Sabtu, 12 April 2014

Manusia dan Fase Ke-alay-Labil-an

Sebenarnya saya juga bingung mau tulis apa dan judul tulisan serta isinya seperti apa. Tapi berhubung tangan saya "gatel" banget buat nulis, dan yang ada dipikiran saya adalah tentang "beginian".

Saya nggak berniat menjudge siapa yang bertingkah alay dan labil, pada usia berapa mereka berkelakuan seperti itu, karena saya rasa "hampir sebagian besar" atau mungkin "semua" manusia pada zaman akhir zaman (saya nggak tahu zamannya para nabi dan rasul seperti apa, kan?) akan bersikap seperti itu. Termasuk saya. Dan sebagian besarnya lagi, yang mengalaminya adalah para remaja dengan tingkat ABG muda, ABG tanggung, dan ABG tua. Itu sih klasifikasi versi saya aja sebenarnya. Haha.
Tapi bukan tidak memungkinkan, para manusia dewasa juga mengalami hal yang serupa.

Saya sendiri, jujur, pernah melakukan beberapa hal menurut saya pada saat ini, sangat menjijikan. Saya nulis ini pun based from true story dari kehidupan saya sendiri, bukan bermaksud membuka aib diri sendiri, curhat, atau apalah, tapi saya rasa "mengapa tidak kita sama-sama belajar dari pengalaman hidup siapapun itu?". Saya juga berpikir, kalau suatu saat nanti saya dikasih keturunan, mudah-mudahan ketika anak saya (aamiin. Jodoh aja belum ada padahal. Haha) memasuki fase ini, mereka bisa sama-sama belajar juga. So, sebelum anda tertawa ketika nanti membaca tulisan saya, silahkan anda berkaca terlebih dahulu apakah anda benar-benar bersih dari "fase" itu.

**

Berterima kasih lah pada Raditya Dika yang memperkenalkan fase ini pada khalayak umat manusia di Indonesia, karena kenyataan yang saya temui, itu betulan terjadi. Maaf untuk para tokoh-tokoh hebat pencipta teori psikologi perkembangan, terutama Piaget, Erikson, dan Sigmund Freud (soalnya yang saya ingat cuma mereka doang. Haha), sesungguhnya fase ciptaan Raditya Dika ini bisa jadi teori baru dalam dunia psikologi perkembangan.

Saya mikirnya sih fase ini unik banget. Lucu malah kalau diingat. Bahkan bisa jadi malu. Sekali lagi, saya sih nggak bermaksud menasehati merasa sok benar. Sama sekali ga. Kan saya bilang, saya sendiri "merasakannya" dan "berkelakuan" juga. Ini saya nggak pake riset apa-apa, jadi murni pemikiran saya saja.

Carilah Teman yang Baik dan Mengajarkan Kebaikan Padamu

Tentu. Ini hal mutlak kayaknya. Manusia kan makhluk sosial. Tinggal bagaimana seseorang memilih, ikutan terbawa arus, atau bisa memilih-milih, siapa yang baik dan yang benar untuk dijadikan teman. Namanya fase ke-alay-an-labil-an ini semuanya masih abu-abu. Bingung. Belum menemukan "gue harus kayak gini". Masih "ikutan-ikutan" apa yang menjadi mayoritas.

Nah kalau teman-temanmu adalah teman-teman yang lebih memilih lebih cekakak-cekikik nggak jelas, kecentilan-menel-keganjenan sama lawan jenisnya, nge-gunjingin orang lain dengan hebohnya, lebih baik berpikir, bagaimana caranya supaya jangan terbawa arus kebiasaan mereka. Bukan berarti saya menyarankan kalian untuk tidak berteman dengan mereka, tapi carilah cara supaya kalian tidak sepenuhnya berkelakuan seperti mereka.

Jati diri itu penting. Kalian nggak mau kan punya kebiasaan yang sama kayak orang lain? Apa-apa ga jelas, kalau hal ini ngikutin gaya nya si X, kalau pas lagi ini ngikutin kelakuannya si B. Semoga saja tidak. Jadilah dirimu sendiri apa adanya, jangan mau ikut-ikutan orang lain, apalagi (jangan sampai) ngikutin kelakuan yang negatifnya.

Saya beruntung masih diberi lingkungan pertemanan dengan orang-orang yang baik dan mau mengajarkan kebaikan. Yaaaa meskipun adalah kelakuan-kelakuan ngomongin orang, curhat-curhatan kalau lagi naksir sama seseorang, tapi setidaknya (alhamdulillah) tidak melakukan hal-hal negatif yang "menakutkan" semacam balas dendam, bertingkah ganjen luar biasa sama lawan jenis, dsb.

Atur Tata Bicara, Bahasa, Tulisanmu pada Orang Lain. Siapapun Itu.

Saya agak miris mendapati bahasa anak-anak zaman sekarang seperti hancur lebur. Dan lebih mirisnya lagi, saya juga pernah melakukannya. Mengubah tata ejaan bahasa Indonesia semisalnya, "kok nggak mau ikutan lagi?" diubah menjadi "kog gag mw ikuthan gy?"
Oh my god.

Atau kata "ya?" diganti "yua?"; "s" diubah jadi "z"; "huruf "t" diganti jadi "d"; "sih", "tuh" dan kata lainnya yang belakangnya "h" ditambahin "c" dulu sebelum huruf "h" nya.
Makanya kalau ingat diri saya yang dulu, saya suka jijik sendiri. Tapi nggak sampai sebegitunya juga sih yaa.

Atau ketika kalian menulis teksting via sms atau chat apalah itu, huruf yang digunakan gede-kecil, kombinasi huruf dan angka, dan kata-kata yang diubah seperti yang dicontohkan diatas. Jujur. Saya pernah memasuki keadaan dimana saya mengirim via teksting dengan tulisan gede-kecil. Dan entah mengapa sampai sekarang masih saja ada yang menggunakannya.

Saya dapat pelajaran berharga sejak melakukan hal kayak begitu, entah mengapa saya muak sendiri, capek sendiri, sebentar-sebentar ketik tombol yang Capslock terus ubah lagi jadi yang kecil. Ribet. Dan saya sadar, itu sangat mengganggu penglihatan. Apalagi kalau disertai kombinasi angka dan huruf. Layaknya "o" diganti jadi "0" atau "g" diganti jadi "9" atau "a" diganti jadi "4". Sungguh membuat mata rusak. Untuk berkelakukan seperti itu di fase ke-alay-labil-an, saya pikir itu sama sekali hal yang baik untuk dilakukan.

Selain kata-kata dan huruf, kalimat yang dibuat juga cobalah sebaik mungkin ada artinya. Sayang banget, dulu pun saya suka ngaco banget kalau buat kalimat. Bahkan ga jarang isinya keluhan, cacian, dsb. Semoga kita bisa lebih bijak dalam bermain kata-kata.

Kalau berbicara pun juga sebisa mungkin gunakanlah bahasa yang baik. Sampai sekarang pun saya masih suka dengar anak-anak berbicara, "ah t*i lo. Gini aja ga bisa" atau "Blay, kemana aja lo, kampret." Sungguh itu bukan suatu hal yang bisa dibanggakan. Nada bicara nggak perlu sengak juga ataupun biar terdengar manja. Ada baiknya berusaha senormal mungkin suara kalian apa adanya.

Ketertarikan dengan Lawan Jenis itu Fitrah, Tak Perlu Malu Mengakuinya ke Orang Lain, Bukan Sosial Media.

Sebentar. Saya bukan bermaksud mengajarkan kalian untuk pecicilan sama orang yang membuat kalian "tertarik". Seriously, itu justru membuat kalian terlihat agak "rendah".
Ya. Tuhan ciptakan manusia dengan hati, berpasang-pasangan, dan menjadi suatu sunatullah ketika kalian mengalami saat "tertarik" apalagi dengan lawan jenis.

Oke, saya punya pengalaman luar biasa nggak enak. Dulu saya susah banget punya teman. Bahkan dianggap anti sosial sama beberapa orang, padahal sepenuhnya bukan karena saya yang nggak mau berteman. Tapi justru entah mengapa, saya yang jarang bisa "diterima". Karena susahnya saya untuk mendapat "penerimaan" yang dari perempuan aja sulit apalagi laki-laki, saya terbentuk menjadi orang yang super introvert-melankolis.

Saya nggak pernah mau menyalahkan lingkungan saya yang membentuk saya (sampai saat ini masih meski dengan kadar yang mulai berkurang). Tapi saya cukup bisa merasakan, untuk mendekati seseorang (tidak terbatas pada lawan jenis) itu rasanya sulit sekali.

Dan itu berpengaruh ketika kita butuh menceritakan apa yang tidak sanggup kita terima semuanya. Saya tidak berani menceritakan semua masalah apapun, seberat apapun, ke orang lain, bahkan ke keluarga saya, terlebih lagi ke orang tua saya.
See? Berhentilah menjadi orang super introvert-melankolis. Itu sangat, sangat tidak enak. Menjadi seperti itu ada baiknya tapi semoga tidak menjadi "terlalu" seperti itu ya.

Saya pernah suka sama seseorang. Waktu SD pernah, SMP juga pernah, dan SMA pun pernah. Yaa saya rasa, selama masih hidup, berinteraksi dengan berbagai macam orang, bukan tidak mungkin "ketertarikan" itu timbul. Satu hal yang saya benci dari diri saya, saya nggak pernah mau mengakui nya.
Maksudnya, ketika saya tertarik pada seseorang, yaa saya pendam sendiri. Dampaknya? Sedih, senang, tawa, tangis dari apa yang saya rasakan, yaaa saya nikmati sendiri. Kalau lagi sedih, kadang saya sampai putus asa, nangis habis-habisan, dan itu sangat-sangat tidak baik dari segi psikologis.

Bukan tidak mungkin ketika kamu sedih, apaaaa aja pengen dishare. Tulisan-tulisan galau lah, status-status galau menjijikan lah, atau apapun itu, saking nggak ada tempat buat "cerita" yaaa media-media itu yang kalian gunakan. Dan sayangnya dulu saya juga begitu. Sangat memalukan.

Kalian butuh orang lain untuk menceritakan perasaan apapun yang kalian rasakan. Bukan memendamnya sendiri, lantas kamu pikir dengan begitu semua akan terasa bahagia?
Ketika teman-teman saya ikut meledek saya dengan si "X" misalkan, dan padahal dia memang benar orang yang saya taksir, tapi saya justru menyangkalnya. Entah karena gengsi atau justru malu, saya juga nggak ngerti. Dan saya nyesel telah bertingkah seperti itu. Saya nyesel, karena tidak mampu bercerita (tolong ditekankan juga ya) dengan orang yang saya percayai. Misal teman yang udah akrab banget atau orang tua, kakak, adik kalian lah.

Tapi bukan berarti ketika saya katakan bahwa kalian butuh orang lain untuk menceritakan perasaanmu, lantas kamu bercerita habis-habisan, berlebihan. Semuaaaanya kalian ceritakan. Saya harap tidak, sebaik apapun orang yang kau jadikan tempat bercerita, tidak selamanya punya hati yang positif, bukan?

Jadilah Perempuan yang Cerdas, dan Jadilah Laki-laki yang Bijaksana

Kenapa saya tulis begini? Di fase ini, keteguhan hati manusia sangat-sangat diuji. Kalau yang nggak bisa terus menerus melatih diri menjadi lebih baik lagi, entahlah nasibnya seperti apa.
Dimasa ini yang paling dikhawatirkan adalah "pertemanan" dan "perasaan". Dua hal yang amat sangat mempengaruhi hidup kalian di fase itu.

Saya punya pengalaman yang buat saya berpikir, betapa tidak cerdasnya saya pada saat itu. Masih berhubungan dengan dampak dari perlakuan saya ketika masih kecil, saya masih takut kenal dengan orang lain apalagi terutama dengan kaum lawan jenis. Kalaupun mungkin yang mengenal saya berpikiran, "bohong ah, kayaknya lo bisa banget langsung akrab sama kaum pria" atau pikiran lainnya, silahkan. Tapi entah mengapa saya seakan-akan pada saat itu seperti "membohongi diri sendiri".

Saya mungkin terlihat akrab, padahal dalam hati, saya punya rasa ketakutan luar biasa. Dulu waktu SD, saya nggak sengaja nyoret wajah teman saya yang laki-laki. Saya sudah minta maaf, tapi ternyata yang dia lakukan ke saya adalah, melaporkan saya ke kepala sekolah, dan saya dicari habis-habisan kayak buronan, sedangkan usia saya waktu itu masih sekitar 8 tahun-an. Apa yang saya lakukan? Saya langsung pulang ke rumah, ketakutan luar biasa pas sampai rumah, nangis luar biasa, takut kalau-kalau telepon di rumah berdering dari kepala sekolah saya. Karena di sekolah pun saya pendiam luar biasa. Berlaku jahat pun nggak kepikiran. Makanya ketika terjadi seperti itu, saya kacau luar biasa. Nggak bohong.
Beban psikologis kah?
Sangat.
Saya sampai memohon ke ibu saya untuk tidak masuk sekolah dikeesokan harinya. Dan saya betulan nggak masuk saat itu.

Tapi ketika saya masuk di hari lusa nya, saya benar-benar diperlakukan layaknya seorang penjahat, dicemooh habis-habisan sama dia dan gengnya yang para laki-laki lainnya. Dampaknya? Sumpah saya takut sangat dengan yang namanya laki-laki.

Jadi kalaupun saya terlihat akrab dengan laki-laki, sesungguhnya (tidak sepenuhnya juga sih) ada rasa dimana saya khawatir yang amat sangat untuk diperlakukan dengan beban psikologis yang mungkin jauh lebih dalam lagi.

Berhubung saya susah untuk diterima orang lain, bagi saya, ada yang mau berteman dengan saya itu rasanya luar biasa bahagia. Saya berpikir, siapapun itu, saya bersyukur bisa diterima dengan mereka. Mungkin bisa jadi hal ini yang membuat orang berpikiran "saya bisa akrab dengan kaum pria dan wanita".
Tapi, karena rasa bersyukur saya, menjadikan saya orang yang "nrimo" saja. Kalau ada yang salah, saya siap disalahkan. Kalau orang butuh bantuan, sekalipun saya tahu saya nggak bisa, saya bantu mereka. Makanya teman saya ada yang pernah bilang, "Lo jangan jadi orang yang terlalu baik."
Tapi saya nggak bisa. Saat itu.

Saya kenal sama laki-laki yang padahal saya nggak sama sekali punya "harapan" apapun sama orang tersebut. Saya cuma ingin bersikap baik pada siapapun, tapi mungkin dianggapnya berbeda. Dan bodohnya saya, saya mau aja kalau disalahkan, dikasih beban psikologis, yang bahkan ayah saya pun sama sekali belum pernah memperlakukan saya seperti itu.
Kebodohan yang kedua adalah, saya penakut. Dan saya tidak berani menceritakan apapun kepada siapapun juga pada saat itu.
Menyesalkah? Ya. Sangat.

Dampaknya? Saya jadi kayak orang gila sendiri. Maksudnya, saya suka nulis-nulis status nggak jelas di media sosial, norak, dan sebagainya. Saya suka bengong kayak orang beneran bego nggak ketulungan. Dan saya malu pernah melakukannya.
Bahkan, saya pernah diteror sama seorang perempuan pada saat yang nggak jauh berbeda. Dan teman saya pernah memberi saran, "coba lo pura-pura aja nulis status atau apapun itu yang nunjukkin kalau lo lagi punya cowok."
Sesungguhnya hal kayak gitu nggak penting. Nulis status macam begitu, saya kasih tahu ya, itu nggak penting.
Ya tapi itulah masa-masa manusia saat sedang labil. Apapun dijadiin saran.

Pada saat itu saya mulai latihan untuk mau "bercerita" sama orang lain. Sekalipun kadarnya sedikit. Dan saya mau-mau-an ngelakuinnya. Kalau ada "dia" yang membebani psikologis saya waktu itu, saya coba nulis status via media sosial, berpura-pura kalau saya punya cowok. Padahal? Nggak sama sekali.

Semenjak beberapa tahun yang lalu, saya taubat. Betul-betul taubat. Seriusan. Saya ngerasa jadi kayak berkepribadian ganda, nggak jelas, dan memalukan saja buat diri saya sendiri. Dan saya berpikir, betapa nggak cerdasnya saya saat itu. Kalau memang saya nggak suka, mengapa tidak belajar untuk berkata "tidak"?
Kalau saya tidak mampu, mengapa saya tidak belajar berkata "tidak mau"? Tapi justru bertingkah aneh, memalukan dan nggak penting kayak begitu. Hal ini saya rasa juga berlaku untuk kaum pria.

Kalian, yang perempuan. Menyukai seseorang itu fitrah, dan tidak menyukai orang pun juga hak seseorang. Jadilah wanita yang cerdas di kedua kondisi itu. Cerdas ketika kalian menyukai orang lain dan cerdas ketika kalian tidak menyukai orang lain. Dan untuk kaum pria, tolong berlakulah bijaksana di kedua kondisi itu. Bijaksana ketika ada seseorang yang menyukai kalian, dan bijaksana ketika kalian tidak menyukai orang lain. Tidak ada manusia yang sempurna, termasuk kalian. Terima dengan bijak apapun yang kalian temui dan rasakan.

***

Saya tahu saya jauuuuh dari kata sempurna. Jauh banget. Apalagi ketika saya merasakan fase "itu" di kehidupan saya. Karena saya sendiri rasanya malu sama diri saya sendiri. Saya berharap, ketika kalian, siapapun itu, yang akan merasakan, latihlah terus diri kalian supaya bisa melewati fase itu dengan baik. Dan bagi yang sudah merasakan, tetap banggalah pada dirimu sendiri. Karena kalau bukan kalian yang bangga terlebih dahulu sama diri kalian sendiri, siapa lagi?
Karena kata Rasullullah saw pun, Siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya. Jadi teruslah "kenal" sama diri kalian, kalau salah latih untuk menjadi benar, supaya kalian juga bisa lebih mnegenal Dia.

Saya juga masih belajar. Dan saya juga belajar untuk mau menerima orang lain tanpa mempedulikan "masa lalu" nya seperti apa. Karena saya tahu, semua pasti melewatinya :)

Kalian. Selamat berlatih menjadi wanita yang cerdas dan pria yang bijaksana!

Tidak ada komentar: