Sebenarnya juga bukan salah bapak sih. Bapak kan nggak ngatur jadwal bawahannya bapak ya. Dan ga ngatur sebegitu banyaknya pegawai bapak. Tapi kalau ngawasin, mantau, bagi-bagi tugas dari puluh ribuan (mungkin) bawahan dalam naungan Kementerian Pendidikan Nasional, dan bukan cuma IBU saya doang bisa ga? Nanya doang sih. Yang pasti ibu saya hebat luar biasa. Kalau bisa, tolong dong dedikasiin ibu saya sebagai abdi negara dari Kementerian Pendidikan Nasional. Seriusan.
Ya, seperti di awal, saya miris kalau mau bilang, "Selamat" di hari pendidikan nasional. Entah mengapa.
"Sumpah Ni (*Uni, read), Gue takut sama UN. Rasanya mau nangis."See? Itu yang ngomong adik saya. Laki-laki. Kelas 3 SMA. Jadi baru bulan kemarin juga kejadiannya. I know him kayak gimana, seumur hidup dia jadi adik saya, baru kali ini dia takut sama yang berhubungan sama "sekolah". Dia dari TK tipe orang yang masa bodo amat sama prestasi, hingga akhirnya pas masuk SMA, dia rela banget jadi rajin belajar (dikit) biar bisa dapet peringkat di kelasnya dan (setidaknya) memudahkan dia buat daftar universitas nantinya lewat jalur undangan.
But, detik-detik menjelang UN, kira-kira 3 bulan menjelang UN, galaunya minta ampun. Apalagi H-1 bulan atau lebih ekstrimnya lagi H-sehari.
"Uni, gue ga tau lagi mau belajar apaan. Rasanya belajar pun takut. Takut ilang apa yang udah dipelajarin. Dulu lo kayak gimana sih?"
Dulu? Saya juga ngeri. Siapa sih yang nggak ngeri? Munafik kalau saya bilang ada yang nggak ngerasa "ngeri". Atau paling banter ada lah yaaa rasa "khawatir dengan negatif thinking yang kadarnya meskipun cuma 0,000 sekian persen".
Ngeri kenapa sih? Iya ngeri lah. Ngeri karena gue tahu, semales-malesnya anak belajar, dan ketika menghadapi Ujian Nasional, saya yakin nggak ada yang nggak mau lulus. Kenapa? Karena kita (saya dan siapapun bekas siswa atau yang masih jadi siswa-siswa lainnya) ga akan ada yang mau mengecewakan orang tua.
Lho, lho, lho. Kalau nggak mau ngecewain orang tua, yaa jangan males lah belajarnya.
Bisa kok. Bisa banget dibales kayak gitu. Tapi bisa lagi dibales, "kalau sistem pendidikannya macem kayak gini, gimana?
*Jam belajar dari jam 7 pagi - 2 siang
*Mata pelajaran berjumlah (kurang lebih) lima belasan
*Bab tiap mata pelajaran nya banyak
*Ada ulangan harian, Ujian Tengah Semester, Ujian Akhir Semester, Ujian Akhir Sekolah, Ujian Praktek, Ujian Nasional, Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nasional, Ujian Mandiri Perguruan Tinggi, Ujian Masuk Bersama. Ujian hidup banget kan?
*Standar nilai kelulusan tiap tahun meningkat dan itu SETARA se-nasional
*Dan lain-lain
Padahal kenyataannya,
*Ga semua sekolah BERFASILITAS mewah atau paling tidak punya fasilitas yang semuanya tersedia, bahkan belum tentu semua sekolah punya buku panduan belajar, punya meja-kursi yang layak pakai, gedung yang layak ditempatin selama berjam-jam, papan tulis gaul dengan spidol warna-warni, lemari tempat banyak buku-buku bacaan dan penunjang belajar, dsb.
*Ga semua orang bisa "kesempatan" dapat "pelajaran tambahan" diluar sekolah. Alias les, dengan harga yang sekarang makin gila-gila.
