Rabu, 24 September 2014

Some Words on the Pieces of Paper From Me To You

"Pada ketiadaan, apa yang sanggup kita hadirkan selain kenangan? Siapa berkehendak menolak atau memilih mimpi? Dan kadang yang Tuhan pilihkan adalah sesuatu yang paling kita hindari. Aku bermimpi lagi tentangmu semalam. Aku sadar, mimpi hanyalah sebatas caramu menghubungiku. Untuk menitip apa yang tak sempat kau pesankan. Atau sekadar menengok keberadaanku. Mencari tahu keadaanku. Tapi tahu kah kau, apa yang paling kutakutkan dari mimpi? Ketika aku terbangun, dan mendapati semuanya sudah berlalu." - Robin Wijaya

Hai, apa kabar?
Masih saja aku menanyakan kabarmu seperti apa. Padahal belum tentu pula kamu memikirkan aku atau merencanakan untuk menanyakan kabarku pun saja, bisa jadi tidak terlintas dalam pikiranmu. Jadi maafkan orang yang tidak tahu diri ini, masih saja memaksakan perasaan orang lain atas dirinya sendiri. Aku tahu kamu juga pasti muak dengan tingkahku, tapi sungguh, aku tidak punya cara, aku tidak punya keberanian lagi layaknya perempuan-perempuan lain yang mungkin akan melakukan cara apapun hanya untuk sekedar mengetahui mengapa semua ini bisa terjadi secepat itu. Sungguh aku tidak seberani itu.

Dan yang aku lakukan hanya menikmati setiap kenangan, karena aku tahu, Tuhan memberikan aku waktu yang tidak singkat untuk perasaan ini dan tergantikan dengan pertemuan yang sangat singkat, justru itu bukan suatu hal yang sia-sia. Dan itu justru membuatku berterima kasih. Aku bahagia. Ya. Bahagia bahwa aku mencintai seseorang dan orang itu juga mencintaiku, walau hanya sekejap. Setidaknya aku bisa merasakan saat-saat dimana penantianku tergantikan dengan setiap detik kenangan indah dari rasa sayang kamu berikan padaku.




Iya. Aku menulis ini, sebagai bentuk bahwa aku betul-betul bahagia telah bertemu denganmu. Sungguh. Aku tahu rasanya menaruh perasaan pada seseorang yang entah bagaimana kabarnya, bertahan dengan ke-sok-pede-an nya bahwa pasti suatu saat Tuhan akan membalas semua yang telah aku usahakan. Dan ketika betul-betul dipertemukan denganmu, sungguh tidak ada kata yang mampu mendeskripsikannya. Lebih dari bahagia. Dan aku harap kamu tahu itu.

Aku tidak menyesal sekalipun saat ini kamu entah dimana lagi. Bukan karena aku malah senang berpisah denganmu, tapi rasa tidak menyesal karena selama pertemuan itu aku bisa menciptakan kenangan-kenangan yang indah dan tidak bisa terlupakan denganmu. Sungguh, Dan aku ingin mengumpulkannya kembali menjadi satu, lalu aku simpan. Sampai suatu saat nanti mungkin kamu membukanya kembali dan mengajak aku bersama-sama menyusunnya secara permanen atau justru orang lain yang membukanya dan membantuku untuk membuangnya secara perlahan. Tapi sungguh aku masih berharap pilihan pertama lah yang akan terjadi kepadaku.




Ya, Terkadang, kita menerima orang lain dalam hati saja, belum tentu di kehidupan nyatanya seperti apa. Dan mungkin bagimu, aku begitu. Kamu menerima aku hanya dalam hati, tapi belum tentu untuk hidup kamu nanti. Bahkan bisa jadi, di hatimu pun saat ini sudah tidak ada aku lagi. Ah, begitu hebatnya waktu. Mampu menghapus segala hal dengan mudahnya. Tapi bagiku, waktu ku sulit untuk melupakanmu.

Katakan saja aku bodoh atau tidak tahu diri. Entahlah. Mungkin aku memang bodoh dan tidak tahu betulan. Terhadap kamu.

"Bahwa perpisahan bukanlah hal yang menyenangkan sekalipun itu harus dilakukan" - Robin Wijaya

Ya. Berpisah denganmu pun bukan suatu hal yang aku harapkan lagi setelah Tuhan berikan kesempatan berharga itu. Tapi rencanaNya memisahkan ku dengan mu lagi bukan suatu hal yang tanpa arti, bukan? Setidaknya pikiran itu membuatku percaya bahwa aku, kamu, mungkin sedang diajarkanNya untuk menjadi manusia yang lebih bijaksana.




Kamu meninggalkanku, lantas aku berusaha untuk meninggalkanmu juga? Tidak. Tidak semudah itu dan aku juga tidak berharap begitu. Aku berusaha untuk memperjuangkannya dari awal, love is worth fighting for, right? Dan aku juga harus memperjuangkannya sampai akhir. But, sometimes you can't be the only one fighting. Lantas kalau kamu tidak mau, aku bisa apa?

Sungguh, pilihan untuk meninggalkanmu itu adalah pilihan tersulit bagiku. Aku tidak mau meninggalkanmu begitu saja.

"Waktu dan jarak akan menyingkap rahasia besarnya, apakah rasa suka itu semakin besar, atau semakin memudar."- Tere Liye

Mungkin biar waktu dan jarak yang akan menentukan sampai kapan perasaan ini akan terus ada padaku. Biar itu berlaku padaku, kamu tidak perlu juga tidak apa-apa.




Biar begitu, izinkan aku tetap berdoa untukmu. Aku berharap Tuhan selalu menemanimu, menjagamu, memberikan kesehatan, kasih sayang, juga melimpahkan rezeki yang banyak untukmu. Semoga hidupmu selalu dalam kebaikan. Melakukan hal-hal terbaik dan mendapatkan yang terbaik pula.

Ingat hukum I Newton? Setiap benda akan mempertahankan keadaan diam atau bergerak lurus beraturan, kecuali ada gaya yang bekerja untuk mengubahnya. Sama seperti hidup, kamu akan tetap diam kalau kamu tidak bergerak. Maka terus berusahalah, semua pasti berubah.

Ingat juga hukum III Newton? Si hukum aksi-reaksi. Seberapa besar usaha (aksi) kamu, maka sebesar itu pula hasil (reaksi) yang kamu dapatkan.

Kamu kuat. Kamu pasti mampu menjalani semua yang kamu anggap sulit dan semua itu akan berakhir indah untuk mu. Terus berusaha, aku percaya kamu juga sedang berjuang "lari" mengejar teman-temanmu, mengejar hal-hal yang tertunda, dan suatu saat nanti kamu pasti bisa menyusulnya bahkan melewati mereka.




Dimanapun kamu berada, aku harap kamu selalu bahagia. Sungguh dulu pun aku tidak mau melihat kamu sedih karena suatu hal. Kamu berhak atas kebahagiaan hidup kamu sendiri dan bisa jadi justru salah satu kebahagiaan dalam hidupmu adalah tanpa adanya aku lagi.

Ya. Mungkin tanpa adanya aku, kamu bisa lebih bahagia. Aku senang liat kamu bahagia. Rasanya melihat kamu seperti itu, seperti virus. Menular. Semoga kamu tetap terus bahagia disana.




Kamu tahu, salah satu hal yang membuat aku jatuh cinta dan selalu jatuh cinta padamu? Senyummu. Sungguh tidak ada kejadian apapun yang bisa menggantikan selain saat-saat kamu tersenyum. Bagiku, itu seperti morfin. Menenangkan.

Aku tahu pada saat dulu ketika aku dihadapkan dalam suatu masalah, dan kamu hadir membantuku, sesungguhnya kamu tidak perlu menasihatiku dengan kata-kata panjang lebar. Karena hanya dengan melihat kamu tersenyum dan berkata "tidak apa-apa, semua pasti baik-baik saja", sungguh itu lebih daripada cukup.

Maka semoga kamu selalu menemukan alasan untuk selalu tersenyum, dalam suka maupun duka. Meskpiun bukan aku salah satu alasannya.

"Pada waktunya nanti, kita akan tertawa bersama lagi,sekalipun mesti dibayar tangis hari ini" - Robin Wijaya

Ya. Mungkin suatu saat nanti kita akan tertawa bersama. Supaya aku bisa melihat senyummu lagi. Tertawa bersama untuk selamanya atau tertawa bersama ketika aku melihatmu telah memilih pilihan hidupmu, begitu pula sebaliknya. Tapi lagi-lagi semoga pilihan pertama.




"Jika aku, bukan jalanmu,
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu,
Jodoh pasti bertemu..." - Afgan

Ah, aku terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Aku terlanjur bahagia luar biasa saat dipertemukan kembali dan langsung menjudge bahwa ini betul Tuhan menjodohkanku dengan mu. Tapi nyatanya, aku terlalu congkak, mendahului takdir.
Tapi, masih bolehkah aku berharap bahwa suatu saat nanti aku dipertemukan kembali dengan mu dengan sebenar-benarnya bahwa Tuhan mentakdirkan ku akhirnya padamu?

Kamu ingat, saat kamu bercerita dulu sempat hendak dijodohkan dengan orang lain? Kamu sebutkan kondisi nya, dan tahukah kamu saat mendengarkannya aku sungguh minder. Rasanya kamu seharusnya berhak mendapatkan yang jauh lebih baik seperti dia dibanding aku. Maka dari itu aku hanya bisa diam, mendengarkan, sungguh disatu sisi aku minder, tapi disatu sisi aku berjanji, aku juga ingin menjadi wanita luar biasa untuk hidupmu.

Tapi memang tidak semua harapan bisa terkabulkan, bukan?

Jika suatu saat nanti kemungkinan terburuknya adalah tidak, semoga kamu bahagia, Jauh lebih bahagia dibandingkan dengan ku. Bagiku kamu menawan, luar biasa hebat. Maka saat itu juga, kamu harus memandang orang yang kamu pilih untuk hidupmu juga menawan dan hebat.

Pasti aku sedih, tapi harapanku salah satu nya juga menginginkan kamu bahagia, bukan?



...until now.

Sampai suatu saat nanti bagaimana Tuhan merencanakan takdir terbaiknya pada kita. Tapi aku harap akan selalu ada kata "kita" dalam hidupku juga hidupmu.




Never change.

"Sekalipun kita tak lagi bertemu, percayalah padaku, aku mendoakanmu dari jauh. Kamu hanya tak perlu menganggap ada cerita dalam hidup yang pernah kita lewati berdua, Kamu hanya perlu menghapus bagian itu. Kamu boleh membuangnya jika kamu mau.
Tapi aku, akan ingat selamanya padamu." - Robin Wijaya

Ya. Aku akan ingat selamanya padamu, wahai orang yang satu-satunya membuatku percaya sekalipun baru pertama kali bertemu. Aku akan ingat selamanya padamu, wahai orang yang aku nekat pertahankan perasaanku tanpa kejelasan selama bertahun-tahun. Untukmu.




Karena aku betul-betul sudah tidak punya keberanian lagi untuk mempertanyakan padamu. Aku tidak berani lagi untuk menghubungi kamu, sungguh aku tidak berani. Dan yang bisa aku lakukan hanya doa dan kata-kata dalam tulisan. Aku tahu usaha ini sangat jauh tidak ada efeknya, dibandingkan memperjuangkan secara nyata, Tapi aku tetaplah aku, orang pengecut yang telah sering menerima penolakan dan tak akan bisa berani seperti orang lain.

Ada hal-hal yang kadang sulit diungkapkan. Salah satunya perasaan. Dan aku hanya bisa menuliskan nya dalam kata-kata, bahwa aku betul-betul bahagia, kamu telah terlahir di dunia dan menjadi bagian dalam cerita hidupku. Walau sekejap.

Kadang cinta membuatmu bertahan pada orang yang tak pernah membalas cintamu. Kau yang tetap berada di sisinya dan berharap ia mengerti arti keberadaanmu.- Robin Wijaya

Mungkin kenangan terlalu sempurna. Hingga segalanya tentangmu sulit dilupakan. Atau mungkin sebenarnya aku yang tak mau. Ah. Kamu, jangan pernah putus asa. Suatu hari nanti cinta akan dipertemukan. Mungkin untuk "kita" atau untuk orang lain. Dan aku tetap berharap akan selalu ada kata "kita" dalam hidupku dan hidupmu. Semoga.

Rabu, 17 September 2014

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 19

"Saya khawatir, dia akan menderita Pistanthrophobia."
"Maaf itu apa?"
"Itu sejenis phobia atau ketakutan untuk mempercayai seseorang karena pengalaman negatif atau buruknya di masa lalu. Semoga saja sih tidak. Terus ajak dia berbicara supaya dia terbuka untuk menceritakan apa yang disukainya dan yang tidak disukainya."

Setidaknya itu yang sempat aku dengar diam-diam, dan pada saat yang sama, ibu saya diam dan tertegun dengan wajah yang aku sebut 'kesedihan'.

Aku sendiri diam setelah mendengarnya. Jelas aku tidak mau dianggap seperti itu, tapi, ah semoga tidak.

Itu beberapa tahun yang lalu saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

***

"Nak, kamu kenapa?"
Aku menggeleng pelan, "Nggak kok. Nggak ada apa-apa."
Ayahku menatapku sekilas, mendiamkan aku beberapa menit, "Nak, ayah tau kamu ada masalah. Biar bagaimanapun orang tua pasti tahu kalau anaknya ada apa-apa. Kamu kenapa? Bilang sama ayah."
Aku menggeleng untuk kedua kalinya.
Ayahku meninggalkanku sendirian.

Selang beberapa jam kemudian, suara ayah mengagetkanku. "Ayah tahu kamu sulit bercerita tentang apapun, ceritalah, nak. Ayah tahu ada yang kamu pendam."

Entah mengapa, aku ingin menangis, aku tidak kuat lagi, "Tadi aku sama teman-teman sekelas mau janjian jenguk teman yang lagi dirawat. Aku datang paling awal, aku yang sewa angkutan umum, tapi berhubung yang ikut banyak, aku nggak kebagian duduk. Aku tau, aku nggak apa-apa, tapi.. tapi ayah pasti tau juga kalau tadi hujan deras banget. Dan aku basah kuyup, pulang gitu aja."

Itu waktu aku duduk dikelas satu SMP.

"Kamu. Jangan terlalu baik sama orang lain, nanti kamu yang dimanfaatin."
"Iya, tapi kalau memang begini, mau diapain lagi?"
"Hahaha, Biar bagaimanapun kamu harus tahu, mana orang yang bisa kamu percaya memang membutuhkan kamu dan mana yang hanya sekedar memanfaatkan kamu."
"Kalau nolong orang bukannya nggak perlu alasan ya?"
"Iya sih, tapi kalau keseringan juga, nanti kamu malah nyiksa diri sendiri. Kalau kamu ada masalah, cerita aja ke aku. Nggak apa-apa. Aku siap mendengarkan."
Aku hanya balas dengan senyuman.
"Percaya deh sama aku. Aku akan ada buat kamu, saat kamu butuh."

Dan sekarang orang itu entah ada kabarnya atau tidak.

"Kamu, nggak tahu kenapa, rasanya aku punya perasaan yang lebih sama kamu."
Tidak kujawab.
"Aku lagi nggak bisa percaya sama lawan jenis."
"Oke, nggak masalah, nanti kamu akan percaya sama aku sedikit demi sedikit,"

Dan aku ditinggalkannya begitu saja. Tanpa alasan.
Tapi itu dulu, dan sayangnya sekarang terjadi lagi.

***

Aku suka hujan, aku lebih suka menikmati dibonceng naik motor atau ketika naik kendaraan umum memilih duduk di pojok atau dekat jendela. Karena pada saat itulah aku menikmati kesendirianku, karena pada saat itulah, jika aku tidak mampu menahan kesedihan, aku bebas mengeluarkan air mata tanpa ada orang yang peduli dengan keadaanku. Seperti saat ini, hujan sedikit deras, tapi aku suka, aku lagi-lagi ditinggal orang tanpa alasan yang aku ketahui dengan jelas, tanpa pembalasan maaf yang setara. Ditinggal begitu saja, dalam sekejap.

"Kamu tahu? Untuk pertama kalinya aku merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Percaya pada orang lain lebih dari apapun, sekalipun aku baru pertama kalinya bertemu sama kamu. Dan itu sungguh langka"

Sangat langka. Sungguh. Dan itu untuk kamu. Tapi...

Aku mengusap air mata dengan lengan bajuku, biar bagaimanapun, mungkin saja orang lain akan melihat aku yang tiba-tiba saja menangis begini, bukan?

"Aduh, maaf. Aku nggak sengaja. Betulan aku nggak sengaja."
"Bohong! Kamu coret muka aku seenaknya, aku aduin kamu ke kepala sekolah."
Aku diam, mau menangis. Aku tahu, dia anak salah satu orang tua penyumbang terbanyak dana sekolahan, dan memang dekat dengan kepala sekolahku.
Aku kabur, naik jjemputan yang sudah datang. Aku pikir hidupku akan selamat, ternyata tidak. 
"Mana anaknya? Saya nyari yang namanya...Bilang dia dipanggil kepala sekolah ke ruangannya."
Aku gelisah, keringat dingin, sungguh aku tidak berani.

Aku menghindar sejadi-jadinya, tidak mau mengaku. Aku tidak sengaja, sungguh. Dan aku sudah minta maaf ke orangnya. Aku pulang ke rumah, mengurung diri seharian, sampai akhirnya ibu aku bertanya, "Kamu kenapa?"

"Aku nggak mau masuk sekolah, bu. Nggak mau."
"Kenapa memangnya?"
Aku menangis sambil menggeleng-geleng kepala.
"Cerita, nak. Cerita."
Aku menggeleng kepala lagi.
"Yasudah, ibu telpon guru kamu ya?"
"Jangan bu. Nggak usah."
Dan aku baru mau cerita setelah lelah menyakiti diri sendiri.

Hingga lusanya, aku tidak berani keluar kelas. Aku datang paling awal, langsung membenamkan diriku pada buku-buku soal, atau membaca buku pelajaran, sedangkan teman-teman yang lain sibuk membicarakan aku dengan santainya.

"Itu tuh yang nggak mau tanggung jawab abis nyoretin mukanya si..."
"Iya, muka gue dicoret sama dia, susah lagi dihilanginnya."
Dan komentar-komentar sinis lainnya.

Mungkin tidak jadi masalah untuk anak pemberani. Tapi sungguh, memiliki teman saat itu saja merupakan hal yang langka bagiku.

***

"Aku tidak akan pernah mempercayai orang lain. Siapapun itu. Kalaupun saat ini ada yang bersikap baik padaku, itu tidak lebih dari sekedar formalitas kebaikan biasa."

Tuhan, izinkan aku menangis kali ini. Sekalinya aku percaya pada seseorang dengan perasaan yang berbeda, tapi lagi-lagi aku menelan kekecewaan. Sungguh, aku tidak menyalahkan dia, aku justru menyalahkan diri sendiri. Seharusnya aku tidak perlu mempercayai dia sebagaimana aku melakukannya pada orang lain. Sungguh, Itu bukan salah dia, pelakunya itu aku.

Kali ini aku mau mencoba untuk bermain dengan teman-teman sekelas aku, berusaha untuk kenalan dengan mereka. Mereka sedang sibuk bermain susun balok, aku pikir, ini saat nya aku bisa bergabung dengan mereka.
Perlahan aku mendekati mereka, dan mereka melihatku. 
"Eh udahan yuk. Kita mainan ayunan aja sekarang. Ayooo!" Seru salah satu dari mereka bertiga diikuti yang lainnya bergegas meninggalkan aku sendirian.
Iya. Sendirian. Dan menunduk seakan-akan aku anak kecil yang punya virus menular.

Hanya untuk sekedar merasakan ayunan saja, aku harus menunggu situasi mulai sepi. Untuk berbaris pulang dan bersalaman dengan guru saja, jikalau aku ada di barisan depan, yang berbaris di barisan belakangku akan menarik seragamku dan memindahkan aku ke barisan belakang atau mencubit pundakku agar aku menyingkir dengan patuh.
Kalau aku kebagian pensil atau crayon yang bagus, maka direbutlah punyaku dan diganti dengan mereka yang kebagian lebih buruk. Kalau aku kebagian susu dengan porsi yang kebetulan penuh dengan wadahnya, akan direbut dengan yang kebagian jatah sedikit. Aku yang memilih berada di bagian paling belakang setiap kali praktik shalat. Aku yang memilih berdiam diri di kelas dibandingkan bermain dengan anak-anak yang lainnya.
Aku yang selalu iri ketika melihat teman-temanku yang lain asyik bercanda-canda, ngobrol, atau saling cerita satu sama lainnya. Aku iri. 

Itu berlangsung terus menerus. Dari Taman Kanak-Kanak hingga SD kelas 3.

Tuhan, bukan berarti aku tidak percaya orang lain. Sungguh. Aku hanya, entahlah. Rasanya aku lebih suka memendam perasaanku sendirian. Tapi, entah ketika bertemu dia, aku percaya. Dan pertama kalinya aku berani untuk bercerita apapun, hal apapun padanya. Meskipun tidak seluruhnya, tapi bagiku, itu amat sangat luar biasa mengingat kebiasaanku yang seperti ini.
Hanya saja dia menghilang. Lagi.

"Aku nggak enak badan, bu. Aku mau dirumah aja."
"Yasudah, istirahat aja. Tapi besok masuk ya."
Padahal saat itu aku sedang menghindar dari teman-teman jemputanku yang tidak habis-habisnya bertingkah tidak mengenakkan. Memandangmu sinis tanpa alasan, berbisik-bisik sambil melihat kearah kamu lantas setelahnya cekikikan.
Seburuk itukah aku?

Kali ini aku tidak mau bergegas pulang. Aku ingin menikmati hujan lebih lama. Menikmati diriku sendiri yang sesungguhnya.

"Kenapa kamu baru kasih tau ibu sekarang? Kalau dulu kamu cerita mungkin ibu sudah belain kamu lebih dari apapun karena perbuatan teman-teman kamu."

Bukan begitu, aku hanya takut. Takut ketika aku bercerita, ketika aku percaya pada orang lain, orang lain yang tidak percaya padaku atau menanggapi alakadarnya saja. Itu pengakuan terbaik ku, dimalam saat nenekku meninggal.

"Kamu sakit ya?"
"Nggak pak. Saya baik-baik saja. Nggak apa-apa."
Aku ingat, itu hari terakhir aku ikut lomba Murid Teladan, kondisi aku sungguh tidak fit. Mukaku panas, mataku ada benjolan seperti bengkak.
"Tapi kamu lemas banget, nak. Kamu pulang saja. Nggak usah tungguin pengumumannya."
Aku tahu, aku sudah berusaha semampuku. Hari terakhir adalah tes kemampuan budaya dan keterampilan membuat hiasan kesenian. Tapi pada saat itu aku minder, siswa-siswa lain banyak yang mempertunjukkan kebolehannya dalam menari, bermain piano, sedangkan aku hanya bisa bernyanyi. Dan keterampilan yang aku tunjukkan hanya sebatas karangan bunga dari sedotan yang ibu aku pernah ajarkan setiap kali beliau diminta pesanan dari teman-temannya dulu.
Tentu saja nilaiku bagus di keterampilan, tapi jelas menari atau bahkan bermain biola jauh lebih baik dibandingkan menyanyi.
"Badan kamu panas, nak."
"Nggak apa-apa, pak. Aku baik-baik saja." Lagi-lagi tidak mengaku. Beruntunglah aku, perlombaan diadakan di sekolah kakak ku, dan kakakku menungguku pulang juga. Entah apa jadinya kalau aku pulang sendirian dengan kondisi sangat tidak enak ini. Dan sampai rumah aku tertidur tanpa sadar.

Lagi-lagi aku menghapus air mataku. Betapa menyedihkannya hidup dalam ketidakberdayaan percaya pada orang lain.
Aku tahu, Engkau telah mengajarkan kegagalan agar kita mengerti makna kesungguhan. Tapi entah mengapa, rasanya aku selalu gagal.

"Kamu mau serius sama aku kan?"
"Iya. Aku serius."
Dengan yakin aku katakan iya pada orang yang pertama kalinya aku bisa merasakan percaya luar biasa selama hidup aku.

Aku sudah pernah merasakan sulitnya penerimaan orang-orang terhadapku. Rasanya ditampar, dicaci maki di tempat umum, dibiarkan sendirian di keramaian. Aku sudah tahu rasanya.
Hari ini betul-betul terasa berat bagiku. Sungguh. Aku tahu, ada Tuhan yang menguatkan aku, tapi rasanya aku tetap saja ingin menangis.
Maka tak bisa aku tahan, aku bersandar di toilet, menangis sejadi-jadinya, berharap tidak ada siapapun di bilik lainnya.

"... trust me."

Aku yang selalu memilih mundur hanya karena merasa 'mereka jauh lebih baik, pasti lebih dianggap sama orang lain'. Aku yang selalu memilih banyak diam ketika berkumpul dengan teman-teman, karena aku tahu setiap kali aku berbicara, mereka hanya menanggapi dengan sepatah dua patah kata saja atau justru menertawakan aku sebagai balasannya. Aku yang mengusahakan diri aku untuk bisa diterima orang lain, terus mencoba untuk bisa terbuka pada orang lain, mempercayai bahwa mereka juga percaya padaku, mempercayai bahwa mereka memang ada untuk aku.

"Percaya sama gue, ayo ikutan aja."
Aku menggeleng. "Nggak usah, aku disini aja."
"Ih, nggak apa-apa. Kan ada gue. Tenang aja."
Lantas setelah aku percaya, dia memilih meninggalkan aku sendirian dan dia asyik bercanda dengan temannya yang lain.

Aku ingin menangis sepuasnya Tuhan. Menangis betapa rapuhnya aku.

"Bu. Aku... Aku mau cerita. Aku lagi dekat sama seseorang. Aku ketemu lagi sama dia, bu. Dia baik banget....."

Untuk pertama kalinya aku berani menceritakan tentang perasaan pada wanita hebat dalam hidupku. Dan aku sungguh membanggakan hal apapun tentangmu pada beliau.

"Cerita nak. Kalau bukan diri kamu yang memberanikan diri untuk cerita, bagaimana ibu tahu apa masalah kamu? Biar bagaimanapun, disini tempat kamu pulang, nak. Saat orang-orang lain tidak menerima kamu, keluarga kamu tetap ada. Keluarga, nak yang merengkuh kamu. Usaha sayang, berusaha untuk memberanikan diri cerita apapun yang kamu rasakan."

Dan aku menangis luar biasa setelah ibuku berkata begitu.

"Kalau dia benar mencintaimu, dia takkan mengkhianatimu. Kalau dia benar menyayangimu, dia rela berpisah demi kebaikanmu. Kalau dia benar setia padamu, ia takkan menduakanmu. Percaya nak, kalau dia sayang padamu, dia akan kembali. Jika tidak, ibu mohon lupakan. Belajar untuk tidak menyalahkan diri sendiri. Serahkan semua pada Tuhan. Percaya pada ibu. Dan belajarlah untuk mempercayai orang lain, baik itu sesama ataupun lawan jenis dalam hidupmu. Selama itu baik, nak. Baik untuk hidupmu. Biar bagaimanapun kamu butuh orang lain."

***

"Saya khawatir, dia akan menderita Pistanthrophobia."
"Maaf itu apa?"
"Itu sejenis phobia atau ketakutan untuk mempercayai seseorang karena pengalaman negatif atau buruknya di masa lalu. Semoga saja sih tidak. Terus ajak dia berbicara supaya dia terbuka untuk menceritakan apa yang disukainya dan yang tidak disukainya."

"Caranya? Harus ada orang yang bisa 'dipercaya' sama dia ya?"
"Harus. Lebih bagus lagi kalau dia percaya sama orang lain, orang itu percaya sama dia juga. Tidak menyia-nyiakan kepercayaannya. Berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan diri seseorang. Nanti dia jadi orang yang minder dan penyalah habis-habisan untuk dirinya sendiri kalau terus-terusan begitu."

Lagi. Kata-kata itu terngiang dalam pikiranku.

Tuhan, aku ingin mempercayai orang lagi. Aku tidak mau menjadi seorang Pistanthrophobia seperti yang dikhawatirkan orang lain pada ibuku tentang aku. Sungguh. Jangan sampai aku seperti itu.
Ketika orang yang aku percayai untuk pertama kalinya meninggalkan aku begitu saja, sesungguhnya itu bukan suatu hal yang meruntuhkan hidupku, bukan? Tapi biar bagaimanapun itu tidak mudah bagiku, Tuhan. Sungguh tidak mudah. Tapi aku mohon, jangan salahkan dia. Yang salah aku. Aku yang punya kepercayaan padanya. Bukan dia.

Diluar masih hujan. Aku akan mencoba terus untuk berusaha mempercayai orang lain. Meskipun sulit.

[Hadirmu hanya sekilas di hidupku
Namun meninggalkan luka
tak terhapus oleh waktu
Tertawa hanya tuk tenangkan jiwa
Namun yang kurasa hampa semua hilang tak tersisa

Bayangkan... rasakan
Bila semua berbalik kepadamu
Bayangkan... rasakan
Bila kelak kau yang jadi diriku

Terdiam ditengah heningnya malam
Mencoba tuk memaafkan dan melupakan kesedihan
Maaf sangat sulit kau ucapkan
Selalu ada pembenaran atas hal yang engkau lakukan

Bayangkan... rasakan
Bila semua berbalik kepadamu
Bayangkan .... rasakan
Bila kelak kau yang jadi diriku

Hadirmu hanya sekilas di hidupku
Namum meninggalkan luka
tak terhapus oleh waktu...]


Tuhan. Sungguh aku mencintainya. Sungguh. Hanya saja itu tidak berlaku baginya padaku. 
Tuhan. Sekarang aku kehilangan orang yang aku percaya dalam hidup aku. Yang aku percayai untuk pertama kalinya dan kini hilang untuk selamanya.

***

Nb : Thanks to Maudy Ayunda untuk lagu Bayangkan Rasakan. As usual, saya suka lagu-lagu yang dinyanyikan dia. Sederhana tapi manis campur miris.

For Link:
Maudy Ayunda - Bayangkan Rasakan
Maudy Ayunda - Bayangkan Rasakan

Jumat, 12 September 2014

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 18

Aku tidak membencimu. Titik.

Hai kamu, apa kabar?
Sehat? Aku harap kamu sehat-sehat saja, bahkan jauh lebih sehat dibanding sebelumnya. Kamu tahu, aku merasa bersalah bukan main, hanya karena aku, mungkin kamu jadi lebih sering sakit ditambah tekanan batin juga. Semoga kamu baik-baik saja disana.

As always, doaku selalu sama seperti sebelum-sebelumnya. Semoga kamu senantiasa diberikan kesehatan, dimudahkan segala urusannya, ditangguhkan semua tanggung jawabnya. Semoga Tuhan senantiasa melindungi kamu.

Apa yang kamu rasakan saat ini?
Legakah? Bahagiakah? Semoga bahagia. Mungkin tanpa aku, kamu justru lebih bahagia. Jauh bisa menikmati hidup, bebas, tanpa perlu direpotkan segala macam olehku, tentangku. Aku minta maaf jika benar begitu, sungguh, niatku hanya satu yang paling utama diantara lainnya. Sederhana. Iya, sederhana. Aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian. Aku kirimkan doa-doa untukmu dari dulu pada Tuhan, sekalipun aku tidak pernah tahu kamu ada dimana, bagaimana kabarnya disana, rupamu saat ini seperti apa. Kamu tidak sendirian, sekalipun mungkin akan banyak orang lain mencemoohkanmu diluar sana. Kamu tidak sendirian, aku selalu berharap suatu saat nanti aku bisa secara nyata menjadi penyemangat kamu yang paling oke, penenang kamu ketika kamu jatuh dan terluka, atau pendukung paling setia dari setiap keputusan-keputusan terbaikmu.

Sesederhana itu.
Dan maafkan aku jika niatku tidak tersampaikan olehmu tapi justru menyulitkanmu. Sungguh aku minta maaf.

“Bukan ketika diomeli, dimarahi, dicereweti yang menyakitkan. Itu sih tandanya orang lain masih sayang.

Yang lebih menyakitkan adalah: saat orang lain memutuskan sudah tidak peduli lagi. Ditegur tidak, disapa juga tidak, didiamkan saja. Dianggap tidak ada.” - Tere Liye

Kamu mau tahu bagaimana perasaanku saat ini?
Ah. Kamu peduli padaku saat ini pun belum tentu. Mungkin kamu sudah menemukan kebahagiaan baru dalam hidupmu. Dan sepantasnya lah aku juga ikut bahagia, bukan? Karena mencintai yang sesungguhnya adalah justru ikut bahagia ketika orang yang kamu cintai bahagia.

Kamu tak perlu tahu bagaimana keadaan aku saat ini. Jangan. Sungguh tak perlu. Biar aku saja yang merasakannya. Munafik sekali kalau aku justru tebar senyum pada siapapun. Munafik sekali kalau aku menjalani hari-hari dengan semangat luar biasa. Munafik sekali kalau aku berkata, "aku tidak apa-apa".

Aku memang "apa-apa", tapi sungguh kamu tidak perlu tahu. Karena aku tidak mau mengganggu kebahagiaan baru dalam hidupmu.

Kamu, aku pernah bilang "aku menyerah". Iya, menyerah untuk memaksamu terus diusik hidupnya oleh ku. Karena aku tidak tahu lagi dengan cara apa agar kamu melihat sedikit saja padaku. Sungguh. Aku tidak tahu lagi. Tapi biar begitu, munafiklah aku. Karena sampai detik ini sesungguhnya aku belum menyerah. Aku masih mencoba berusaha sekalipun kamu tidak menganggapnya.

"Jadilah seseorang yang: “Aku akan tetap menunggu. Tidak peduli kau datang atau tidak.” untuk seseorang yang: “Aku akan pasti datang. Tidak peduli kau tetap di sini atau pun tidak.”
Meski hingga detik ini kita tidak tahu siapa seseorang tersebut. Meski kita terlampau malu dengan harapan. Teruslah memperbaiki diri, besok lusa kita akan paham hakikat nasehat ini." - Tere Liye

Aku mencarimu hingga bertemu lagi, bukan hanya karena aku, tapi juga karena ada Dia. Dan aku percaya saat ini, bahwa doa seorang hamba Tuhan akan dikabulkan sekalipun bukan dengan waktu yang secepatnya. Aku mencarimu, lantas aku menyerah begitu saja dalam waktu singkat? Entah sudah berapa lama aku memohon padaNya, "tolong pertemukan aku dengan dia", sepadankah? Entah sudah berapa lama aku menunggumu, bagiku sekalipun kamu datang terlambat menemuiku, aku tidak akan semudah itu meninggalkanmu hanya karena lelah menunggu yang sesingkat itu.

Kamu, apa kabar?
Setiap orang punya alasan masing-masing untuk menerima dan menolak sesuatu, bukan? Tidak apa. Mungkin suatu saat nanti aku akan tahu alasan sesungguhnya kamu seperti apa. Mungkin suatu saat nanti atau bahkan ketika kamu sudah menjadi milik orang lain atau sebaliknya.

Kamu, kehilangan dua kali itu bagiku sungguh sangat membuatku terpuruk.
Seakan-akan aku gagal untuk kedua kalinya.
Seakan-akan aku menyia-nyiakan takdir Tuhan dengan seenaknya.
Sungguh aku minta maaf dipertemukan dalam keadaan yang seperti ini, sesingkat ini.

Dadaku sesak. Sungguh. Rasanya ada yang menghimpit luar biasa. Kalau sudah begitu, aku puaskan untuk memohon maaf pada Tuhan dan mengulang kalimat yang sama setiap kalinya, "apa aku tidak bisa dipertemukan lagi?" Tapi aku tahu, dulu saja Tuhan baru menjawab doaku hampir lima tahun lamanya. Dan tak perlu dijelaskan lagi, rasanya luar biasa, tak bisa tergantikan dengan apapun.

"Aku ketemu lagi sama dia, bu..."

Itu kalimat pertama yang aku ucapkan tentangmu pada ibuku dan yang pertama kalinya juga aku mengadu tentang lawan jenis.
Maka, munafik bukan kalau aku bilang, "aku tidak apa-apa"?

Tapi aku tahu, selama ini menunggu, selama ini berharap itu pelakunya adalah aku. Bukan kamu. Aku tidak punya hak untuk menyalahkan kamu. Aku harus ikhlas. Mungkin aku bukan yang terbaik versi hidup kamu.

Kamu, apa kabar?
Sungguh aku mau terus menyemangati hidupmu, sungguh aku ingin menemani kamu meraih semuanya. Aku tak peduli apa dan bagaimana keadaan kamu. Tapi kalau kamu tidak butuh aku, aku bisa apa?

Kamu, cita-cita ku kamu pun sudah tahu. Tapi aku belum tahu cita-cita kamu saat itu, entah mengapa bagiku itu tidak penting. Justru aku ingin ada menemani kamu untuk segala cita-cita terbaik kamu. Tapi kalau kamu tidak butuh aku, aku mau apa?

Kamu, maafkan aku sebagai perempuan. Kaumku memang terlalu payah untuk menyampaikan keinginan. Kami terlalu mementingkan perasaan, hingga takut mengatakan secara gambalang, terang-terangan pada yang bersangkutan. Yang kami lakukan, kalian anggap sebagai suatu kode yang menyusahkan, tapi sungguh, kami lakukan itu justru karena ingin menghargai perasaan kalian. Begitu juga aku terhadap kamu. Tapi mungkin bagimu, aku yang paling menyusahkan diantara yang menyusahkan.

"Perempuan itu menyampaikan perasaannya melalui siratan. Melalui perhatian kecilnya, melalui tatapan malunya, melalui senyum kakunya, melalui gerak kikuknya, melalui tulisan spontannya, bahkan melalui sikap "cuek"nya. sayangnya, kaum laki-laki terkadang sulit mengartikan itu sebagai isyarat.
Maka, perempuan tak perlu menyalahkan laki-laki yang "tidak mengerti", begitu juga laki-laki yang tidak usah menuntut perempuan "berterus terang".
Biarlah ia menjadi "seni" yang Allah anugerahkan kepada ciptaan-Nya. Yang perlu dicatat, Allah menciptakan makhluk-Nya berpasang2an dan Allah sesuaikan satu sama lain." 

Kamu, aku masih ingat pesan-pesanmu untukku.
"Jangan lupa sarapan. Jangan telat makan"
"Jangan minum kopi lagi. Susu aja. Banyak minum air putih"
"Jangan lupa bawa payung"
"Hati-hati dijalan, disini mendung"
"Jangan begadang"
"Jangan sering makan mie"
"Jangan sering baca sambil tiduran"
"Jangan lupa shalat"
"Udah juz berapa hari ini?"
"Jangan pakai jilbab yang dimacam-macam-in ah. Yang biasa aja."
"Kalau telpon, bilang 'assalamualaikum', bukan 'halo'"
"Berdoa dulu sebelum makan"
"Jangan kebanyakan jajan"
Dan hal-hal kecil lainnya.

Kamu aku juga masih simpan foto-foto kamu, gambar-gambar kamu, lagu, tulisan-tulisan kamu, atau tulisan yang sering aku tulis dikertas buat kamu, apapun itu. Aku juga masih ingat kebiasaan kamu, mengejar waktu hanya untuk bisa sekedar bertemu kamu sesingkat mungkin, cara kamu tersenyum, cara kamu sebal padaku, memanggil ku, cara kamu melindungi aku. Tentu aku masih ingat.

Karena itulah setiap kalinya aku bertanya pada Tuhan dengan kata-kata yang sama terus-terusan, "Apa dia masih ingat padaku? Kebiasaan aku? Rindukah dia padaku? Kalau tidak, aku sungguh minta maaf, karena aku belum mampu menghilangkan itu semua."

Aku terus belajar untuk menjadi wanita yang baik, mungkin kamu tidak mau lagi, tapi suatu saat nanti jika Tuhan menghendaki aku dengan orang lain, aku tetap harus jadi wanita yang hebat, bukan?

 "Jangan mencari kekasih yang sempurna.  Terimalah dia yang mencintaimu dengan semua ketidak-sempurnaanmu. Itulah cinta." - Mario Teguh

Kamu, temanku juga banyak yang begitu. Ditinggal lalu Tuhan menghendaki mereka untuk bertemu kembali. Bukan, aku tidak muluk-muluk ingin seperti itu juga, meskipun tidak munafik aku juga berharap hal yang sama akan terjadi padaku. Tapi harapanku jauh lebih sederhana, "semoga besok kamu hubungi aku." Kalau besoknya belum juga terjadi, aku ulangi doa yang sama, seterusnya, seterusnya.

Teman-temanku yang diberi takdir seperti itu, sungguh, berbahagialah mereka. Aku jutsru memandang bahwa mereka hanya butuh "waktu" untuk sadar bahwa satu sama lain betul-betul saling membutuhkan. Mereka hanya butuh waktu untuk mendewasakan diri mereka, hanya saja, selama waktu itu hati mereka akan tetap sama. Bukan tentang tidak bisa move on kalau kata orang-orang.

Aku juga tidak bisa memunafikkan diri untuk ingin seperti itu. Bukan hal baru jika bahkan dulu saat lagu "perahu kertas" muncul, aku setel berulang-ulang sebagai pengantar tidur, mantra ajaib peneguh hati agar tetap selalu percaya dengan semua usahaku selama ini dan itu tidak akan sia-sia.
Bukan hal baru ketika aku memutuskan justru mengukuhkan setiap kenangan dalam tulisan yang aku buat dalam sebuah buku tersendiri.
Bukan hal baru ketika setiap ada kesempatan mengecek sosial media kamu yang sayangnya pula tidak aktif sekian lama dan aku gagal memperoleh informasi baru tentangmu.

"Ku bahagia, kau telah terlahir di dunia.. Dan kau ada, diantara miliaran manusia..."

Karena bagiku, menunggumu, mengharapkanmu, mencintaimu dari dulu hingga saat ini bukan suatu hal yang menyulitkan. Punya perasaan ini sekalipun tidak berbalas tapi aku bersyukur. Bersyukur dalam hal bahwa aku bangga pada diriku sendiri untuk belajar setia. Bersyukur bahwa aku mencintai orang yang baik karena aku percaya kamu orang baik. Bersyukur karena Tuhan menemani aku selama bertahun-tahun ini hingga akhirnya dipertemukan kembali.
Meskipun kamu menghilang lagi untuk kedua kalinya.





“They say a person needs just three things to be truly happy in this world: someone to love, something to do, and something to hope for.” - Anonim

Iya, bagiku, padamu aku jatuh cinta  tanpa dibuat-buat, jatuh hati tanpa alasan, menjadi diri sendiri, tanpa berpura-pura.
Iya, bagiku, jika tiga hal bahagia itu ada, semuanya untuk kamu. Bisa mencintai dan dicintai kamu, melakukan berbagai hal bersamamu, dan memiliki harapan-harapan bersamamu juga.

Kamu, apa kabar?
Sungguh munafik jika aku tidak bilang "aku rindu kamu". Semoga Tuhan sampaikan salam rinduku padamu lagi, biarlah tidak berbalas lagi, tapi semoga Dia betul-betul menyampaikan. Entah dalam mimpi-mimpimu atau dalam hal saat kamu sedang menggapai harapan-harapanmu.
One day, we'll just be a memory to some people. Do your best to be a good one, bukan?

Boleh ku katakan sesuatu lagi?
Sesulit apapun yang kamu lakukan padaku, bagiku, aku memang "apa-apa". Tapi percayalah.
Aku tidak membencimu. Sungguh. Titik.

Senin, 08 September 2014

Rasakan Saja; Menata Hati - Kak Nazrul Anwar *Repost*


Rasakan Saja
=============

Andai saja pilihan itu ada, tentu aku akan memilih untuk melupakanmu. Membuangmu jauh-jauh dari sudut ingatanku. Mengingatmu membuatku semakin resah, tapi melupakanmu bukanlah perkara yang cukup mudah. Namun apa daya, kebingunganganku menyudutkanku pada kondisi tanpa pilihan selain mengingatmu, walaupun mengingatmu adalah perkara yang tak selayaknya.


***

Harusnya, aku tak perlu kehilangan jutaan detik yang berharga hanya untuk bersia-sia, terjebak dalam bingungnya perasaan terhadapmu; jika sedari dulu aku mengerti bahwa hati tidak ditugaskan untuk memilih. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang sahabatku, walaupun aku menyesal kenapa baru mendengarnya setelah semua ini terjadi.

"Hati tak perlu memilih, hati selalu tahu apa yang harus dirasa. Terlepas dari benar atau salah perasaan itu. Kalau kamu suka, rasai saja. Tak perlu berpaling dari perasaan sendiri. Kalau kamu benci, rasai saja. Tak perlu berpura-pura untuk menyukai apa yang kamu benci. Apalagi memaksa menyukai apa yang sebenarnya tidak kamu suka. Memaksa hanya akan membuat hatimu semakin luka. Termasuk memaksa untuk melupakannya. Jadi kalau hatimu bilang ingin mengingatnya, ingat saja tentangnya."

"Jadi tak masalah kalaupun perasaan itu salah?"

"Hati tak pernah tahu apa yang dirasanya itu benar atau salah. Karena hati diciptakan untuk merasa, bukan untuk berfikir tentang benar atau salah. Hati hanya bisa jujur, jujur terhadap apa yang dirasanya. Walaupun itu salah, walaupun itu bertentangan dengan kaidah baik-buruk sunatullah yang sudah dipaketkan Tuhan untuk dikenal oleh hati nurani. Hati tidak bisa berbohong. Tapi hati sangat bisa untuk salah. That`s why, selain menciptakan hati, Tuhan juga memberikan akal untuk berfikir, untuk mempertimbangkan baik-buruknya, untuk menentukan benar-salahnya. Gunakan juga itu, jangan hanya menggunakan hati saja."

"Jadi, aku harus gimana?"

"Rasakan saja apa yang harus dirasakan. Rasakan saja apa yang ingin hatimu rasakan. Entah itu suka, benci, atau mungkin rindu. Dengan begitu hatimu menjadi lega. Tapi sebelum melampiaskan perasaan kamu, sebelum mengungkapkannya, sebelum mengekspresikannya, jangan lupa gunakan akal kamu untuk berfikir tentang cara yang baik dan benar bagaimana melampiaskannya. Gunakan akal kamu untuk menata hati kamu, agar bisa meluruskan perasaan yang salah, atau perasaan yang tidak pada tempatnya."

***

Well, aku memang masih belum bisa melupakanmu. Aku juga tak bisa memaksa hatiku untuk melupakanmu. Dan ternyata aku tak perlu punya pilihan untuk melupakannmu. Barangkali juga untuk urusan hidup yang lainnya; kita tak perlu bingung dengan pilihan kalau kita sudah punya keinginan yang sungguh-sungguh. Dan sekarang, aku benar-benar tidak ingin melupakanmu.

___ Menata Hati, Nazrul Anwar

Jumat, 05 September 2014

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 17


Tidakkah kau mendengar?
Aku yang setia memanggilmu...
Tidakkah kau melihat?
Aku yang setia menunggumu...
Tidakkah kau merasa?
Aku yang setia menyemangatimu...
Tidakkah semua itu sampai padamu?
Tapi aku akan menjadi seperti aku...
Merelakan yang "dipanggil" untuk menjadi pergi...
Merelakan yang "ditunggu" untuk menjadi jauh...
Merelakan yang "disemangati" perlahan hilang...
Dan aku hanya bisa memastikan aku akan lebih baik...
Berterima kasih atas kehadirannya disini untuk sementara...*


***

Karena mencintai seseorang itu bukan tentang kesempatan, sama sekali bukan layaknya permainan, yang kalau kesempatannya habis, maka habislah sudah rasa cintanya. Karena mencintai seseorang itu tentang komitmen dan kepercayaan. Kepercayaan bahwa diluar sana banyak orang lain, diluar sana kita tidak saling memantau-mengetahui perbuatan satu sama lainnya, tetap saling percaya bahwa hatinya tidak akan berpaling, tidak akan mengkhianati satu sama lainnya. Tidak ada. Kecuali ketika salah satu dari kita betul-betul melakukan hal yang sangat tidak baik. Seperti cintanya ayah kepada ibu kita ataupun sebaliknya.

"Kalau begitu, dia belum dewasa. Tuhan tunjukkan terlebih dahulu sama kamu, kalau dia bukan yang terbaik."

Aku hanya diam. Tidak mampu berkata-kata, yang keluar hanya air mata.

"Kita semua pernah ngerasain itu, dikecewakan, dikhianati, hal-hal yang sama sekali tidak pernah kita harap itu akan terjadi. Tapi sebenarnya itu diberikan sama Tuhan, supaya kita naik kelas. Kamu akan jadi wanita yang jauh lebih berkelas dimataNya."

"Tapi aku juga nggak tau, salah aku apa. Tiba-tiba aku harus merasakan hal macam seperti ini. Kesannya, aku betul-betul nggak layak untuk laki-laki yang aku perjuangkan."

Dia, ibu terbijak yang hanya ingin aku miliki satu-satu nya didunia, menatap mataku dalam-dalam, lagi-lagi aku menangis. "Bahkan anak sendiri yang merasakannya, anak perempuannya, itu juga terasa sakit buat ibu. Sekalipun ibu nggak tahu kamu punya masalah apa, tapi ibu tahu kalian sama-sama dewasa. Ada cara yang jauh lebih bijak untuk menyelesaikan setiap permasalahan. "

"Tapi aku cuma takut aku punya salah, dia dendam sama aku sampai sebegininya. Aku justru ngerasa nyalahin diri sendiri terus. Aku nggak tau aku salah apa."

"Setidaknya kamu sudah minta maaf. Dia mau memaafkan kamu atau tidak, itu urusannya dengan Tuhan."
Lagi-lagi yang keluar hanya air mata.

"Kamu sayang banget sama dia, ya?"
Aku memejamkan mata, aku tidak mau mengatakan padanya bahwa aku sudah menunggunya bertahun-tahun lamanya. Aku takut beliau lebih menganggap aku wanita yang menyedihkan. "Aku nggak pernah mau main-main, Bu. Sumpah. Makanya aku sendiri punya prinsip, aku ingin bisa membagi hati untuk lawan jenis yang mau menghapalkan surat Al-Quran yang aku minta. Apa aku masih terlihat main-main?"

Ibuku kembali menatapku, mungkin dia baru tahu prinsip anak perempuannya yang seperti ini. Dia terlihat memandang langit-langit rumah, lantas berkata, "Kalau begitu, biar dia yang rugi sudah meninggalkan kamu sendiri."

"Kalau justru aku yang rugi?"

"Kamu mencintainya karena Tuhan kan?"

Lagi-lagi dijawab dengan air mata ku. Aku mengangguk. "Kalau bukan aku percaya pada Tuhan suatu saat nanti aku akan dipertemukan lagi olehnya, kalau bukan aku percaya pada Tuhan bahwa aku tidak peduli seperti apa kondisinya saat bersama aku, kalau bukan aku percaya pada Tuhan, mungkin aku sudah menyerah, mungkin aku sudah memilih kalah. Jauh. Jauh dari dulu."

"Karena itulah, tidak akan ada yang sia-sia, sayang. Tidak ada. Mungkin orang lain tidak lihat perjuangan kamu, tapi Dia melihat. Sebesar itukah kamu mencintainya?"

Kali ini hanya dijawab dengan isakan. Sungguh kali ini aku tidak kuat.

"Menangislah. Bagi wanita, menangis itu bukan pertanda dia cengeng atau dia lemah, justru pada saat itulah dia berada pada titik yang paling kuat, mampu menahan semua yang dia rasa dengan perasaannya sendiri, bukan emosi."

"Percuma kalau laki-laki tidak tahu teori itu, Bu. Mereka akan tetap menganggap kita makhluk yang menyusahkan, sulit ditebak, cengeng, egois, bukan begitu?"

Ibuku menghela napas panjang. Aku tahu hidupnya. Aku tahu sesungguhnya aku tak layak untuk bercerita tentang hal ini seakan-akan aku sebegitu menyedihkannya. Karena hidupnya jauh lebih berat. Aku tahu.
"Tidak apa-apa. Lelaki dewasa dan bijak, akan tahu teori itu."

"Berarti ayah juga tidak dewasa dan bijak?"

Dia memegang tanganku, "Ayahmu lelaki yang dewasa dan bijak, sayang. Jangan pernah berpikiran negatif padanya."

"Ibu bilang, hanya laki-laki yang dewasa dan bijak yang tahu teori itu. Nyatanya?"

"Ibu telah memilih dia sampai mati, dan dia juga telah memilih ibu. Sini biar ibu kasih tahu. Nak, ketika laki-laki dan perempuan sudah memutuskan untuk bersama selamanya, ada komitmen untuk keduanya. Pada saat itu, akan ada masalah-masalah yang jauh lebih rumit dan lebih membuat emosi satu sama lain, tapi, itulah tadi. Sebelumnya kalian harus merasakan dahulu, susahnya pola pikir, logika, dan perasaan antar lawan jenis seperti apa. Kalau kalian sudah yakin mampu melewati semuanya, katakanlah "siap" untuk masa depan. Dan sekarang? Laki-lakimu belum siap. Belum, sayang. Maka dia memilih mundur dari kamu, dan itu artinya kamu setidaknya sudah dibebaskan dari hal-hal yang belum serius. Persoalan ayah dan ibumu, berbeda. Ibu siap mendapat perlakuan apapun dari ayahmu, selama itu tidak berhubungan dengan fisik dan omongan negatif orang lain terhadap kami berdua. Begitu pula ayahmu."

"Ibu terlalu teori."

"Bukan teori, sayang. Ketika kamu mengatakan kamu serius pada orang lain, belum tentu yang "diseriusi" juga akan melakukan hal yang sama. Kalau dia juga serius denganmu, dia tidak akan pernah menganggap sebuah permasalahan kecil menjadi besar, atau bahkan seenaknya sendiri mencari-cari masalah untuk dijadikan bahan pertengkaran. Cinta itu saling memaafkan."

"Sekalipun tidak diucapkan? Lalu tahu darimana kalau sudah saling memaafkan?"

"Mata. Berterima kasihlah Tuhan sudah berikan anugerah luar biasa hebatnya itu. Ketika orang tidak bisa mengatakan apa-apa, lihat saja matanya. Dan ibu tahu, ayahmu memaafkan ibu. Begitu juga ibu."

Sosok disampingku ini begitu kuat. Sungguh.

"Karena itulah, menangis bukan suatu hal yang dilarang. Andai para pria tahu, bahwa ngambek dan menangis itu adalah kodrat seorang wanita, Andai para pria tahu, sesungguhnya yang dibutuhkan wanita hanya sederhana, hanya butuh dimengerti dan dipedulikan saja. Soal mapan, ganteng, keren, dan sebagainya itu hal-hal yang diinginkan wanita. Butuh dan ingin itu berbeda kan? Beruntunglah para wanita, karena berkat air matanya, kita bisa terus meningkatkan diri dan belajar untuk bersikap dewasa dan menjadi pribadi yang semakin kuat."

Sekali lagi, air mataku luruh.

"Bu, lantas apa yang harus aku lakukan? Menghindar? Menyerah begitu saja? Menangis setiap hari-setiap malam?"

"Wanita cerdas tidak akan pernah menghindar, sayang. Cam kan itu. Kamu tahu? Shalat istikharahlah kurang lebih seminggu sampai 10 hari kepada Allah. Minta padaNya, apakah kamu akan tetap diberikan kesempatan untuk bersama dia atau tidak. Apakah setelah selama itu perasaan kamu masih tetap sama tak kurang sedikitpun atau tidak. Kalau hasilnya baik, laki-laki yang kamu cintai itu juga akan merasakan hal yang sama denganmu. Jika tidak, ikhlaskanlah. Semua akan ada pengganti yang lebih baik. Jauh lebih baik. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Kamu tidak salah. Kamu juga tidak sia-sia dalam memperjuangkan perasaan kamu."

Aku tersenyum. "Hadits bu?"
Ibu tertawa, "Bukan. Tapi jelas salat istikharah akan membuat jiwa hamba-hamba Tuhan menjadi jauh lebih tenang. Mengadulah padaNya, Dia tempat sebaik-baik tempat untuk mengadu."

Aku menghela napas, "Baiklah."

"Shalat gih. Sudah Isya. Semoga kamu kuat, Nak. Jadilah wanita yang kuat."


***

Maka diberkatilah mereka yang tidak takut akan kesendirian, yang tidak gentar berkawan dirinya sendiri, yang tidak senantiasa membutuhkan kegiatan, sesuatu untuk menyenang-nyenangkan diri, sesuatu untuk dihakimi.


Bila tak pernah sendiri, mana mungkin kau mengenal dirimu sendiri. Dan bila tak mengenal dirimu sendiri, kau pun mulai takut akan kekosongan - Paulo Coelho

***

Nb : *Tulisan paling atas itu share dari status FB adik kelas saya. Thanks a lot Diaz Erlangga, for the sweet and nice words that you write on Facebook Status.