Rabu, 30 Mei 2012

Nyanyian Rindu Hujan di Sore Hari

Jakarta, 3 November 2011 Pukul 16.40

Hari ini, hujan turun lagi. Entah mengapa aku sangat menyukai waktu-waktu dimana memandangi jendela dengan butir-butir air hujan turun membahasi kacanya. Menikmati suara gemericik menjatuhi tanah dan sekitarnya. Menghirup dalam-dalam bau khasnya dan mencoba merasakan kembali kenangan tentang hujan.

Aku memainkan jari-jari tanganku di kaca jendela yang penuh uap hujan. Mencoba menggambarkan apapun yang ada di pikiranku. Kamu pasti tahu, ini kebiasaan ku. Kebiasaan yang paling kusukai menikmati segala macam bentuk ketenangan jiwa lewat irama hujan. Setidaknya itu yang kurasakan. Bagiku, suara hujan sudah seperti nyanyian ketenangan hidupku. Tapi, ah! Mengapa lagi-lagi memikirkan kamu?

Harusnya aku tahu, cuma kamu yang tahu kebiasaan ku menikmati hujan seperti ini. Dan ketika hujan turun, kamu pun turut menikmatinya. Ya, aku menyadarinya bahwa kebiasaan kita sama. Aku suka memandangi senyum diwajahmu ketika hujan mulai turun, dan kau menjulurkan tanganmu, membiarkan air hujan menerpa kulit tanganmu. Aku mengikuti apa yang kamu lakukan dan turut menikmatinya. Tapi saat ini aku sedang dirumah, tidak diluar. Bagaimana dengan kamu sekarang? Apa di Yogyakarta sedang turun hujan seperti ini?

Aku ingat, kamu menarik tangan ku, mengajakku menikmati hujan dan bermain bersamanya. Aku sempat khawatir kalau-kalau nanti sakit, tapi entah mengapa dengan bersama dirimu rasa khawatir ku hilang. Rasa kebebasan menjalari tubuhku saat air hujan menerpa tubuhku. Aku bahkan tak peduli jika saat pulang nanti dimarahi ibu. Dan paling menariknya, entah mengapa aku selalu menyukai memandang saat air hujan membasahi rambutmu. Buatku, kamu terlihat lebih keren. Upss, tapi itu jujur dari hatiku.

Waktu itu juga kamu pernah melakukan hal yang sama seperti yang saat ini sedang aku lakukan. Menggambar-gambar apa saja bahkan yang tidak jelas menurutku pun kamu lakukan. Kamu pintar membuatku terhibur dengan semua tingkah lakumu. Dan kamu selalu menyempatkan menggambar bintang dan menuliskan namaku di kaca jendela berkabut itu. Ya, kamu juga tahu bahwa aku sangat menyukai bintang dan kamu pandai menggambarkannya untukku. Ah, terus saja aku mengenangmu. Apa kabarmu di sana?

Hujan sepertinya mau mereda. Atau hanya berhenti sementara? Seperti waktu itu, ketika kita berpikir bahwa hujan sudah reda dan bergegas untuk pulang ke rumah. Tetapi ternyata, dia hanya menipu kita. Ditengah jalan, dia menurunkan pasukannya lebih banyak lagi. Awalnya aku ingin mengeluh, tapi lagi-lagi kamu tersenyum, seakan-akan kamu sangat membela sesuatu yang bernama hujan. Tak pernah mau menggerutu, kesal, atau bahkan marah dengan kehadirannya yang mendadak. Lagi-lagi kamu menarik tanganku, mengajakku berlari menerobos hujan dan sekali lagi aku melihatmu menikmatinya. Ada apa gerangan kamu sangat menyukai hujan seperti itu? Apa sama seperti aku?

Aku belajar banyak darimu, kata ibu, turunnya hujan itu adalah rahmat dari Tuhan. Sudah sebaiknya kita mensyukuri setiap kali hujan turun. Lagipula bukankah salah satu waktu terbaik untuk berdoa kepada Tuhan adalah saat turunnya hujan? Sepertinya kamu selalu bersyukur dengan turunnya hujan.

“ Karena setelah hujan, pasti ada pelangi. Biarpun terlihatnya hanya tipiiiiiisss saja.” Setidaknya aku selalu mengingat kata-katamu itu. Ya, seakan-akan kamu ingin memberikan tahu kepadaku bahwa akan ada yang lebih indah lagi setelah ini. Ah, kamu memang selalu memberikan aura semangat kepadaku. Lagi-lagi rasa rindu ini muncul untukmu.

Benar. Hujan kali ini benar-benar berhenti. Aku bergegas keluar dari kamarku menuju balkon dan mencari pelangi. Sejenak aku menghirup bau hujan dalam-dalam dan menikmati kesejukan hawa nya. Aku ingin seperti kamu, menikmati apapun itu dengan bahagia. Ku pejamkan mata, menenangkan diri, tapi entah mengapa rasanya aku merindukanmu. Rasa rindu ini tak terbendung lagi. Aku menatap langit, mencoba terus mengedarkan keselilingku mencari bayangan pelangi.

“Kok ga ada?”

“ Pasti ada. Ayo naik ke lantai paling atas gedung sekolah.”

Ya, aku belum mencoba mencarinya diatas atap rumahku. Aku menaiki tangga ulir dekat balkon kamarku yang langsung menuju ke atap rumahku. Aku mengedarkan pandanganku ke segala penjuru mencoba terus mencari, walaupun tipis sekali.

Aku menemukannya. Ya, aku menemukannya. Entah mengapa, air mata ini tiba-tiba turun. Ya, tidak hanya merindukannya, aku juga bersyukur masih bisa merasakan nikmat Tuhan sama seperti yang selalu dia lakukan ketika hujan mempertemukan aku dengannya,

***

Yogyakarta, 3 November 2011 Pukul 16.40

Hujan lagi. Saya baru selesai kuliah dan bergegas pulang ke kostan tapi ditengah jalan menuju tempat parkir, hujan mulai turun. Ah, saya selalu menyukai hujan meski waktu hadirnya pun kadang tidak tepat. Orang-orang mulai berlarian mencari tempat untuk berteduh. Mengapa harus takut? Mengapa harus khawatir terkena hujan? Karena nanti pakaiannya akan basah? Atau takut sakit?

Waktu saya kecil, bunda tidak pernah memarahi saya untuk bermain hujan-hujanan. Kata bunda, biar saya bisa merasakan bagaimana hujan itu, biar ada pengalaman. Hujan itu kan tandanya tuhan menurunkan rezeki yang berlimpah ke dunia. Saya menatap langit. Ah, lagi-lagi selalu saja begitu. Kalau hujan turun, pikiran ini selalu muncul tentang dia. Langit terlihat begitu mendung, apakah hujan kali ini turun dengan derasnya?

Saya menjulurkan tangan dan membiarkan air hujan menerpa kulit tangan ini. Saya bolak-balikan telapak tangan sambil tersenyum. Ah, begitu dinginnya air hujan ini. Saya hirup bau air hujan yang membasahi tanah kuat-kuat, mencoba menikmatinya. Terlihat mulai banyak orang yang menggerutu karena hujan tak kunjung berhenti. Saya seperti ingin mengajaknya turut merasakan bahwa hujan tak perlu dipersulitkan. Rasakan dan nikmati saja.

Udara mulai terasa dingin, dan saya lebih merapatkan jaket yang sedang dikenakan. Sedang apa dia disana? Apa dia masih mengingat saya? Apa di Jakarta juga sedang hujan? Banyak kenangan saya dengannya tercipta lewat hujan. Saya suka memandang wajahnya yang berseri setiap kali melihat langit sedang menurunkan hujan. Sepertinya ada rasa kagum terpancar diwajahnya membuat saya juga ikut tersenyum mengikuti tingkahnya. Pernah suatu waktu saat hujan turun, saya tarik tangannya berlari menerobos hujan. Awalnya saya tahu, dia takut. Takut basah dan sakit sepertinya. Seperti asumsi orang-orang biasanya. Tapi akhirnya saya melihatnya. Wajahnya bahagia, saya yakin dia sedang merasakan yang namanya kebebasan.

Ah, lagi-lagi saya mengingatnya. Dia memang sulit untuk dilupakan. Saya dan dia dulu sekelas dan.. saya menyukainya. Hanya saja sampai sekarang dengan posisi yang tidak lagi dekat, saya belum sempat menyatakan perasaan saya. Saya tahu, mungkin saya bisa dibilang sebagai laki-laki pengecut. Kalah sebelum berusaha. Dulu bagi saya, dengan selalu bersamanya itu sudah cukup membahagiakan. Saling belajar dan mengajari tentang makna kehidupan lewat alam, lewat kejadian-kejadian yang muncul tanpa kita sangka-sangka, tapi saya sadar, itu salah. Saya kalah.

Tidak. Bunda mengajarkan saya untuk menjadi seorang pemenang. Selalu belajar dari kesalahan dan mencoba memperbaikinya agar kesalahan tersebut tidak akan terulang lagi. Tapi, apa masih ada waktu untuk saya? Terasa hujan mulai reda, namun saya sangsi. Jangan-jangan seperti waktu itu, ketika saya dan dia merasa hujan sudah mulai reda dan bersama-sama bergegas pulang ke rumah. Ternyata di tengah jalan hujan turun kembali dengan derasnya. Hujan memang senang memberikan waktu kami bersama-sama. Kami sepakat untuk menerjang hujan dan menikmatinya tanpa peduli dengan sakit dan apapun itu.

Saya melihat orang-orang mulai bergegas pulang. Angkutan umum mulai berseliweran dan banyak orang yang berteduh kini berperan sebagai penumpang. Saya sejenak terpaku, melihat seorang anak kecil asyik menuliskan namanya di kaca jendela angkutan umum yang berkabut karena hujan. Lagi-lagi saya ingat, saya senang melakukan hal yang sama untuk nya. Saya selalu membuatkannya gambar dan gambar favoritnya adalah bintang. Ya, dia memang penyuka bintang, dari aksesoris sampai bintang sungguhan yang ada dilangitpun dia menyukainya.

Saya sayang padanya.

Setidaknya itu yang selalu saya tekankan dalam hati saya. Dia memang masih di Jakarta, tapi toh saya di sini hanya sekedar untuk kuliah. Hanya? Mampukah saya. Jelas mampu jika saya juga bisa mengatakan yang sebenarnya, karena sampai saat ini perasaan saya belum sedikitpun pudar. Apa yang sedang dia lakukan disana? Masih penuh semangatkah dia?

Hujan sepertinya memang sudah reda, tapi saya tak mau teburu-buru untuk pulang ke kostan. Masih ada hal yang saya tunggu-tunggu untuk saya lihat. Pelangi. Saya juga sangat suka saat lengkungan pelangi mulai menampakan dirinya. Seakan-akan diibaratkan setelah air mata akan ada harapan indah sesudahnya. Saya melemparkan pandangan kesekeliling kampus, mungkin tertutup gedung yang membuat saya tak dapat menemukannya. Tapi saya yakin, pelangi itu pasti ada, sekalipun dia hadir dengan malu-malu. Seperti waktu dulu, saya mengajaknya ke gedung paling atas agar benar-benar dapat menemukan pelangi bersamanya.

Saya coba menuju gedung paling atas. Berlebihankah saya? Mungkin menurut orang lain begitu. Tapi entah mengapa rasa rindu ini mengalahkan semuanya. Tuhan, mengapa ini baru benar-benar saya rasakan saat ini? Saya mengedarkan pandangan ke segala pejuru, dan saya menemukannya. Saya menemukannya tepat disebelah kiri saya. Jelas, pelangi itu terlihat jelas tidak malu-malu menunjukkan dirinya pada saya. Saya ingin sekali lagi melihat pelangi bersamanya, kalau memang saya bukan yang terbaik untuknya menurut Tuhan.

Saya pejamkan mata, merasakan ketenangan jiwa dan melafadzhkan harapan tadi dalam hati. Berharap saya masih punya harapan, tapi…

Saya menitikkan air mata. Ah, betapa lemahnya laki-laki seperti saya. Betapa lemahnya menahan rindu yang amat kuat saat ini sekaligus mesnyukuri bahwa saya masih diberikan kesempatan melihat mahakarya Tuhan yang luar biasa ini. Saya masih punya kesempatankah? Ada dua orang yang tidak akan pernah berhasil dalam hidupnya, yaitu orang-orang yang berpikir tapi tidak bertindak dan orang-orang yang bertindak tetapi tidak berpikir. Dan saya tidak mau menjadi salah satunya.

Saya keluarkan handphone dan mencari kontak namanya disana. Saya yakin, nomor ini masih dapat saya hubungi, dan..

“Andra?”

“Rena..” ada jeda sejenak dan saya kumpulkan kekuatan sebanyak mungkin dengan waktu yang sesingkat itu.

“ Apa kabar? Saya sedang melihat pelangi di Yogyakarta. Mungkin lebih baik….”

“Aku juga. Indah sekali..”

Ya, saya harus mencobanya, semampu saya. Seperti hujan, setelahnya pasti ada pelangi. Semoga begitu.

Senin, 14 Mei 2012

Satu, Dua, Tiga. Aku Rindu Padamu - 2

Hari ini hujan lagi.
Kalau kamu disini, kamu pasti sangat menyukainya. Saat ini, aku sedang tidak ada kerjaan, bingung, lantas mengikuti saja kemana kaki ini melangkah, ketika hujan bersiap turun. Dan tibalah aku disalah satu tempat kumpul favorit mahasiswa-mahasiswa di daerah ini, tempat dimana mereka bebas menggunakan fasilitas wi-fi, dan meminjam buku yang mereka mau. Lumayan. Aku juga jadi bisa memanfaatkan fasilitas-fasilitas ini semauku, sambil menunggu hujan reda. Aku juga memesan minuman kesukaanku. Cappucino hangat. Kamu juga suka, kan? Kamu ingat, kan?

Tempat ini asyik, banyak mahasiswa-mahasiswa ataupun orang-orang sekitar sini. Tidak hanya untuk meminjam buku, bahkan sekedar memesan segelas minuman sambil berbincang-bincang dengan topik ngalor-ngidul pun ada. Pengunjung juga disuguhkan dengan lagu-lagu easy listening, nyaman, dan manis. Tak memunafikkan pula kalau aku mempredikatkan tempat ini sebagai tempat terfavoritku disini.

Hujan disini cukup deras. Aku hanya tersenyum melihat orang-orang sibuk menggerutu ketika pakaian mereka basah terkena air hujan, melihat wipper mobil-mobil bergerak ke kanan-ke kiri, bocah-bocah dalam angkutan umum usil menggambar kaca jendela mobil yang berembun.

Aku jadi ingin mengikutinya. Sambil menunggu pesanan capuccino hangat ku tiba.

Kamu suka menggambar bintang. Tapi aku selalu gagal menggambarnya sebaik kamu. Jadi, aku menggambar versi anak TK saja, ya? Oh ya, kamu juga suka menggambar spiral-spiral yang terbentuk menjadi lingkaran. Ah, ini juga sulit. Kurasa IQ mu memang tinggi sekali melampaui aku.

Apa kabarmu?

Pesananku akhirnya datang. Hangat. Cappucino disini juga enak. Kamu juga pasti suka kalau merasakannya. Bertepatan dengan aku menikmati minuman ini, temanku mengirimkan pesan lewat aplikasi messager yang ku punya. Tumben sekali serasa ada info yang penting.
Mungkin tentang bola.
Atau tentang F1 dan olahraga-olahraga lainnya.
Atau mungkin tentang cerita-cerita kuliahnya.

"cek link ini.. http://aisnjxxxxx.xxx/rthangsxxx15vag. Keren. Suaranya makin keren aja dia."

Dia siapa?
Lantas kubalas, "dia siapa"

Pesan balasan segera tiba. "Pokoknya cek aja".

Baiklah. Berhubung aku sedang tidak ada kerjaan pula, kubuka laptopku dan segera memanfaatkan fasilitas wi-fi yang oke punyadi tempat ini. Kubuka link yang diberikan temanku.

Video.
Semoga bukan yang aneh-aneh. Tapi temanku juga orang baik-baik kok.

Hatiku sekian detik tersentak.
Kamu. Dan beberapa teman-temanmu.
Dengan gitar. Menyanyi.
Hanya kamu yang menyanyi dan mereka yang mengiringi.
Aku mendengarnya. Sempurna. Lagu yang indah. Benar kata temanku, suaramu memang tetap indah kalau menyanyi.

"gin haruui kkeuteseo kkeonaeboneun
nae maeumsoge kkok sumgyeodun iyagi

meon hutnal eonjenganeun dorabomyeo
eoryeomputan gieoge nan useumjitgetji

bomnare hyanggiga ttatteutan barami
geudae derigo wa nae yeopeuro antne

saranghaneun sarama nareul gieok motaedo
na honjaman baraeon motnan sarangiraedo

ijeya honjatmal manhi johahaetdago
babo gateun najiman cham saranghaetdago


geunare geudaereul baraeon naldeureun
yeogi nae maeumsoge noraega doeeo

saranghaneun sarama nareul gieok
motaedo na honjaman baraeon motnan sarangiraedo

ijeya honjatmal manhi johahaetdago
babo gateun najiman cham saranghaetdago

nae kkumgateun sarama gieokhaji
anhado barami i bomnari neol jakku deryeowa

hana dulssik kyeojineun uri chueogeul ije
eoneudeot nae soneuro kkeoyaman hajiman

hanassik tto hanassik ijeogagireur"
Ku replay sekali lagi, dua kali, tiga kali.

Aku langsung tertarik dengan lagu yang kamu nyanyikan. Aku cek judul lagunya. Lagunya dengan bahasa korea. Ah, menjamur sekali lagu-lagu negara itu. Tapi penasaranku membuatku ingin tahu apa lirik dan beserta artinya. Boleh sekalian ku download lagunya dan sambil menunggu, tak bosan-bosannya aku mengulang lagunya.
Unik. Manis. Sederhana.
Lagu pilihanmu memang selalu begitu.

Ku lihat lirik dan terjemahannya. Sambil mengulang lagu itu lagi dari awal.

"Setelah penantian yang panjang
Akhirnya ku ungkapkan sebuah cerita yang selama ini selalu tersimpan dalam hati

Suatu saat nanti
Dengan kenangan yang mulai menghilang, aku akan tersenyum mengingat masa lalu

Dalam aroma musim semi
Angin yang hangat akan membawamu duduk bersamaku

Wahai orang yang ku cinta
Walaupun kau tidak bisa untuk selalu mengingatnya, aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri karena terus mencintaimu

Saat ini aku kesal karena aku sangat menyukaimu
Walaupun cinta ini tampak begitu bodoh. Aku sangat mencintaimu

Hari itu, hari-hari yang aku lalui bersamamu
Berubah menjadi alunan melodi dalam hatiku

Wahai orang yang ku cinta
Walaupun kau tidak bisa untuk selalu mengingatnya, aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri karena terus mencintaimu

Saat ini aku kesal karena aku sangat menyukaimu
Walaupun cinta ini tampak begitu bodoh. Aku sangat mencintaimu

Untuk seseorang yang selalu ku impikan
Walaupun kau tidak bisa mengingatnya, angin di musim semi akan membawamu kembali

Kenangan kita begitu indah saat itu
Sekarang aku sendiri yang harus menghapusnya

Aku berharap perlahan-lahan bisa melupakan semua itu"

Tidak.
Kamu tidak seperti itu, kan?
Kamu tidak akan menyerah, kan?
Tolong tunggu aku, sampai batas waktu yang ditetapkan olehNya tiba. Sampai aku siap mempertanggungjawabkan perasaan ini, bukan sekedar menjadikannya suatu permainan untukmu.
Kamu masih berusaha dengan cara yang terbaik, kan? Aku juga. Percayalah.
Maafkan aku.
Aku rindu padamu.
Sungguh.

Aku ingin menyampaikannya kali ini. Ku pejamkan mata, mencoba rilekskan hati.
Hitung sampai tiga.
Satu.
Dua.
Tiga.
Aku rindu padamu.
Semoga hujan ini mengantarkan pesanku padamu.

***

"Mbak, boleh minta tolong?" Aku memanggil salah satu pelayan tempat ini.
"Bisa request lagu? Saya punya lagu di Flash Disk saya, tolong puterin ya."
Mbak-mbak pelayan itu menerima Flash Disk punyaku, dan tak sampai lima menit kemudia datang mengembalikannya padaku.
Aku mengucapkan terima kasih padanya. Dan lagu versi asli dari cover song yang kamu nyanyikan mulai terdengar di tempat ini.

***

Hujan sudah reda. Bergegas aku membayar minumanku dan hendak pulang. Saat berjalan keluar tempat ini, tak sengaja aku mendengar orang yang sedang membayar di kasir setelahku bertanya, "Mbak. Lagu korea yang tadi diputar itu lagunya siapa ya?". "Iya mbak. Siapa yang nyanyi? Judulnya apa?"
Berebut saling bertanya.

Aku tersenyum.
Ah. Sihirmu memang ampuh. Orang-orang banyak menyukai lagu pilihanmu. Termasuk aku.

Aku ingin menyampaikannya kali ini. Ku pejamkan mata, mencoba rilekskan hati.
Hitung sampai tiga.
Satu.
Dua.
Tiga.
Aku rindu padamu.

***

[Thank you. This song is sung by Lee Hae Ri from Davichi, Original Soundtrack of K-Drama Posseidon. Enjoy it. Happy Downloading]

Senin, 07 Mei 2012

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 2

Hari ini, aku menjenguk temanku yang dirawat dirumah sakit. Tidak begitu parah yang dideritanya, hanya salah makan dan mungkin memang kondisi badannya yang kurang fit, menyebabkan dia kekurangan cairan dan dirawat selama 3 hari.

Aku iri.
Dia dijaga pacarnya.

Bukan, bukan iri dia punya pacar dan ada yang memperhatikan dia ketika dia sakit. Lebih-lebih ketika banyak yang mengunjunginya. Hanya sekedar mengetahui kabarnya.

Mungkin beda kalau aku yang ada disana. Belum tentu ada yang menjenguk aku, belum tentu ada yang setia disamping aku, menemani aku.

Karena aku bukan siapa-siapa, bukan seseorang yang punya sahabat. Seperti dia.
Dan seperti teman-temanku yang lainnya.
Aku iri, ketika dia bercerita saat pacarnya segera mengantarnya ke rumah sakit, menungguinya disana, membantu keperluan dia, bahkan membasuh tangan dan kakinya..

Sekali lagi, bukan iri seperti yang itu, tapi iri apakah suatu saat nanti aku juga memiliki sosok yang seperti itu namun untuk posisi yang halal. Rasanya aku ikut tersenyum karena temanku sudah bisa bahagia tanpa merasakan lemah dan sakit lagi, tapi disisi lain aku ingin menangis.
Aku bukan orang dengan kepercayaan banyak orang seperti itu. Kalau terjadi dengan aku, orang-orang pun hanya menganggap angin lalu kondisiku.

Hei, sudah lama aku tidak berjumpa denganmu. Bagaimana kalau disana? Apa kau ikut iri ketika temanmu menghadapi kondisi yang sama?
Aku rasa tidak, bisa ada 2 kemungkinan. Temanmu memang tipe orang-orang yang baik tanpa menginginkan ikatan pacaran sehingga memang hanya teman-temannya, termasuk kamu, saja yan menjenguknya. Atau kemungkinan lain, kamu tidak merasakan hal yang sama seperti aku.

Mengapa?

Karena kamu orang baik, hati kamu baik, dan pastinya kamu tidak akan pernah berpikiran seperti itu karena orang-orang pasti akan mendatangimu, kapan pun, dimana pun, dan bagaimana pun kondisi mu.
Tidak seperti aku.

Aku pusing, aku tidak suka bau rumah sakit. Rasanya melihat semuanya putih, pandangan ku pun turut menjadi putih. Kepalaku berat, mual.
Aku memang lemah, beda dengan kamu yang kuat.
Aku memilih duduk di depan ruangan, menenangkan diriku, menghirup napas dalam-dalam.

Lagi-lagi aku mengingatmu. Aku payah, sangat payah.
Mengingatmu sudah berkali-kali diteriakkan hatiku kalau itu merupakan hal yang sia-sia.
Tapi, tetap tidak bisa.
Apa kabar dirimu hari ini? Tidak sakit seperti temanku, bukan?
Atau tidak sakit kepala seperti ku juga?

Sekarang muncul ibu-ibu yang mengomel-omel karena tidak menemukan pasien yang ditujunya, dan berniat untuk memarahi suster yang sedang berjaga.
Hei, suasana semakin rumit, ternyata pasien yang dituju ibu-ibu itu memiliki nama yang sama dengan temanku.
Dan suster itu memang tidak salah, karena ibu itu tidak memberikan keterangan lebih mengenai pasiennya. Lantas, wajar saja bukan kalau suster itu memberitahu letak kamar temanku?

Hei, sempat aku berandai-andai seandainya aku yang sakit dan kamu yang menjagaku, apa yang kamu lakukan?
Tidak mungkin, jangan berharap suatu yang tak pasti.
Kamu baik, pasti untuk orang yang juga baik. Seberapapun lamanya aku menunggu, tetap saja itu tidak berlaku dimana aku harus berakhir padamu.

Dan,,
Sekarang, salah satu temanku duduk disampingku dan sayup-sayup bernyanyi..

"Bagaimana cara membuatmu bahagia
Nyaris ku menyerah jalani semua
Tak berbagai kata ku ungkap percuma
Agar kau percaya cintaku berharga

tak kuat ku menahanmu
mempertahankan cintaku
namun kau begitu saja, tak pernah merindu

Sungguh aku tak bisa, sampai kapanpun tak bisa..
Membenci dirimu, sesungguhnya aku tak mampu..
Sulit untuk ku bisa, sangat sulit ku tak bisa..
Memisahkan segala, cinta dan benci yang kurasa..

Apa kau mengerti ku sedih sendiri
tanpa ada kamu ku merasa sepi
Tlah lama ku menantimu
diam sendiri menunggu
setengah hati mencinta, kusakit karena mu..

Sungguh aku tak bisa, sampai kapanpun tak bisa..
Membenci dirimu, sesungguhnya aku tak mampu..
Sulit untuk ku bisa, sangat sulit ku tak bisa..
Memisahkan segala, cinta dan benci yang kurasa.. "
(Cinta dan Benci - Geisha)

"Tumben galau.."
Dia melirikku, "Siapa yang galau? Lo kali kalo nyanyi yang galau-galau mulu."
Aku cuma bisa tersenyum kecil, kepalaku masih berat, sakit.

"Beli buka puasa nggak? Sebentar lagi maghrib lho. Kalau sekalian pulang aja, gimana?"

Oke, aku setuju. Tapi suasana masih kurang bersahabat, ibu-ibu itu muncul lagi dengan tetap masih mengomel-omel ria. Aku menyuruh temanku terlebih dahulu untuk berpamitan, biar aku menyusul belakangan. Rasanya aku masih ingin menyendiri, menikmati suasana sore menjelang adzan maghrib, tenang, sejuk, matahari mulai meninggalkan posisiku saat ini.

Matahari yang selalu ikhlas menerangi dan tak pernah egois menyinari bumi. Dan kini mulai menghilang terganti langit yang mulai redup.
Sontak aku tersenyum menatap langit, menghela napas dalam-dalam sekali lagi.
Tolong ajari aku bagaimana pengorbanan yang tulus itu, agar aku ikhlas ketika ia tak lagi atau bahkan tidak mungkin bisa bersamaku..

****

" Telah lama aku bertahan,. demi cinta wujudkan sebuah harapan..
Namun ku rasa cukup ku menunggu.. semua rasa tlah hilang..

Sekarang aku tersadar, cinta yang kutunggu tak kunjung datang.
Apalah arti aku menunggu bila kamu tak cinta lagi..

Namun ku rasa cukup ku menunggu.. semua rasa tlah hilang..

Sekarang aku tersadar, cinta yang kutunggu tak kunjung datang.
Apalah arti aku menunggu bila kamu tak cinta lagi..

Dahulu kau lah segalanya,, dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku,,
namun ekarang aku mengerti,, tak perlu ku menunggu sebuah cinta yang semu...

Sekarang aku tersadar, cinta yang kutunggu tak kunjung datang.
Apalah arti aku menunggu bila kamu tak cinta lagi.."
(Apalah (Arti Menunggu) - Raisa)


"Tuh kan, nyanyinya galau"
Aku tertawa. Lirih. Bukan, aku nggak berharap seperti yang di lagu itu kok.
"Ayo nyanyi lagu galau lagi..gue suka lagu galau.."

Aku memijat-mijat keningku, makin pusing, tapi biarlah, pasti hilang seiring berjalannya waktu. Sama seperti mengingatmu, terkadang muncul mendadak membuat rasanya sakit bukan kepalang karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi terkadang dia hilang begitu saja tanpa diminta dan apabila ada penawarnya...