*Ga semua orang bisa punya kapasitas otak dan kemampuan nalar ilmu-ilmu alam/sosial SAMA RATA
*Kesejahteraan guru bahkan masih dibilang "kacau" dan "tragis"
*Dan lain-lain.
Tapi yang paling penting sih yaa yang itu, Ga semua orang bisa punya kapasitas otak dan kemampuan nalar ilmu-ilmu alam/sosial SAMA RATA.
Dan gimana rasa kalutnya orang-orang yang "merasa" dirinya "duh, gue jauh lebih bego dibanding temen-temen gue" atau "gue nggak bisa materi ini. Gue takut justru yang ini yang banyak keluar di soal nanti."
Gimana nggak galau berkepanjangan tuh?
Saya dulu, sumpah deg-degan juga ngadepin UN. Kalang kabut, materi ini sampai hari-H masih belum ngerti juga, tinggal tang-ting-tung doang. Mengingat juga hasil try out terakhir, nilai Fisika saya cuma 4 komaan. IYA. EMPAT KOMAAN!!!
Gimana nggak kacau balau pikiran tuh?
Cuma tinggal dua bulan. DUA BULAN.
Belum lagi ditambah ujian-ujian lainnya.
Dan mungkin itu juga yang dirasain sama adek saya dan orang-orang lain yang merasakan hal serupa begitu.
Jadi kadang suka kepikiran aja kalau ada yang berkomentar, "emang kemana aja para siswa-siswa itu selama tiga tahun di sekolah? tidurkah? main kah? nggak belajar kah?"
Dan rasanya saya ingin mereka kerjakan semua soal-soal, ikutan segala macam ujian, SAMA kayak kita. Dengan posisi standar nilai yang sama.
Bakalan ada yang berkomentar, "kapasitas kemampuan otak manusia kan berbeda-beda" juga kah?
Ah, pak, dan para pemimpin lainnya di jajaran pemerintahan. Saya dulu ngeri, adik saya pun juga ngeri, dan ada berapa jutaan anak siswa yang merasakan hal yang sama seperti kita? Tidak adakah cara lain selain Ujian Nasional yang "menakutkan" ini?
"Temen gue, dia guru honorer. Padahal daerahnya ga terpencil gitu, masih diperkotaan. Gajinya cuma 500 ribu. Mau makan apaan dia tiap bulan?"Betul-betul kita harus banyak bersyukur. Masih ada orang, dengan pekerjaan mulia, dengan cita-cita luhur mau membuat anak-anak Indonesia, emang sih harusnya guru "tanpa balas jasa", tapi...
Ya. Guru seharusnya bukan profesi, dan ya, mendidik bukan tugas guru, tapi semua manusia di bumi ini adalah pendidik.
Tapi, tapi, tapi.. Ketika guru dianggap sebagai profesi, mau bagaimana lagi? Secara logika, yang memilih jadi guru juga kan harus menempuh pendidikan yang "nggak seberapa" untuk memperoleh ilmu, dan kondisinya nggak semuanya orang "punya".
Iya, tahu sih. Mengajar itu kerja sosial. Seharusnya tanpa mengharapkan balasan materi apa-apa. Tapi setidaknya, bisakah menuntut kesejahteraan, sedikit saja? Sejahtera. Saya yakin banget, yang saat ini duduk di kursi pemerintahan juga dulunya diajarin sama yang namanya "guru".
"Kemana Pasal 31 UUD 1945?"Ini saya nggak bermaksud sombong ya. Cuma mau cerita aja kok. Dulu, waktu saya SMP, saya ikutan lomba mata pelajaran PPKn dan kalau lolos final, tes nya adalah pidato. Tema nya pendidikan. Bebas. Lima orang yang lolos dan alhamdulillah termasuk saya, tiga diantaranya pidato tentang wajib belajar 9 tahun, satunya lagi pidato tentang kondisi pendidikan saat ini, giliran saya? Saya nggak kepikiran apa-apa. Yang ada di otak saya cuma Pasal 31 UUD 1945.
Dulu waktu SMP, saya penggila Pasal-pasal UUD 1945.
Suer. Sekarang mah udah buyar. Hahahaha.
Kenapa yang dipikiran lo kayak gitu sih, del? Entahlah. Saya sendiri juga ga tau. Saya cuma kepikiran itu doang yaaah hitung-hitung sekalian keluarin unek-unek di depan juri. Padahal ngomong depan kelas saya aja, pengecutnya minta ampun, ini lagi lalaguan keluarin unek-unek segala. Tapi seriusan, yang ada di otak saya cuma si pasal ini.
Pasal 31 ayat 1,2,3,4,5, Hasil amandemen UUD 1945 Ke IV ( tahun 2002) berbunyi :
Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan
Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya
Ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang diatur dengan undang-undang
Ayat 4 : Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional
Ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan kesejahteraan umat manusia
For all, saya cuma niatnya mempertanyakan aja sih inti pidato nya dan mengajak sama-sama untuk kembali berpedoman pada UUD 1945. Sekalipun saya lalaguan aja mengambil kesimpulan sendiri sama isi pasal 31 ini.
{Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan}
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan? Seharusnya begitu, tapi kalau yang "kurang punya biaya"? Masih banyak yang terkendala. Mereka minder, mereka tidak "diterima", mereka dianggap "berbeda", bisa jadi dikasih beasiswa, tapi ada yang ngasih cuma bebas uang masuk selanjutnya bayar sendiri kedepannya.
Berhak mendapat pendidikan, berarti bisa jadi berhak untuk sekolah, bukan? Iya, sih. Pendidikan nggak mesti dari sekolah, tapi di Indonesia, tempat formal apalagi sih selain sekolah dan diakuin buat "masa depan" biar "dianggap setara dan sama" kayak yang lain?
{Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya}Ga jauh beda lah dengan pertanyaan saya di poin atas. Wajib mengikuti pendidikan dasar. SD 6 tahun dan SMP 3 tahun. Dan pemerintah wajib, wajib lho ya, membiayainya. Entahlah. Yang dibiayain apanya.
Oke, nggak semuanya begitu kok. Banyak juga anak-anak yang bisa mengenyam pendidikan secara gratis, untuk pendidikan dasar, tapi coba yuk lihat, kalau lulusan SMP (sekedar pendidikan dasar doang), bisa dapat kerja apaan? Selain wirausaha tapi ya.
Kenapa ga ditambahin, paling nggak sampai SMA?
Iyalah saya bahas. Sekolah punya standar penilaian sendiri. Misalnya, nilai Matematika standar sekolah 7, ga semua sekolah ngasih standar dengan nilai segitu, kan? Bisa jadi sekolahan di daerah-daerah lain, standarnya 6.
Dengan standar yang beda-beda, diakhir, semua siswa dikasih UJIAN NASIONAL dengan standar nilai yang SAMA.
Perumpamaannya, kita mau lomba lari, diajar sama pelatih, standarnya dari do'i disuruh latihan lari keliling lapangan bola 3x dalam waktu ga boleh lebih dari 20 menit. Orang lain, dengan pelatih yang berbeda dan punya standar pelatihannya sendiri juga, misalnya disuruh lari keliling lapangan bola 3x dalam waktu ga boleh lebih dari 15 menit. Dan ternyata, diperlombaannya disuruh lari keliling lapangan bola 3x dalam waktu ga boleh lebih dari 10 menit untuk semua pelari.
Mamam ga tuh?
Saya pernah ngajar kecil-kecilan, program BEM nya fakultas saya waktu kuliah, di salah satu SD dekat kampus. Ngajar bahasa Inggris. Pas masuk kelas, fasilitasnya terbatas banget, dan di samping lemari ada kertas dengan tulisan standar nilai sekolah tersebut.
Saya miris lihatnya,
Matematika : 4
Bahasa Indonesia : 5
Bahasa Inggris : 4
Bahkan Agama : 5
Agamaaaaa! Limaaaa!
Ditambah, keputusan-keputusan yang dikeluarin sama pemerintah terkait pendidikan, misalnya jadwal Ujian Nasional, standar nilai yang tiap tahun naik, itu ga dikeluarin di awal tahun ajaran. Helloooo, emang guru-guru di Indonesia bisa sekece itu ngubah kebiasaan anak didiknya untuk rajin belajar dengan standar nilai dadakan atau menjaminkan anak-anak didiknya bisa lulus dengan konsep yang kadang masih amburadul?
Entahlah.
Akhlak mulia? Tawuran, nyontek, anak sekolahan udah berani berlaku mesum, ah, akhlak mulia kah? Nggak sepenuhnya salah siapa sih. Perlu ada pembelajaran dari masing-masing pelaku.
Gedung sekolah masih banyak yang bobrok. Genteng bocor, kursi-kursi buluk banget. Papan tulis masih pakai kapur. kalau juga masih ada yang jual kapur, kalau kagak? Mau nulis pakai apa? Lemari cuma satu, terbatas, mau taruh buku-buku apaan? Kalau juga ada buku, kalau nggak?
Dua puluh persen lho. Sekurang-kurangnya pula. Dan dari APBN.
Terus, itu buat sekolah-sekolah yang rada emang fasilitasnya kurang terpenuhi. Belum lagi kalau sekolah-sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Itu bagaimana kabarnya?
Bahkan kampus-kampus di Indonesia masih minim sekali memberikan kemudahan akses untuk orang-orang difabel.
Sekali lagi, memang bukan sepenuhnya negatif yang terlihat di Indonesia.
Kalau mau yang dalam mah sekalian aja ke pesantren atau madrasah.
Gitu kan?
Bahkan masing-masing agama malah lebih asik untuk menonjolkan apa yang lebih "baik", lebih "oke", lebih "eksis" di lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia, bukannya mengutamakan penanaman nilai-nilai agamisnya.
***
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Dimana anak-anak daerah-daerah terpencil masih sangat sulit meski sekedar akses untuk pergi ke sekolahnya. Mereka bisa melewati jurang-jurang terjal, jembatan nyaris putus, sungai yang alirannya deras, hanya untuk bisa memperoleh ilmu yang sungguh efeknya akan berdampak luar biasa di kemudian hari. Dilain pihak, orang-orang yang beruntung diberi kesempatan memperoleh pendidikan, di sekolah keren, kece, dan gaul, kalau ke sekolah diantar-jemput jemputan atau supir pribadi, atau bahkan pakai kendaran pribadi sendiri, malah ogah-ogahan, tidur di kelas, kerjaannya cuma ngobrol, ga nafsu banget liat tulisan dan angka atau apapun itu yang berbau ilmu pengetahuan.
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Dimana gedung-gedung sekolahan yang bahkan sudah tak layak pakai, atap bocor sana-sini dan buat kalang kabut kalau hujan turun, bahkan bisa jadi menimbulkan banjir karena akses nya yang "mentakdirkan" si sekolah harus begitu. Fasilitas ala kadarnya, seragam sekolah yang mungkin hanya bisa dibeli beberapa buah dan itu digunakan selama 6/5 hari dalam seminggu.
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Disaat para manusia-manusia hebat lebih memilih mengaplikasikan ilmunya meski dengan jasa ala kadarnya, daerah dengan akses dan fasilitas yang tak kalah mirisnya. Mereka tahu, itu jauh lebih mulia dibanding wakil rakyat yang asyik tidur saat rapat, diruangan ber-AC, tanpa perlu berkoar-koar menghadapi orang lain dengan kapasitas otak yang tidak sama, atau yang sibuk bobo-an dipundak dikala rapat berlangsung dengan "senyap" nya, dan mereka jauh dibayar dengan harga mahal dengan peluh yang bahkan menetes pun tidak.
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Disaat bocah-bocah pinggir jalan, ada yang terpaksa, ada juga yang menjadikan pilihan hidupnya untuk tidak bersekolah. Yang terpaksa, karena memang tak ada biaya, malu, minder, dan sebagainya. Yang menjadikan jalan hidupnya tidak sekolah, karena mereka paham, hidup di Indonesia jauh lebih penting uang dibanding ilmu yang bermanfaat. Toh mereka merasa, orang-orang pintar yang mampu bersekolah saja target hidup sebagian besar dari mereka adalah uang, bukan?
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Disaat para siswa menangis ketakutan, belajar siang malam, puasa, shalat dhuha, shalat tahajud hanya untuk berdoa, "Ya Allah luluskan saya Ujian Nasional", sedangkan disisi lain ada yang memanfaatkan situasi dengan membuat bocoran soal ujian, menyebarkan, mengambil keuntungan dengan menyuruh para siswa membayar dengan harga jutaan, atau para petinggi pemerintah yang hanya berkata, "Ah, ga mungkin soal bocor. Banyak tipe soalnya kayak gitu kok. Keamanan terjaga sampai hari-H".
Tak tahukah mereka betapa kalutnya anak-anak seusia belasan tahun ini luar biasa ngerinya sampai bahkan merelakan cara tidak halal hanya untuk kata "LULUS" di selembar kertas dengan nama, cap jari, tanda tangan, dan foto mereka? Atau hanya sekedar memperoleh nilai bagus semisal 9 koma sekian untuk dibanggakan dikemudian hari lantas langsung lupa ketika ditanya ilmunya sendiri.
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Ketika para lulusan terhebat, yang membangga-banggakan dirinya lulusan terbaik, berpendidikan tinggi, terkenal, bisa kerja di lingkungan hebat, tapi justru asyik mengejar duniawinya, lupa bahwa sesungguhnya ada yang lebih penting. Membangun negara nya sendiri. Bekerja untuk negaranya sendiri, bukan untuk bangsa asing. Bukan untuk cari muka lantas korupsi. Bukan untuk agar dikenal lalu cari sensasi. Melanjutkan kembali siklus pendidikan negara nya.
Tidak mesti mengajar, membantu tidak hanya dengan cara lain kan?
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional, pak, bu, dan seluruh rakyat Indonesia. Semoga pendidikan ini bukan sekedar tentang mengajar dan diajari, memahami dan dipahami, mengamalkan dan diamalkan, tapi juga mau berubah dan diubah untuk menjadi lebih baik lagi. Iya. Kita semua. Bukan hanya kalian, tapi saya juga. Semoga.
{Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional...}KTSP? Zaman saya pakai istilah ini, nggak tau kalau sekarang istilahnya apaan. Si UN? Hihihi. Termasuk sistem pendidikan nasional juga ga sih? Seinget saya sih waktu zaman saya lomba begituan yang saya bahas cuma ujian-ujiannya dan standar nilai tiap sekolah.
Iyalah saya bahas. Sekolah punya standar penilaian sendiri. Misalnya, nilai Matematika standar sekolah 7, ga semua sekolah ngasih standar dengan nilai segitu, kan? Bisa jadi sekolahan di daerah-daerah lain, standarnya 6.
Dengan standar yang beda-beda, diakhir, semua siswa dikasih UJIAN NASIONAL dengan standar nilai yang SAMA.
Perumpamaannya, kita mau lomba lari, diajar sama pelatih, standarnya dari do'i disuruh latihan lari keliling lapangan bola 3x dalam waktu ga boleh lebih dari 20 menit. Orang lain, dengan pelatih yang berbeda dan punya standar pelatihannya sendiri juga, misalnya disuruh lari keliling lapangan bola 3x dalam waktu ga boleh lebih dari 15 menit. Dan ternyata, diperlombaannya disuruh lari keliling lapangan bola 3x dalam waktu ga boleh lebih dari 10 menit untuk semua pelari.
Mamam ga tuh?
Saya pernah ngajar kecil-kecilan, program BEM nya fakultas saya waktu kuliah, di salah satu SD dekat kampus. Ngajar bahasa Inggris. Pas masuk kelas, fasilitasnya terbatas banget, dan di samping lemari ada kertas dengan tulisan standar nilai sekolah tersebut.
Saya miris lihatnya,
Matematika : 4
Bahasa Indonesia : 5
Bahasa Inggris : 4
Bahkan Agama : 5
Agamaaaaa! Limaaaa!
Ditambah, keputusan-keputusan yang dikeluarin sama pemerintah terkait pendidikan, misalnya jadwal Ujian Nasional, standar nilai yang tiap tahun naik, itu ga dikeluarin di awal tahun ajaran. Helloooo, emang guru-guru di Indonesia bisa sekece itu ngubah kebiasaan anak didiknya untuk rajin belajar dengan standar nilai dadakan atau menjaminkan anak-anak didiknya bisa lulus dengan konsep yang kadang masih amburadul?
Entahlah.
{...yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ,yang diatur dengan undang-undang}Aiiiih, saya suka banget bahas Ujian Nasional. Soalnya kontroversi banget-banget sih. Ujian Nasional mampukah meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia seorang siswa? Bisa iya, bisa nggak. Bocoran kebetan ada tiap tahunnya. Sekalipun mata pelajaran agama ada di sekolah-sekolah, bisa menjaminkah? Nggak juga lho.
Akhlak mulia? Tawuran, nyontek, anak sekolahan udah berani berlaku mesum, ah, akhlak mulia kah? Nggak sepenuhnya salah siapa sih. Perlu ada pembelajaran dari masing-masing pelaku.
{Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan nasional}
Gedung sekolah masih banyak yang bobrok. Genteng bocor, kursi-kursi buluk banget. Papan tulis masih pakai kapur. kalau juga masih ada yang jual kapur, kalau kagak? Mau nulis pakai apa? Lemari cuma satu, terbatas, mau taruh buku-buku apaan? Kalau juga ada buku, kalau nggak?
Dua puluh persen lho. Sekurang-kurangnya pula. Dan dari APBN.
Terus, itu buat sekolah-sekolah yang rada emang fasilitasnya kurang terpenuhi. Belum lagi kalau sekolah-sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Itu bagaimana kabarnya?
Bahkan kampus-kampus di Indonesia masih minim sekali memberikan kemudahan akses untuk orang-orang difabel.
{Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi...)Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oke. Mungkin sudah banyak anak-anak yang melek komputer dan internet. Tapi ga sedikit juga yang belum paham sama sekali. Memajukan ilmu pengetahun dengan hanya membiarkan para siswa membaca buku teks, teori, praktik minim, bagaimana bisa mengaplikasikan?
Sekali lagi, memang bukan sepenuhnya negatif yang terlihat di Indonesia.
{...dengan menjunjung tinggi nilai nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban kesejahteraan umat manusia)Nilai agama dan persatuan bangsa. Dan untuk kemajuan peradaban kesejahteraan umat manusia. Beradab kah? Menyisipkan nilai-nilai moral kah sistem pendidikan Indonesia? Buku-buku teks anak SD aja lumayan banyak yang ketauan isinya ada yang melenceng. Nilai-nilai agama cuma disisipin dengan berdoa sebelum belajar dan selesai belajar. Mata pelajarannya? Yaudah. Ngasih ilmu nya standar buku aja.
Kalau mau yang dalam mah sekalian aja ke pesantren atau madrasah.
Gitu kan?
Bahkan masing-masing agama malah lebih asik untuk menonjolkan apa yang lebih "baik", lebih "oke", lebih "eksis" di lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia, bukannya mengutamakan penanaman nilai-nilai agamisnya.
***
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Dimana anak-anak daerah-daerah terpencil masih sangat sulit meski sekedar akses untuk pergi ke sekolahnya. Mereka bisa melewati jurang-jurang terjal, jembatan nyaris putus, sungai yang alirannya deras, hanya untuk bisa memperoleh ilmu yang sungguh efeknya akan berdampak luar biasa di kemudian hari. Dilain pihak, orang-orang yang beruntung diberi kesempatan memperoleh pendidikan, di sekolah keren, kece, dan gaul, kalau ke sekolah diantar-jemput jemputan atau supir pribadi, atau bahkan pakai kendaran pribadi sendiri, malah ogah-ogahan, tidur di kelas, kerjaannya cuma ngobrol, ga nafsu banget liat tulisan dan angka atau apapun itu yang berbau ilmu pengetahuan.
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Dimana gedung-gedung sekolahan yang bahkan sudah tak layak pakai, atap bocor sana-sini dan buat kalang kabut kalau hujan turun, bahkan bisa jadi menimbulkan banjir karena akses nya yang "mentakdirkan" si sekolah harus begitu. Fasilitas ala kadarnya, seragam sekolah yang mungkin hanya bisa dibeli beberapa buah dan itu digunakan selama 6/5 hari dalam seminggu.
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Disaat para manusia-manusia hebat lebih memilih mengaplikasikan ilmunya meski dengan jasa ala kadarnya, daerah dengan akses dan fasilitas yang tak kalah mirisnya. Mereka tahu, itu jauh lebih mulia dibanding wakil rakyat yang asyik tidur saat rapat, diruangan ber-AC, tanpa perlu berkoar-koar menghadapi orang lain dengan kapasitas otak yang tidak sama, atau yang sibuk bobo-an dipundak dikala rapat berlangsung dengan "senyap" nya, dan mereka jauh dibayar dengan harga mahal dengan peluh yang bahkan menetes pun tidak.
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Disaat bocah-bocah pinggir jalan, ada yang terpaksa, ada juga yang menjadikan pilihan hidupnya untuk tidak bersekolah. Yang terpaksa, karena memang tak ada biaya, malu, minder, dan sebagainya. Yang menjadikan jalan hidupnya tidak sekolah, karena mereka paham, hidup di Indonesia jauh lebih penting uang dibanding ilmu yang bermanfaat. Toh mereka merasa, orang-orang pintar yang mampu bersekolah saja target hidup sebagian besar dari mereka adalah uang, bukan?
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Disaat para siswa menangis ketakutan, belajar siang malam, puasa, shalat dhuha, shalat tahajud hanya untuk berdoa, "Ya Allah luluskan saya Ujian Nasional", sedangkan disisi lain ada yang memanfaatkan situasi dengan membuat bocoran soal ujian, menyebarkan, mengambil keuntungan dengan menyuruh para siswa membayar dengan harga jutaan, atau para petinggi pemerintah yang hanya berkata, "Ah, ga mungkin soal bocor. Banyak tipe soalnya kayak gitu kok. Keamanan terjaga sampai hari-H".
Tak tahukah mereka betapa kalutnya anak-anak seusia belasan tahun ini luar biasa ngerinya sampai bahkan merelakan cara tidak halal hanya untuk kata "LULUS" di selembar kertas dengan nama, cap jari, tanda tangan, dan foto mereka? Atau hanya sekedar memperoleh nilai bagus semisal 9 koma sekian untuk dibanggakan dikemudian hari lantas langsung lupa ketika ditanya ilmunya sendiri.
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional. Ketika para lulusan terhebat, yang membangga-banggakan dirinya lulusan terbaik, berpendidikan tinggi, terkenal, bisa kerja di lingkungan hebat, tapi justru asyik mengejar duniawinya, lupa bahwa sesungguhnya ada yang lebih penting. Membangun negara nya sendiri. Bekerja untuk negaranya sendiri, bukan untuk bangsa asing. Bukan untuk cari muka lantas korupsi. Bukan untuk agar dikenal lalu cari sensasi. Melanjutkan kembali siklus pendidikan negara nya.
Tidak mesti mengajar, membantu tidak hanya dengan cara lain kan?
(Selamat) Hari Pendidikan Nasional, pak, bu, dan seluruh rakyat Indonesia. Semoga pendidikan ini bukan sekedar tentang mengajar dan diajari, memahami dan dipahami, mengamalkan dan diamalkan, tapi juga mau berubah dan diubah untuk menjadi lebih baik lagi. Iya. Kita semua. Bukan hanya kalian, tapi saya juga. Semoga.
"Membangun pendidikan dan SDM tanpa memberikan peluang dan kesempatan untuk mengimplementasikannya bukan hanya akan sia-sia, bahkan akan menimbulkan rasa apatis, frustasi, dan kemudian destruksi" - Dahlan Iskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar