hal seperti itu tidak ada.
Siapapun yang nantinya, Innalillahi, bisa terpilih jadi Menteri Pendidikan Nasional, tidak semua siswa di Indonesia berasal dari orang kaya raya, borjuis, dan sebagainya, termasuk keluarga saya. Siapa sih yang tidak mengincar sekolah-sekolah negeri, perguruan-perguruan tinggi negeri, karena terjangkau biaya atau yang hanya sekedar mengincar pandangan masyarakat-pemerintah yang kayaknya "lebih keren" sama hal-hal yang berjudul "negeri" dibandingkan "swasta"?
Tapi tahukah juga, jumlah "negeri" itu tidak banyak, yang daftar sampai ribuan-puluhan ribu, yang keterima? Di Perguruan Tinggi Negeri saja, untuk jurusan idaman paling banyak yang keterima 50-100an. Dengan perbandingan yang daftar sebanyak itu.
Makanya, praktik melenceng juga banyak. Dan saya berharap, tolong hargailah siswa-siswa yang sudah berusaha dengan jujur sebaik mungkin, jangan dihancurkan "harapan" mereka dengan praktik-praktik semena-mena itu.
Waktu adik saya masuk SMP, nilai adik saya tidak jelek-jelek amat, tapi entah mengapa siswa-siswa di kota saya, beuuuh, pintar-pintar banget, nilainya tinggi-tinggi. Adik saya kebetulan daftar kesana kemari, selalu kelempar dari ambang batas penerimaan siswa di sekolah-sekolah tersebut. Sampai akhirnya di hari terakhir pendaftaran, hari penentuan, hari yang lebih kejam, dimana orang-orang yang "curang" melancarkan aksi pamungkas nya, apalagi di jam-jam menuju penutupan pendaftaran, adik saya ada diurutan 7 terbawah di salah satu SMP Negeri di kota saya.
Semaputkah adik saya? Mungkin iya, tapi karena sikap adik saya yang "selow" banget, jadi tidak terlihat. Yang semaput justru ayah-ibu saya. Kalau adik saya masuk sekolah swasta, hmmm, di kota saya, sekolah swasta bagus itu mahaaaal, pak/bu. Seriusan.
Dan ayah saya yang selalu memantau dan standby sampai detik-detik terakhir pendaftaran sekolah, dihadapi kenyataan, banyak orang-orang yang mulai "curang". Curangnya kayak apa, tidak perlu saya ceritain lah ya.
Marahkah ayah saya?
Ya.
Beliau masuk ke ruang guru, dan agak mengeluarkan marah-marahnya. Tapi, diacuhkan. Pasrah kah ayah saya? Tidak.
Beliau rela sampai ke Dinas Pendidikan kota saya, melaporkan semuanya, sampai hampir banting pintu segala.
Berlebihan kah ayah saya? Bisa jadi. Tapi ayah saya paling anti sama hal-hal yang nggak adil dan bentuk kecurangan apapun.
Seriously.
Jadi saya pikir, perlu lah sekali-kali ada orang yang "mau melawan" dengan agak keras atas semua lemahnya birokrasi negara ini. Dan saya rasa, cara ayah saya tidak salah-salah banget, entah orang lain anggap seperti apa.
***
Ah, bapak-ibu yang nanti betulan dikasih kesempatan jadi Menteri Pendidikan Nasional. See? Banyak manfaat atau mudharatnya kah? Saya tidak mengharapkan "hapuskan Ujian Nasional". Tidak.
Indonesia juga butuh "standardisasi" untuk progress tingkat pendidikan rakyatnya kan?
Tapi saya rasa tidak mesti dengan "soal standar internasional", standar nilai yang "SAMA RATA" se-Indonesia, yang berujung pada praktik-praktik curang dalam bentuk apapun. Bolehlah buat Ujian Nasional yang diselenggarakan serentak, tapi cukuplah yang membuat itu guru tiap sekolah, atau paling tidak guru-guru sekota atau wilayahnya masing-masing. Hingga bisa lebih jelas, standar para siswa di daerahnya seperti apa.
Oh iya, bukankah lebih baik utamakan perbaikan moral dan karakter siswa? Lihatkah anak SD zaman sekarang bahkan berani pukul adik kelasnya hanya karena menyenggol minumnya sampai adik kelasnya tewas? Atau lihatkah sepasang mahasiswa-mahasiswi cuma karena masalah cinta, dengan bangganya bunuh temannya? Atau banyak anak-anak yang masih bau kencur, pakai seragam putih-biru atau putih-abu-abu, bikin video mesum, tawuran, ngerokok, nyimeng, haha-hihi nggak jelas, keluyuran malam-malam pakai baju minim, pacaran nggak kenal situasi dan kondisi, nyolong, palakin orang, bunuh orang kayak bunuh semut atau nyamuk saking gampangnya, dan hal-hal lainnya?
Apakah dengan pintarnya mereka karena nilai Ujian Nasional nya hampir mendekati nilai sempurna bisa disetarakan atau bahkan lebih mulia dan lebih berharga dibandingkan dengan moral dan kepribadian siswa nya itu sendiri?
Siapapun yang nanti jadi Menteri Pendidikan Nasional, itu jauh lebih penting saya rasa. Negara ini sudah sakit, sangat sakit. Dia butuh penerus-penerus yang jauh lebih kuat, jauh lebih bijaksana, jauh lebih berkarakter dibanding otak secemerlang apapun. Semoga kebijakan-kebijakan anda kedepannya akan jauh bermanfaat untuk pendidikan anak-anak Indonesia dan mencetak mereka menjadi Bangsa Indonesia yang jauh lebih bermartabat dan berkarakter luar biasa. Iya, semoga.
“Intelligence plus character, that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter, adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya) - Martin Luther King
“To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society”(Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman marabahaya bagi masyarakat) - Theodore Roosevelt