Rabu, 19 Maret 2014

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 15

"Eh, ini kenalin. Ada yang baru masuk kerja lagi disini. Ayooo pada kenalan yaaa."
Aku melirik sekilas. Anak baru. Aku tersenyum padanya, berkenalan. Dia perkenalkan namanya, aku balas dengan menyebutkan namaku. Sedikit berbasa-basi, tanya asal, umur dan tinggak dimana.

Aku sesungguhnya tidak terlalu menyukai perkenalan. Entah apa alasannya, aku sendiri tidak tahu.

Perempuan itu hanya berbeda satu tahun denganku. Akhirnya, predikat paling muda ditempat kerja ku telah berpindah tangan. Dia pun sepertinya tipe pendiam, tapi entahlah. Kesan pertama tidak selalu kenyataannya yang sebenarnya, kan?
Suasana agak sedikit ramai. Kebetulan adegan ini bertepatan dengan waktu istirahat.

***

“Ada anak baru… Tiga orang. Sebentar lagi mau ke kelas tuh…”

Rajinnya pindahan sekolah. Keluar uang bayaran sekolah lagi, adaptasi sama orang-orang baru lagi. Kalau aku pasti lebih memilih tidak pindah. Aku tidak terlalu menyukai perkenalan.

Tiga orang masuk, dibelakangnya wali kelasku ikut serta.

Satu per satu memperkenalkan diri. Satu perempuan, dua laki-laki. Sesungguhnya hari ini aku malas masuk sekolah. Awal-awal semester baru, hawa liburan belum hilang, ngantuk. Teman sebangkuku pun juga terlihat ogah-ogahan. Acara kenal-kenalan ini sangat tidak mempengaruhi antusias kami berdua sepertinya.

Orang kedua. Berdiri ditengah barisan. Perkenalannya biasa. Sangat biasa. Aku menatapnya sekilas dan semuanya seperti berhenti.

Sekejap. Aneh. Aku terhenyak cukup lama.

***

“Ah, males banget. Baru masuk udah tugas buat dialog bahasa Inggris segala,” perempuan unik yang duduk disebelahku betul-betul lucu. Suka mengeluh. Tapi lucu. Dia tidur-tiduran di meja, bermalas-malasan, tidak semangat.

“Bikin kelompok lho. Nggak kebagian nanti kita.”

Dia pasang wajah menyebalkan tapi lucu nya itu. Diam sebentar, aku balas berkata, “Aku juga males banget nih. Gimana kalau pasrah aja dapat kelompok nya? Sama anak baru aja tuh. Kasian.”

“Yaudah. Ajak gih.”
“Kamu aja. Aku ngantuk. Hahaha,” balasku.

Dia cemberut tapi entah mengapa patuh. Sambil ogah-ogahan, aku membolak-balik buku bahasa Inggris ku. Selanjutnya aku tidak ingat, yang kuingat hanya kamu berjalan perlahan menuju meja tempatku duduk, lebih banyak diam, dan menerima keputusan semuanya.

***

“Biodatanya tulis di kertas aja ya. Nanti kumpulin di gue...”
Tidak penting sih sebetulnya. Malas sekali membuat biodata apapun itu. Dengan buru-buru, kubuat, seadanya, langsung kuserahkan ke temanku.

“Tolong oper dong. Sekaliaaaaan...,” itulah kesempatanbagi yang posisi duduknya di depan, sedangkan yang bertugas mengumpulkannya duduk di belakang.

Dia lagi. Menoleh ke belakang. Ikut serta menitip kertas. Lagi-lagi aku terdiam untuk beberapa saat. Kamu, tahukah ini?  Dulu, diawal aku masuk ke kelas ini dan belajar untuk pertama kalinya sekaligus duduk bersama teman sebangkuku ini, tepat di posisi yang sama dengan yang kamu tempati saat ini. Sama-sama duduk di paling depan dan duduk disebelah kiri.

"Katanya, pegang di lo dulu aja. Nggak enak udah mulai belajar," bisik yang duduk dibelakangku. Baiklah. Sekedar mengumpulkan, sekaligus bisa melihat data anak-anak sekelas. Kalau melihat data orang lain, yang selalu jadi perhatian utamaku selalu "nama".

"Hihihi, lihat deh. Yang anak baru ini namanya lucu. Eh iya, katanya dia disekolah dulunya, suka dijahatin sama teman-temannya. Kasian ya. Makanya pindah kesini," teman sebangkuku sibuk melihat-lihat tulisan-tulisan di kertas.
"Seriusan?"
Temanku balas mengangguk. Ah. Dulu aku juga pernah merasakan rasanya dibully. Semoga disini kamu tidak merasakannya lagi.

Aku ikut-ikutan melihat-lihat tulisan tangan beraneka bentuk, dari yang tulisannya rapi sampai yang aneh sekali. Hingga kertas yang bertuliskan namamu sampai pada penglihatanku.

Sejak awal dirimu menyebutkan namamu, aku sudah menyukainya.
Bagus.
Tanpa sadar aku mencuri datamu diam-diam.

Nomor kontakmu.

Maafkan aku.

Kamu, pernahkah merasakan dimana dirimu merasa percaya sepenuhnya pada orang yang pertama kali kamu temui? Tanpa kamu minta. Datang dengan sendirinya. Bertemupun baru kali ini.
Pernahkah?

Sayangnya, itu yang aku rasakan dan yang membuat aku terdiam sejenak ketika melihat orang yang berdiri ditengah barisan pada awal ajaran semester ini.

***

"Ada tugas Geografi, halaman xx-xx... Besok dikumpulin lho."

Sesungguhnya aku tidak tahu mengapa senekat itu mengirim pesan singkat padamu.

***

"Kamu mau kemana?" tanya teman seruangan divisi ku bekerja.
"Ke kamar mandi," aku berlalu sambil tersenyum. Bergegas menuju wastafel, kubasuh wajahku dengan air berkali-kali. Sesekali menatap ke cermin. Menatap wajah kosong yang terpantul disana.

Ah. Maafkan aku. Memori ini seakan-akan belum mampu terhapuskan secara permanen di otakku. Aku tidak suka perkenalan. Aku menghapus perlahan air mata yang entah mengapa sudah ikut merebak keluar dari tempatnya, menyaru, menyamar bersama air di wajahku. 
Lupakan. Sebegitu sulit kah? Hai diri, mau menunggu sampai kapan lagi?

Aku menghela napas sekuat mungkin. Ya. Harus.

Dan pada detik selanjutnya, aku seakan-akan tersentak. Terdiam, seakan-akan ada yang menjerit dimana hanya aku yang mampu merasakannya.
"Jangan."
Aku terdiam. Kaku. Menatap bayangan di cermin.

Bodoh. Tidak mungkin itu kebetulan.

"Kalau dia tidak pindah dulu, kamu tidak akan pernah kenal dengannya."

Lagi. Aku tersentak. Terdiam.
Ah. Tapi dia menghilang. Makanya aku tidak menyukai perkenalan.

"Jangan."

Waktu seakan-akan berhenti sejenak. Lagi. Aku lagi-lagi diam. Air mata ku kembali luruh.
Aku ingin menyerah. Sungguh.

Saudade

Senja,
Hari ini aku menangis lagi
Entah mengapa aku sendiri tidak tahu
Tapi air mata ini seakan-akan ingin merebak keluar
tanpa aku minta

Senja,
Rasanya sakit
Sakit yang tertahankan saat ini
Aku tidak tahu apa diri ini telah melakukan kesalahan ataukah
hal lain yang tak ku ketahui
Sesak,
Betul-betul menyesakkan

Senja,
Perempuan boleh menangis, kan?
Bukan hal yang dilarang, kan?
Rasanya aku tidak kuat lagi
Menyimpannya sendiri betul-betul membuatku lemah
Aku tidak tahu lagi apa yang akan terjadi

Senja,
Yang aku tahu hanya satu.
Aku merindukannya
tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.
dan aku memilih menangis.

Sabtu, 08 Maret 2014

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 14

Aku suka tempat ini. Di sebuah kafe milih salah satu sahabat terbaikku sambil menghabiskan waktu sendirian. Ya. Sendirian. Entah mengapa aku selalu menikmati self time ku sendiri.

"Gimana?"
Aku menoleh, ah ya, itu jelas-jelas suara sahabatku. Pertanyaan sederhana, tapi aku langsung tahu apa maksudnya. Sesungguhnya aku tidak ingin menjawabnya dan menunjukkan tingkahku bahwa aku tidak apa-apa, tapi..

"Ga dijawab ya?"
Hening sejenak. Dia menatapkan dengan tatapan iba nya, tapi aku sengaja tidak mempedulikan tatapannya. Aku lebih memilih pura-pura membaca buku yang kupegang. Ya, pura-pura. Bagaimana bisa aku fokus meresapi kata-kata dari novel favoritku dalam kondisi otak dan hati yang tidak sinkron seperti ini?

Merasa ku acuhkan, dia, dengan hati-hati menyerahkan segelas kopi dengan rasa tiramisu kesukaanku. Menggeserkan gelas secara perlahan-lahan, kemudian menghela napas dalam-dalam. Dan dalam hati aku mulai sadar, "Hei! Mengapa harus dia yang menghela napas kuat-kuat? Harusnya aku!"

"Terima kasih. Kopinya."
"Ga terima kasih sama gue nya juga?"
Aku hanya tertawa kecil. Kedengarannya miris.
"Hei, gue salut sama lo. Sumpah. Kalau gue jadi lo, gue akan pernah sanggup ngadepin hal kayak gini"
Gue mulai menatapnya. Ah, retoris. Entah kenapa, aku sedang tidak ingin mnedengar segala kata-kata berbau iba. Itu akan membuat aku semakin lemah dan aku semakin butuh kekuatan yang lebih banyak lagi untuk berusaha menutupi bagaimana perasaan aku kali ini.
"Ga apa-apa kok. Aku nya juga yang salah. Sok-sokan pakai jujur segala, padahal aku nya..."
"CEWEK MANA YANG MASIH BISA BILANG NGGAK APA-APA SETELAH NGAKU SEMUANYA? SEMUANYA LHOOO!!"

Aku diam. Tapi selanjutnya aku memilih untuk tersenyum. Lagi-lagi sepertinya kelihatannya miris.
"Waaah, " sekali lagi dia menghela napasnya kuat-kuat. Ah, kamu. Aku juga sesungguhnya ingin menghelas napas kuat-kuat bahkan lebih kuat dibanding kamu. Tapi menutupinya, aku segera meminum kopi manis pesananku sekaligus mungkin saja bisa menutupi muka ku. Khawatir tanpa sadar aku justru menitikkan air mata.

"Kalau kamu mau nangis, nangis aja. Karena kalau aku jadi kamu, aku pasti udah nangis."
Sumpah. Kata-katamu ajaib, seperti doa. Aku betul-betul ingin menangis. Dia pegang tangan ku, "Tangan lo dingin banget. Jangan bilang lo sakit. Ga makan? Ga minum? Gue cariin makan ya?"
Aku menggeleng, "Ga usah. Sebentar lagi aku mau balik kok. Kayaknya mendung. Jadi pengen langsung balik kerumah, tidur..."
"HEI! DEMI APAPUN BARU KALI INI GUE NGELIAT CEWEK DAN ITU SAHABAT GUE, YANG GUE TAU GIMANA DAN BERAPA LAMANYA LO DIAM-DIAM NYIMPAN PERASAAN, DAN KETIKA LO PUNYA KEBERANIAN TAPI GA DITANGGEPIN, GUE BISA NGERASAIN ITU! BISA BANGET! DAN LO MASIH AJA SENYUM, KETAWA SEGALA. GUE TAU LO CUMA NUTUPIN PADAHAL KEPIKIRAN SAMPAI KAYAK GINI KAN?"
Lagi-lagi aku diam. Bisa benar, bisa salah.
"Lupain. Plis gue minta lo buat lupain"
"Mungkin belum waktunya. Mungkin lain kali aku bakalan dapat jawabannya..."
Dia mulai menatapku tajam. Lagi-lagi begitu.
"Kalau dia cowok yang benar, sekalipun dia nggak punya perasaan yang sama kayak lo, dia ga akan pernah ga mau balas semua pengakuan lo. Kalau gue jadi lo, gue akan jauh lebih lega ketika dia jawab "ga" dibanding ga jawab apa-apa"

Seriously. So do I.

"No one ever sees, no one feels the pain
Teardrops in the rain

I wish upon a star, I wonder where you are
I wish you're coming back to me again
And everything's the same like it used to be

I see the days go by and still I wonder why
I wonder why it has to be this way
Why can't I have you here just like it used to be

I don't know which way to choose
How can I find a way to go on?
I don't know if I can go on without you oh..."


"Ah, kenapa lagunya beginian sih? Bentar gue ganti dulu."
"Gausah." Buru-buru aku melarangnya. Dia yang baru saja beranjak dari tempat duduk langsung menoleh balik kearah ku.
"Serius? Ah, iya deh, ini lagu favorit lo sih. Oke, baiklah. Tapi gue tinggal dulu ya."
Aku mengangguk. Sembari melihat jendela, menghirup kopi kesukaan secara perlahan-lahan memang setidaknya mampu membahagiakan walau hanya berapa persen saja. Tapi tampaknya mulai semakin mendung.

"Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze?
No one ever sees, no one feels the pain
I shed teardrops in the rain

I wish that I could fly, I wonder what'd you say
I wish you're flying back to me again
And everything's the same like it used to be, oh no

I don't know which way to choose
How can I find a way to go on
I don't know if I can go on without you, without you..."


Ah, sepertinya betulan ingin hujan. Pasti lebih asyik. Aku bergegas membayar semua pesananku sekaligus berpamitan dengan sahabatku. Singkat, dia berteriak, "JANGAN SOK KUAT! LUPAIN DIA!"
Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Bergegas keluar.

Aku suka sekali lagu itu, biarpun sudah keluar dan perlahan-lahan mulai tidak terdengar, tapi aku bisa membayangkan musiknya.

"Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze?
No one ever sees, no one feels the pain
I shed teardrops in the rain

Oh... I shed teardrops the rain
Oh... Hey... teardrops the rain

Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze?
No one ever sees (no one) no one feels the pain (no one)
I shed teardrops in the rain
Teardrops in the rain
Teardrops the rain
Teardrops in the rain..."


Lucu. Gerimis mulai turun. Tapi ini yang aku suka. Dari kemarin aku berharap hujan akan turun supaya aku bisa bebas menikmati semua perasaan ku saat ini. Supaya aku bebas menitikan air mata.

"No one ever sees, no one feels the pain
I shed teardrops in the rain..."


Bukankah hujan mampu menyarukan air mata? Dan rasanya kali ini aku sudah tidak kuasa.

"CEWEK MANA YANG MASIH BISA BILANG NGGAK APA-APA SETELAH NGAKU SEMUANYA? SEMUANYA LHOOO!!"

Aku juga tidak kuat pada kenyataannya. Sungguh.
Tapi bisa jadi aku yang mengacaukan skenarioNya kan? Dan itu konsekuensi yang harus aku terima. Aku tahu, jujur itu tidak mudah, tapi sungguh aku lega.
Maaf? Betulkah aku lega?
Dengan kondisi tanpa ada feedback darinya?
Yakin?

Aku suka suara ketika hujan menyentuh payung. Merdu. Magis. Dan rasanya pada saat ini fix sudah aku ingin menangis dengan puas.

Tidak. Aku yang salah. Aku memaksakan diriku sendiri. Aku tidak sabar menunggu sampai waktunya diberikan oleh Sang Penguasa Waktu. Aku yang lebih memilih gegabah, mengakui segalanya, semuanya, padahal aku tahu.
Aku tahu.
Memikirkanku pun tidak.

Aku kalah dengan ego ku yang berkata, "kalau bukan sekarang mau kapan lagi diungkapkan? Bisa jadi besok kamu tidak ada lagi atau dia yang tidak ada lagi"
Maafkan aku Sigmund Freud, padahal dirimu telah menemukan dan menjelaskan konteks ilmu pengetahuan pada umat manusia tentang bagaimana struktur kepribadian manusia. Tapi aku masih saja gagal mengatasinya.

Untuk mengaku pun, butuh kekuatan jauuuuuuh lebih banyak lagi dibandingkan hanya sekedar menyapa. Aku tahu itu dan aku sudah merasakannya. Silahkan katakan aku perempuan bodoh yang mau saja mengaku secara gamblangnya, seakan-akan harga diri seorang wanita mulai terkikis gara-gara tindakanku.
Maaf? Bukankah Istri Rasulullah pun memulai terlebih dahulu untuk mengatakan pada waktu itu.

TAPI AKU BUKAN SITI KHADIJAH.

Ya.
Memang bukan.
Dan aku merasakannya sekarang. Malu yang amat sangat. Sedih yang amat sangat. Bagiku, tanpa jawabannya itu bentuk penolakan secara halus.
Mungkin.

Sebut saja aku wanita bodoh, yang tidak sabaran, yang obsesi sekali untuk bisa terpenuhi semua harapan, salahkan diriku, hina saja aku...
Padahal harapanku aku bisa seperti Siti Fatimah yang sangat dicintai Ali r.a tanpa harus meminta.
Seperti Siti Fatimah dan Ali r.a yang saling berharap satu sama lainnya dalam diam namun saling berusaha.
Seperti Siti Fatimah dan Ali r.a yang tak pernah saling menuntut bahkan ikhlas mencintai satu sama lainnya.

Aku betul-betul menangis kali ini.
Aku betul-betul malu.
Aku betul-betul memalukan perempuan.

Mengaku itu melelahkan. Rasanya seakan-akan dirimu dihadapkan pada suatu hal yang amat menakutkan, jantungmu berdegup lebih kuat, lebih kencang dari biasanya, sekujur tubuhmu berubah menjadi dingin, dada terasa sesak, tapi setelahnya lelah luar biasa mengakhiri semua.
Kalau dirimu tidak merasakan hal itu, kamu tidak sedang mengaku sebuah kejujuran.

Bagiku, tanpa tanggapanmu itu menjadi sebuah jawaban penolakan secara halus.
Tapi entah mengapa disatu sisi aku masih berpikir positif padamu?
Berpikir positif sekaligus menyalahkan diriku sendiri jauh lebih banyak, jauh lebih sering lagi.
Aku minta maaf. Ini semua salahku dan aku yang harus menanggung akibatnya.
Semoga para perempuan lainnya lebih bisa memperoleh akhir indah apabila melakukan hal yang sedemikian rupa dengan ku. Atau kalau perlu jangan lakukan itu.

Bus tujuan rumahku sudah datang. Sepi, untung satu bagian dekat jendela, tempat favoritku masih ada beberapa yang kosong.
Aku selalu suka hujan. Dimana aku bisa berlaku jujur pada diriku sendiri bahwa aku lemah. Tidak berlaku sok kuat seperti dihadapan orang lain.

***

Satu pesan masuk di handphone ku. Dari sahabatku.

" Plis. Gue juga ga mau lihat sahabat gue sampai diberi perlakuan kayak begini. Jangan sia-siakan umur lo, waktu lo, dengan harapan lo dengan orang mana pun itu yang buat lo jauh dengan jodoh lo yang sebenarnya. Kalau dia beneran berlaku laki-laki, sekalipun ga suka sama lo, harusnya dia ngaku juga. Kalau iya, ngaku juga, biar berusaha sama-sama sampai garis "finish", jangan cuma lo doang yang usaha. Setidaknya dengan dia berbalas pengakuan menunjukkan kalau dia juga menghargai lo yang luar biasa nyiapin kekuatan buat ngaku. So, lupakan. Plis, lupakan."

Aku hanya tersenyum. Kamu, boleh katakan aku perempuan bodoh yang masih mengharapkan impiannya. Aku sudah puas menangis tadi, tapi entah kenapa lagi-lagi air mata ini ribut berdesakan ingin keluar. 

Ku pasang headset dan memutar music player di handphoneku.

"Geureol geomnida ijeul geomnida oneulbuteo nan
geudaeran saram moreuneun geobnida hanbeondo bon jeok eomneun geobnida
gireul geotdagado seuchin jeok eomneun
gwaenchanseumnida ijeossseumnida bappeun ilsange haengbokhajyo
geunsahae boineun saramdo mannago

sarangi da geureochyo sigani gamyeon huimihaejyeo
gieokjocha hal sudo eopgetjyo oh

sarangi gamyeon ddo dareun sarangi dasi ol geomnida kkok geureol geomnida
jigeumeun apado jogeumman jinamyeon amul geomnida
geureol geomnida ijeul geomnida nado geureol geomnida

eoryeopjin anhayo oneulman apeumyeon modeun ge ichyeojil geomnida
dallajin ilsange eosaekhal ppunijyo oh no..

sarangi da geureochyo sigani gamyeon huimihaejyeo
gieokjocha hal sudo eopgetjyo geureochyo~

sarangi gamyeon ddo dareun sarangi dasi ol geomnida kkok geureol geomnida
jigeumeun apado jogeumman jinamyeon amul geomnida
geureol geomnida ijeul geomnida nado geureol geomnida

modu jioul geomnida
kkot geureol geobnida

sarangi gamyeon ddo dareun sarangi dasi ol geomnida kkok geureol geomnida
nunmuri heulleodo jogeumman jinamyeon useul geomnida
geureol geomnida (ijen) ijeul geomnida (ijen) sangcheoga amul deut..
geureol geomnida geureol geomnida ijeul geomnida..."


[TRANSLATIONS]

I will forget you. Starting today,
I don’t know you. I have never seen you.
We never even walked pass eachother.
I’m okay. I forgot everything. I’m happy with my busy life.
I’ve met a great person too

Love is always like this. It fades away after some time.
Can’t even remember it, Oh.

When love goes away, another love comes again. It definitely will.
Even if it hurts now, it will hear a little later.
It will forget. I will too

It’s not difficult. I will forget everything after today.
I’m just getting used to my changed life. Oh No...

Love is always like this. It fades away after some time.
Can’t even remember it. Yes~

When love goes away, another love comes again. It definitely will.
Even if it hurts now, it will hear a little later.
It will forget. I will too

I will erase everything.
I definitely will.

When love goes away, another love comes again. It definitely will.
Even if tears fall now, I will smile a little later.
I will (now) forget you (now). Just like a wound heals…
I will. I will. I will forget you...

***

"Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze?
No one ever sees, no one feels the pain
I shed teardrops in the rain"

"sarangi gamyeon ddo dareun sarangi dasi ol geomnida kkok geureol geomnida
nunmuri heulleodo jogeumman jinamyeon useul geomnida
geureol geomnida (ijen) ijeul geomnida (ijen) sangcheoga amul deut..
geureol geomnida geureol geomnida ijeul geomnida..."




Kedua lagu itu berputar-putar diotak ku.

Lupakan. Hanya saja aku belum mampu.

Sungguh.

Entah aku yang berusaha sendiri atau kita berusaha bersama-sama. Aku tidak tahu.

Tapi, bukankah tidak akan ada hasil yang berkhianat dengan usaha?

Terima kasih hujan. Aku betul-betul mencintainya.

***

[Thank you for CNBLUE, especially for Jong Hyun. Two great songs, the same musics, the same meanings , just different lyrics only. Please searched for those who interested, so recommended. The titles are "Teardrops In The Rain" and "I Will Forget You"]

nb : CMIIW kalau bahasa Inggris saya ngaco :)

For Link :
CNBLUE - Teardrops In The Rain (Hangul + Romanized + English Sub)
Teardrops in the rain - C.N.Blue

CNBLUE - I Will Forget You (Hangul + Romanized + English Sub)
CN Blue- 그럴 겁니다... 잊을 겁니다... (I Will Forget You) lyrics [Eng. | Rom. | Han.]

Minggu, 02 Maret 2014

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 13

Pada dasarnya, saya benci menunggu. Menunggu sesuatu yang bahkan sudah dapat dipastikan. Misalkan, janjian bertemu jam 4 sore dimana saya mencoba datang untuk tepat waktu, ternyata saya yang menunggu. Bahkan menunggunya bisa berjam-jam,

Bukan tidak sabar. Tapi prinsip saya, cuma waktu yang tidak bisa digantikan dengan uang sekalipun. Saya mencoba untuk mengatur waktu sedemikian rupa untuk berinteraksi sosial dengan anda. Saya mencoba membuat anda merasa, "Wah enak ya kalau janjian sama kamu. Tepat waktu datangnya"
Tapi apa? Kebanyakan saya yang menunggu. Bahkan sampai saya muak.

Janjian pada jam yang telah disepakati, punya waktu yang sama-sama 24 jam. 12 jam pagi-siang, 12 jam lagi sore-malam.
Tidak berbeda.
Apa mungkin lebih sibuk dibanding saya?
Ah. Sudahlah.

Saya benci menunggu. Seperti saat ini, saya sedang menunggu, duduk sendirian di salah satu kursi stasiun, menunggu teman yang tak kunjung datang. Makanya, terkadang muncul keinginan dalam diri sata untuk ikut-ikutan telat seperti kalian. Hanya supaya saya tidak perlu lagi menunggu.
Supaya kalian bisa merasakan bagaimana membosankannya pekerjaan yang bernama "menunggu" itu.
Adilkah?
Atau aku yang egois?
Tapi sungguh, aku benci menunggu.
Bagi saya itu sangat melelahkan.

Saya benci menunggu. Jikalau yang sebelumnya, saya bertindak sedemikian rupa untuk hal-hal yang sudah disepakati, bagaimana jika diganti dengan hal-hal yang bahkan belum jelas kepastiannya?
Secara logika, pasti orang menduga bahwa jika ada kosakata yang lebih kejam dari kata "benci", pasti akan saya gunakan.

Entahlah.
Untukmu berbeda.
Menunggumu, seharusnya membuat aku benci, murka sepertinya lebih cocok. Sebal, mencaci maki, dan segala hal negatif lain yang sesuai untukmu dariku. Tapi, bahkan mencari hal-hal supaya aku membencimu pun, aku tidak menemukannya. Menunggumu, yang tidak hanya sekedar satu atau jam, satu atau dua hari, atau mungkin sebulan. Bertahun-tahun saya sudah menunggumu.
Bukan suatu waktu yang singkat, bukan?
Mengapa aku bisa bertahan sedemikian rupa? Mengapa justru... bahkan mungkin... saya...menikmatinya?

Menunggumu.
Sesungguhnya aku lelah.
Sangat.
Tapi entah mengapa saya masih bisa bertahan. Kekuatan apa pula yang menjadikan saya seperti ini.
Bertahan untuk tidak segera meninggalkanmu. Bertahan dengan semua keyakinan yang bahkan orang-orang memandang saya sebafai wanita yang berlebihan dan bodoh.

Ah ya, aku lupa.
Aku juga kan sedang berusaha dan terus berusaha untuk melupakan.
Untuk merelakan.
Untuk mengikhlaskan, bukan?
Aku selalu berusaha. Jadi kamu tak perlu khawatir. Carilah yang terbaik, aku jelas-jelas bukan yang terbaik.
Cuma aku yang menunggu, kan? Jadi lelahnya hanya aku yang merasakan.

Kamu.
Apa kabar disana?
Hampir tujuh tahun lamanya saya disini. Mengharapkanmu. Menunggumu.
Apa kamu juga begitu?
Kurasa tidak.
Dan kamu tak perlu begitu.

Kamu.
Aku lelah.
Sampai kapan lagi saya berhasil untuk melepaskan dan meninggalkan begitu saja tanpa harus menunggu?
Atau mungkin...
Ah sudahlah.
Sepertinya jelas. Sesungguhnya hanya sia-sia saja saya menunggu selama ini karena kamu sama sekali tidak menunggu saya.

Kamu.
Aku lelah.
Sungguh aku lelah.
Tapi terima kasih.