Jakarta, 3 November 2011 Pukul 16.40
Hari ini, hujan turun lagi. Entah mengapa aku sangat menyukai waktu-waktu dimana memandangi jendela dengan butir-butir air hujan turun membahasi kacanya. Menikmati suara gemericik menjatuhi tanah dan sekitarnya. Menghirup dalam-dalam bau khasnya dan mencoba merasakan kembali kenangan tentang hujan.
Aku memainkan jari-jari tanganku di kaca jendela yang penuh uap hujan. Mencoba menggambarkan apapun yang ada di pikiranku. Kamu pasti tahu, ini kebiasaan ku. Kebiasaan yang paling kusukai menikmati segala macam bentuk ketenangan jiwa lewat irama hujan. Setidaknya itu yang kurasakan. Bagiku, suara hujan sudah seperti nyanyian ketenangan hidupku. Tapi, ah! Mengapa lagi-lagi memikirkan kamu?
Harusnya aku tahu, cuma kamu yang tahu kebiasaan ku menikmati hujan seperti ini. Dan ketika hujan turun, kamu pun turut menikmatinya. Ya, aku menyadarinya bahwa kebiasaan kita sama. Aku suka memandangi senyum diwajahmu ketika hujan mulai turun, dan kau menjulurkan tanganmu, membiarkan air hujan menerpa kulit tanganmu. Aku mengikuti apa yang kamu lakukan dan turut menikmatinya. Tapi saat ini aku sedang dirumah, tidak diluar. Bagaimana dengan kamu sekarang? Apa di Yogyakarta sedang turun hujan seperti ini?
Aku ingat, kamu menarik tangan ku, mengajakku menikmati hujan dan bermain bersamanya. Aku sempat khawatir kalau-kalau nanti sakit, tapi entah mengapa dengan bersama dirimu rasa khawatir ku hilang. Rasa kebebasan menjalari tubuhku saat air hujan menerpa tubuhku. Aku bahkan tak peduli jika saat pulang nanti dimarahi ibu. Dan paling menariknya, entah mengapa aku selalu menyukai memandang saat air hujan membasahi rambutmu. Buatku, kamu terlihat lebih keren. Upss, tapi itu jujur dari hatiku.
Waktu itu juga kamu pernah melakukan hal yang sama seperti yang saat ini sedang aku lakukan. Menggambar-gambar apa saja bahkan yang tidak jelas menurutku pun kamu lakukan. Kamu pintar membuatku terhibur dengan semua tingkah lakumu. Dan kamu selalu menyempatkan menggambar bintang dan menuliskan namaku di kaca jendela berkabut itu. Ya, kamu juga tahu bahwa aku sangat menyukai bintang dan kamu pandai menggambarkannya untukku. Ah, terus saja aku mengenangmu. Apa kabarmu di sana?
Hujan sepertinya mau mereda. Atau hanya berhenti sementara? Seperti waktu itu, ketika kita berpikir bahwa hujan sudah reda dan bergegas untuk pulang ke rumah. Tetapi ternyata, dia hanya menipu kita. Ditengah jalan, dia menurunkan pasukannya lebih banyak lagi. Awalnya aku ingin mengeluh, tapi lagi-lagi kamu tersenyum, seakan-akan kamu sangat membela sesuatu yang bernama hujan. Tak pernah mau menggerutu, kesal, atau bahkan marah dengan kehadirannya yang mendadak. Lagi-lagi kamu menarik tanganku, mengajakku berlari menerobos hujan dan sekali lagi aku melihatmu menikmatinya. Ada apa gerangan kamu sangat menyukai hujan seperti itu? Apa sama seperti aku?
Aku belajar banyak darimu, kata ibu, turunnya hujan itu adalah rahmat dari Tuhan. Sudah sebaiknya kita mensyukuri setiap kali hujan turun. Lagipula bukankah salah satu waktu terbaik untuk berdoa kepada Tuhan adalah saat turunnya hujan? Sepertinya kamu selalu bersyukur dengan turunnya hujan.
“ Karena setelah hujan, pasti ada pelangi. Biarpun terlihatnya hanya tipiiiiiisss saja.” Setidaknya aku selalu mengingat kata-katamu itu. Ya, seakan-akan kamu ingin memberikan tahu kepadaku bahwa akan ada yang lebih indah lagi setelah ini. Ah, kamu memang selalu memberikan aura semangat kepadaku. Lagi-lagi rasa rindu ini muncul untukmu.
Benar. Hujan kali ini benar-benar berhenti. Aku bergegas keluar dari kamarku menuju balkon dan mencari pelangi. Sejenak aku menghirup bau hujan dalam-dalam dan menikmati kesejukan hawa nya. Aku ingin seperti kamu, menikmati apapun itu dengan bahagia. Ku pejamkan mata, menenangkan diri, tapi entah mengapa rasanya aku merindukanmu. Rasa rindu ini tak terbendung lagi. Aku menatap langit, mencoba terus mengedarkan keselilingku mencari bayangan pelangi.
“Kok ga ada?”
“ Pasti ada. Ayo naik ke lantai paling atas gedung sekolah.”
Ya, aku belum mencoba mencarinya diatas atap rumahku. Aku menaiki tangga ulir dekat balkon kamarku yang langsung menuju ke atap rumahku. Aku mengedarkan pandanganku ke segala penjuru mencoba terus mencari, walaupun tipis sekali.
Aku menemukannya. Ya, aku menemukannya. Entah mengapa, air mata ini tiba-tiba turun. Ya, tidak hanya merindukannya, aku juga bersyukur masih bisa merasakan nikmat Tuhan sama seperti yang selalu dia lakukan ketika hujan mempertemukan aku dengannya,
***
Yogyakarta, 3 November 2011 Pukul 16.40
Hujan lagi. Saya baru selesai kuliah dan bergegas pulang ke kostan tapi ditengah jalan menuju tempat parkir, hujan mulai turun. Ah, saya selalu menyukai hujan meski waktu hadirnya pun kadang tidak tepat. Orang-orang mulai berlarian mencari tempat untuk berteduh. Mengapa harus takut? Mengapa harus khawatir terkena hujan? Karena nanti pakaiannya akan basah? Atau takut sakit?
Waktu saya kecil, bunda tidak pernah memarahi saya untuk bermain hujan-hujanan. Kata bunda, biar saya bisa merasakan bagaimana hujan itu, biar ada pengalaman. Hujan itu kan tandanya tuhan menurunkan rezeki yang berlimpah ke dunia. Saya menatap langit. Ah, lagi-lagi selalu saja begitu. Kalau hujan turun, pikiran ini selalu muncul tentang dia. Langit terlihat begitu mendung, apakah hujan kali ini turun dengan derasnya?
Saya menjulurkan tangan dan membiarkan air hujan menerpa kulit tangan ini. Saya bolak-balikan telapak tangan sambil tersenyum. Ah, begitu dinginnya air hujan ini. Saya hirup bau air hujan yang membasahi tanah kuat-kuat, mencoba menikmatinya. Terlihat mulai banyak orang yang menggerutu karena hujan tak kunjung berhenti. Saya seperti ingin mengajaknya turut merasakan bahwa hujan tak perlu dipersulitkan. Rasakan dan nikmati saja.
Udara mulai terasa dingin, dan saya lebih merapatkan jaket yang sedang dikenakan. Sedang apa dia disana? Apa dia masih mengingat saya? Apa di Jakarta juga sedang hujan? Banyak kenangan saya dengannya tercipta lewat hujan. Saya suka memandang wajahnya yang berseri setiap kali melihat langit sedang menurunkan hujan. Sepertinya ada rasa kagum terpancar diwajahnya membuat saya juga ikut tersenyum mengikuti tingkahnya. Pernah suatu waktu saat hujan turun, saya tarik tangannya berlari menerobos hujan. Awalnya saya tahu, dia takut. Takut basah dan sakit sepertinya. Seperti asumsi orang-orang biasanya. Tapi akhirnya saya melihatnya. Wajahnya bahagia, saya yakin dia sedang merasakan yang namanya kebebasan.
Ah, lagi-lagi saya mengingatnya. Dia memang sulit untuk dilupakan. Saya dan dia dulu sekelas dan.. saya menyukainya. Hanya saja sampai sekarang dengan posisi yang tidak lagi dekat, saya belum sempat menyatakan perasaan saya. Saya tahu, mungkin saya bisa dibilang sebagai laki-laki pengecut. Kalah sebelum berusaha. Dulu bagi saya, dengan selalu bersamanya itu sudah cukup membahagiakan. Saling belajar dan mengajari tentang makna kehidupan lewat alam, lewat kejadian-kejadian yang muncul tanpa kita sangka-sangka, tapi saya sadar, itu salah. Saya kalah.
Tidak. Bunda mengajarkan saya untuk menjadi seorang pemenang. Selalu belajar dari kesalahan dan mencoba memperbaikinya agar kesalahan tersebut tidak akan terulang lagi. Tapi, apa masih ada waktu untuk saya? Terasa hujan mulai reda, namun saya sangsi. Jangan-jangan seperti waktu itu, ketika saya dan dia merasa hujan sudah mulai reda dan bersama-sama bergegas pulang ke rumah. Ternyata di tengah jalan hujan turun kembali dengan derasnya. Hujan memang senang memberikan waktu kami bersama-sama. Kami sepakat untuk menerjang hujan dan menikmatinya tanpa peduli dengan sakit dan apapun itu.
Saya melihat orang-orang mulai bergegas pulang. Angkutan umum mulai berseliweran dan banyak orang yang berteduh kini berperan sebagai penumpang. Saya sejenak terpaku, melihat seorang anak kecil asyik menuliskan namanya di kaca jendela angkutan umum yang berkabut karena hujan. Lagi-lagi saya ingat, saya senang melakukan hal yang sama untuk nya. Saya selalu membuatkannya gambar dan gambar favoritnya adalah bintang. Ya, dia memang penyuka bintang, dari aksesoris sampai bintang sungguhan yang ada dilangitpun dia menyukainya.
Saya sayang padanya.
Setidaknya itu yang selalu saya tekankan dalam hati saya. Dia memang masih di Jakarta, tapi toh saya di sini hanya sekedar untuk kuliah. Hanya? Mampukah saya. Jelas mampu jika saya juga bisa mengatakan yang sebenarnya, karena sampai saat ini perasaan saya belum sedikitpun pudar. Apa yang sedang dia lakukan disana? Masih penuh semangatkah dia?
Hujan sepertinya memang sudah reda, tapi saya tak mau teburu-buru untuk pulang ke kostan. Masih ada hal yang saya tunggu-tunggu untuk saya lihat. Pelangi. Saya juga sangat suka saat lengkungan pelangi mulai menampakan dirinya. Seakan-akan diibaratkan setelah air mata akan ada harapan indah sesudahnya. Saya melemparkan pandangan kesekeliling kampus, mungkin tertutup gedung yang membuat saya tak dapat menemukannya. Tapi saya yakin, pelangi itu pasti ada, sekalipun dia hadir dengan malu-malu. Seperti waktu dulu, saya mengajaknya ke gedung paling atas agar benar-benar dapat menemukan pelangi bersamanya.
Saya coba menuju gedung paling atas. Berlebihankah saya? Mungkin menurut orang lain begitu. Tapi entah mengapa rasa rindu ini mengalahkan semuanya. Tuhan, mengapa ini baru benar-benar saya rasakan saat ini? Saya mengedarkan pandangan ke segala pejuru, dan saya menemukannya. Saya menemukannya tepat disebelah kiri saya. Jelas, pelangi itu terlihat jelas tidak malu-malu menunjukkan dirinya pada saya. Saya ingin sekali lagi melihat pelangi bersamanya, kalau memang saya bukan yang terbaik untuknya menurut Tuhan.
Saya pejamkan mata, merasakan ketenangan jiwa dan melafadzhkan harapan tadi dalam hati. Berharap saya masih punya harapan, tapi…
Saya menitikkan air mata. Ah, betapa lemahnya laki-laki seperti saya. Betapa lemahnya menahan rindu yang amat kuat saat ini sekaligus mesnyukuri bahwa saya masih diberikan kesempatan melihat mahakarya Tuhan yang luar biasa ini. Saya masih punya kesempatankah? Ada dua orang yang tidak akan pernah berhasil dalam hidupnya, yaitu orang-orang yang berpikir tapi tidak bertindak dan orang-orang yang bertindak tetapi tidak berpikir. Dan saya tidak mau menjadi salah satunya.
Saya keluarkan handphone dan mencari kontak namanya disana. Saya yakin, nomor ini masih dapat saya hubungi, dan..
“Andra?”
“Rena..” ada jeda sejenak dan saya kumpulkan kekuatan sebanyak mungkin dengan waktu yang sesingkat itu.
“ Apa kabar? Saya sedang melihat pelangi di Yogyakarta. Mungkin lebih baik….”
“Aku juga. Indah sekali..”
Ya, saya harus mencobanya, semampu saya. Seperti hujan, setelahnya pasti ada pelangi. Semoga begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar