Rabu, 23 Oktober 2013

Tahun ke-17 Untukmu, Dariku


Salah satu orang yang saya sayangi sudah berumur 17 tahun.

I always bully you when you were a baby.

Waktu dia masih kecil, saya sayang banget sama dia, cuma mungkin caranya yang berbeda.

Saya tahu dia lahir ditahun yang kurang tepat, dimana perbedaan perlakuan lingkungan antara saya dan dia jauh berbeda. Saya punya panggilan "sendiri" buat dia, yang sampai saat ini masih saya rahasiakan. Saya suka ngejailin dia, meski hanya sekedar nyubitin pipinya yang berakhir saat ini pipi dia habis karena sering saya cubitin (haha).

Saya suka bawa dia ke kamar tidur, bareng nenek saya. Nanti nenek saya bacain cerita-cerita nabi dan rasul atau cerita-cerita rakyat khususnya cerita dari minang, atau dinyanyikan lagu-lagu minang. Dia pendiam banget, kayaknya pasrah saya apain aja. Meskipun suka nangis gara-gara saya becandain, tapi kayaknya lempeng aja tanggapan sesudahnya. Dulu bahkan saya pernah berpikir, apa dia benci sama saya ya gara-gara suka saya kerjain?


Waktu dia masih bayi, saya nggak pernah berani buat gendong dia. Takut. Tapi suatu waktu saya memberanikan diri buat gendong dia. Dulu saya keciiiil banget, gendong bayi pun rasanya susah payah. Tapi ketagihan. Semakin berani saya gendong dia, saya mulai bereksperimen buat putar-putar-in dia sambil gendong. Kayaknya saya nggak peduli apa dia bakalan puyeng atau nggak. Kalau dia lagi dimandiin, saya ciprat-cipratin air ke mukanya, nggak peduli masuk ke matanya.

Sekali lagi saya penasaran, apa waktu dulu dia punya rasa benci sama saya?

Waktu itu dia pernah jatuh di tempat tidur orang tua saya, di sela-sela tempat tidur dan tembok. Panik. Takut kenapa-kenapa. Dia suka banget jatuh. Sering banget diurut gara-gara keseleo pas bayi. Pernah waktu itu badannya biru kayak abis keseleo nggak tahu gara-gara apa.

Semakin besar, dia nggak sebenarnya nggak banyak tingkah. Malah untuk ukuran anak laki-laki, dia tergolong anak yang pendiam.

Dia lahir di tahun dengan kondisi yang jauh berbeda dengan saya. Kalau dulu saya waktu kecil masih suka diajak jalan-jalan, dibawain makanan melimpah dari ayah saya, tiap sabtu atau minggu ada aja kegiatan diluar rumah, dibelikan mainan yang saya syudia tidak merasakan itu. Kalaupun pernah itu sangat-sangat jarang.
Dia lahir di zaman revolusi dimana semua harga naik dan ekonomi keluarga yaa standar-standar saja. Dia jarang sekali menikmati indahnya kemudahan dunia sejak kecil.

I used to hate you, seriously.

Saya pernah membenci dia. Serius. Saat dia mulai masuk sekolah menengah pertama, saat dia mulai menginjak masa remaja. Bukan, bukan karena aku iri akan segala sesuatunya. Bukan karena dia lebih diperhatikan oleh siapapun. Sama sekali bukan.

Saya benci dia bergaul dengan teman-teman disekitar rumahnya.

Bukan melarang untuk bergaul dengan orang lain, tapi saya melihat teman-temannya agak membawa dampak yang buruk ke dirinya. Omongannya mulai kasar, sering membantah perkataan orang-orang dirumah, meskipun masih belum jauh dikatakan "berandal", tapi saya benci dia.
Saya pernah bilang, "Nggak usah main sama dia. Omongan kamu tuh kayak nggak dijaga banget"

Saya nggak bermaksud untuk membedakan antara anak-anak yang mengenyam pendidikan di "tempat yang baik" dengan di "tempat yang tidak baik". Saya rasa itu juga tergantung pribadinya masing-masing. Tapi untuk kondisi ini, saya benci dia bergaul dengan orang-orang yang seperti itu.

Karena saya nggak suka tingkahnya, sering banget saya bentak-bentakin dia. Dia minta bantuan apapun ke saya, saya nggak mau bantuin dia. Tingkahnya selalu buat bikin saya emosi, entah karena apa. Pikiran saya selalu negatif terus sama dia. Tiap dia ngomong apapun, rasanya benci aja dengar kata-katanya.
Tante saya pernah bilang, "Jangan suka bentak-bentak. Dia itu yang nanti bertanggung jawab sama kamu kalau papa udah nggak ada."

Lagi-lagi saya penasaran, apa saat itu dia juga benci sama saya?

And the Life must Go On...

Saya paham, dia sangat ingin mengubah dirinya. Saya suka bilang ke dia, "Ikutan kek organisasi. Yang bener tapi. Rohis kek, OSIS kek, jangan diem doang di sekolah".
Saya tahu, sekacau apapun tingkahnya di rumah, kalau di sekolah dia nggak akan pernah macam-macam. Dia nggak pernah buat ulah yang sampai dimarahin guru di sekolahnya.

Tapi saya tahu, dia jauuuuuh lebih berusaha dibanding saya. Saya paham itu. Dan itu membuat rasa benci saya padanya mulai berkurang sedikit demi sedikit.
Saya tahu perasaannya berada di lingkungan dimana aku dan kakak ku bisa mengenyam pendidikan di sekolah favorit di kota aku, sedangkan dia bisa dibilang sulit untuk bisa mendapatkannya.

Saya tahu dia pintar, hanya saja malas.

Perjuangan ayah saya untuk mati-matian supaya dia bisa keterima sekolah di tempat yang baik, jauuuuh lebih besar dibanding saat saya dan kakak saya.

Saya tahu, dia ingin bisa seperti saya dan kakak saya. Saya tahu dia punya keinginan kuat untuk bisa sekolah di tempat yang sama denganku dan kakak ku. Saya tahu.

Saya jahat, suka ngatain dia cuma bisa dapat SMA yang bukan negeri. Bukan. Maksud saya bukan untuk hal-hal negatif.
Tapi seriously, saya ingin dia saya terpukul dan mau mati-matian ngubah dirinya.
Saya nggak bilang usaha saya berhasil atau nggak, itu kembali lagi ke pribadi masing-masing. Tapi saya tahu dia berusaha.

Saya tahu dia berusaha mati-matian belajar karena dia malesnya minta ampun buat belajar, sampai akhirnya dia selalu bisa dapat peringkat di kelasnya sejak kelas satu SMA. Saya tahu dia mulai punya cita-cita, berusaha ingin menjadi kakak-kakaknya. Meskipun kakak-kakaknya apalagi terutama saya, masih jauuuuuuh dibilang "hebat" buat hidup dia.

You Getting Older, I Hope You'll be Wise and You'll Get All Your Dreams.

Saya ingin sukses, sungguh.

Tapi entah kenapa, tekad saya bertambah sedikit dengan pemikiran, "Kalau saya tidak sampai mencapai keinginan saya, demi apapun, saya ingin lihat adik saya berhasil dengan cita-citanya."

Dulu saya punya cita-cita jadi dokter. Mati-matian banget ingin jadi dokter sampai SMP, saya harus sadar diri. Sadar diri bahwa menjadi dokter itu butuh biaya yang nggak cuma seberapa, sadar diri bahwa menjadi dokter tidak bermasalah dengan kesehatan matanya (kalaupun ada, tidak sebesar miopi yang saya alami), sadar diri bahwa menjadi dokter itu butuh jiwa sosial yang tinggi, sadar diri bahwa menjadi dokter itu lebih dari sekedar cita-cita, harapan, obsesi pribadi, tapi kehadirannya betul-betul menyangkut nyawa manusia. Bukan cita-cita sekedar cita-cita. Bukan cita-cita mainan.
Dan saya sadar diri, kita bukan orang yang punya materi jauh lebih banyak untuk berjuang memperoleh itu.

Tapi Allah mentakdirkan jalan yang lain, dia belokkan saya ke jurusan yang jauuuuuh berbeda dari apa yang saya kumpulkan dan saya minati semenjak SD. Saya suka IPA, saya sangat suka biologi, bahkan ketika masa-masanya menuju perguruan tinggi, saya mati-matian belajar supaya bisa masuk jurusan Bioteknologi ataupun Biologi.

Tapi saya ditakdirkanNya di jurusan sosial.

Dirinya sering bertanya, karena sudah kelas 3 SMA, jurusan apa yang bagus buatnya. Saya jawab, tapi saya nggak mau maksa dia. Saya tau dia punya minat sendiri, sekalipun saya bilang, "Ekonomi itu bagus!" atau "Akuntansi juga bagus, lowongan kerjanya banyak" atau "psikologi aja, itu juga banyak lowongannya kalau kerja".

Bukan. Jangan ambil kata-kata saya mentah-mentah.

Ilmu yang akan kamu ambil semata-mata bukan untuk ditukarkan dengan uang dikemudian harinya. Jangan sampai kamu berpikir begitu. Saya berkata demikian, hanya supaya kamu sadar, bahwa kenyataannya diluar sana memang yang menjadi minat kebanyakan orang-orang mengambil suatu jurusan untuk di kemudian harinya adalah itu.

Tapi saya jauh lebih menyukai diri dia mengikuti apa yang jadi cita-citanya.

Saya mungkin bisa bilang, cita-cita dia jauh lebih realistis dibanding saya dulu. Dia sangat suka bahasa asing, terutama Inggris dan Jepang. Pemahaman dia ke bahasa asing jauuuuh lebih baik dibandingkan hitung menghitung.
Dan saya tahu dirinya ingin masuk perguruan tinggi dengan jurusan bahasa asing seperti Inggris dan Jepang itu.

Mengapa tidak?

Jangan pernah takut dikemudian hari kamu akan menghasilkan apa. Jangan pernah takut kamu tidak dizinkan orang tua. Jangan pernah takut untuk terus berjuang mendapatkan apa yang kamu mau.

Saya paham, Inggris-Jepang juga favorit banyak orang, dan saya tahu dia mungkin minder.

Kamu,
Pernahkah merasakan bahwa ketika kamu merasa tidak punya "apa-apa" selain usaha semampu kamu, akan ada kekuatan jauh lebih dahsyat untuk mendorongmu ke jurang kesuksesan?
Doa orang-orang disekeliling kamu jauh lebih berarti dibanding segalanya.

Jangan pernah takut dengan teman-temanmu yang bisa les ditempat mahal, mewah, dengan paket "pasti lulus PTN dan jurusan yang diinginkan".
Jangan pernah takut dengan teman-temanmu yang mungkin kemampuan bahasa asingnya jauh lebih bagus karena mereka berkesempatan untuk mengikuti pendidikan non-formal bahasa asingnya.
Jangan pernah takut dengan teman-temanmu yang bisa beli buku-buku soal dengan harga mahal, selengkap-lengkapnya, sebanyak-banyaknya, sedangkan kamu hanya punya seadanya.

Berusahalah semampumu. Dan berdoalah.
Meminta padaNya jauuuuuh lebih hebat dari itu semua.
Dan saya selalu mendoakan yang terbaik untukmu.

Kamu,
Pilihlah yang terbaik, dan sekali lagi bukan karena dikemudian hari ingin memperloeh uang sebanyak-banyaknya. Pilihlah sesuai apa yang kamu harapkan dan jadilah salah satu orang yang sadar bahwa negara ini butuh orang-orang yang betul-betul mencintainya.
Kalaupun Allah mempersilahkan kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan melalui bahasa asing, maka bantulah. Bantulah negara ini untuk bisa bersaing dengan negara lain.

Ah ya, kata-kata saya bukan hanya sekedar kata-kata omong kosong belaka. Saya rasa negara ini memang butuh orang-orang yang betul-betul mencintainya sepenuh hati tanpa ada campur tangan negara lain.

Dia, semoga umur yang dewasa ini juga turut mendewasakannya,
menjadi bijak pun adalah suatu pilihan dan semoga dia memilihnya,
dan semoga Allah membantunya mendapatkan apa yang dia inginkan dan memberkahi setiap jalannya.

And He is My Brother...
Dia adik saya, yang sedang berusaha menjadi lebih dibandingkan kakak-kakaknya. Berusaha supaya bisa mendapatkan jalur undangan meskipun dia paham dan sering minder karena dia hanya sekolah di sekolah swasta dan masih banyak yang jauh lebih pintar dibanding dia. Berusaha menjadi aktif di sekolahnya sebagai ketua rohis untuk pertama kali dalam hidupnya merasakan organisasi dan berhubungan dengan banyak orang sekaligus menjadi pemimpin. Berusaha sebaik mungkin memperbaiki prestasi belajar formalnya, setidaknya untuk orang tuanya.

Allah melihat semua.
Percaya itu.
"The most three important words you can say to yourself : Yes, I can."
And i believe, you can.

Tidak ada komentar: