Aku yang setia memanggilmu...
Tidakkah kau melihat?
Aku yang setia menunggumu...
Tidakkah kau merasa?
Aku yang setia menyemangatimu...
Tidakkah semua itu sampai padamu?
Tapi aku akan menjadi seperti aku...
Merelakan yang "dipanggil" untuk menjadi pergi...
Merelakan yang "ditunggu" untuk menjadi jauh...
Merelakan yang "disemangati" perlahan hilang...
Dan aku hanya bisa memastikan aku akan lebih baik...
Berterima kasih atas kehadirannya disini untuk sementara...*
***
Karena mencintai seseorang itu bukan tentang kesempatan, sama sekali bukan layaknya permainan, yang kalau kesempatannya habis, maka habislah sudah rasa cintanya. Karena mencintai seseorang itu tentang komitmen dan kepercayaan. Kepercayaan bahwa diluar sana banyak orang lain, diluar sana kita tidak saling memantau-mengetahui perbuatan satu sama lainnya, tetap saling percaya bahwa hatinya tidak akan berpaling, tidak akan mengkhianati satu sama lainnya. Tidak ada. Kecuali ketika salah satu dari kita betul-betul melakukan hal yang sangat tidak baik. Seperti cintanya ayah kepada ibu kita ataupun sebaliknya.
"Kalau begitu, dia belum dewasa. Tuhan tunjukkan terlebih dahulu sama kamu, kalau dia bukan yang terbaik."
Aku hanya diam. Tidak mampu berkata-kata, yang keluar hanya air mata.
"Kita semua pernah ngerasain itu, dikecewakan, dikhianati, hal-hal yang sama sekali tidak pernah kita harap itu akan terjadi. Tapi sebenarnya itu diberikan sama Tuhan, supaya kita naik kelas. Kamu akan jadi wanita yang jauh lebih berkelas dimataNya."
"Tapi aku juga nggak tau, salah aku apa. Tiba-tiba aku harus merasakan hal macam seperti ini. Kesannya, aku betul-betul nggak layak untuk laki-laki yang aku perjuangkan."
Dia, ibu terbijak yang hanya ingin aku miliki satu-satu nya didunia, menatap mataku dalam-dalam, lagi-lagi aku menangis. "Bahkan anak sendiri yang merasakannya, anak perempuannya, itu juga terasa sakit buat ibu. Sekalipun ibu nggak tahu kamu punya masalah apa, tapi ibu tahu kalian sama-sama dewasa. Ada cara yang jauh lebih bijak untuk menyelesaikan setiap permasalahan. "
"Tapi aku cuma takut aku punya salah, dia dendam sama aku sampai sebegininya. Aku justru ngerasa nyalahin diri sendiri terus. Aku nggak tau aku salah apa."
"Setidaknya kamu sudah minta maaf. Dia mau memaafkan kamu atau tidak, itu urusannya dengan Tuhan."
Lagi-lagi yang keluar hanya air mata.
"Kamu sayang banget sama dia, ya?"
Aku memejamkan mata, aku tidak mau mengatakan padanya bahwa aku sudah menunggunya bertahun-tahun lamanya. Aku takut beliau lebih menganggap aku wanita yang menyedihkan. "Aku nggak pernah mau main-main, Bu. Sumpah. Makanya aku sendiri punya prinsip, aku ingin bisa membagi hati untuk lawan jenis yang mau menghapalkan surat Al-Quran yang aku minta. Apa aku masih terlihat main-main?"
Ibuku kembali menatapku, mungkin dia baru tahu prinsip anak perempuannya yang seperti ini. Dia terlihat memandang langit-langit rumah, lantas berkata, "Kalau begitu, biar dia yang rugi sudah meninggalkan kamu sendiri."
"Kalau justru aku yang rugi?"
"Kamu mencintainya karena Tuhan kan?"
Lagi-lagi dijawab dengan air mata ku. Aku mengangguk. "Kalau bukan aku percaya pada Tuhan suatu saat nanti aku akan dipertemukan lagi olehnya, kalau bukan aku percaya pada Tuhan bahwa aku tidak peduli seperti apa kondisinya saat bersama aku, kalau bukan aku percaya pada Tuhan, mungkin aku sudah menyerah, mungkin aku sudah memilih kalah. Jauh. Jauh dari dulu."
"Karena itulah, tidak akan ada yang sia-sia, sayang. Tidak ada. Mungkin orang lain tidak lihat perjuangan kamu, tapi Dia melihat. Sebesar itukah kamu mencintainya?"
Kali ini hanya dijawab dengan isakan. Sungguh kali ini aku tidak kuat.
"Menangislah. Bagi wanita, menangis itu bukan pertanda dia cengeng atau dia lemah, justru pada saat itulah dia berada pada titik yang paling kuat, mampu menahan semua yang dia rasa dengan perasaannya sendiri, bukan emosi."
"Percuma kalau laki-laki tidak tahu teori itu, Bu. Mereka akan tetap menganggap kita makhluk yang menyusahkan, sulit ditebak, cengeng, egois, bukan begitu?"
Ibuku menghela napas panjang. Aku tahu hidupnya. Aku tahu sesungguhnya aku tak layak untuk bercerita tentang hal ini seakan-akan aku sebegitu menyedihkannya. Karena hidupnya jauh lebih berat. Aku tahu.
"Tidak apa-apa. Lelaki dewasa dan bijak, akan tahu teori itu."
"Berarti ayah juga tidak dewasa dan bijak?"
Dia memegang tanganku, "Ayahmu lelaki yang dewasa dan bijak, sayang. Jangan pernah berpikiran negatif padanya."
"Ibu bilang, hanya laki-laki yang dewasa dan bijak yang tahu teori itu. Nyatanya?"
"Ibu telah memilih dia sampai mati, dan dia juga telah memilih ibu. Sini biar ibu kasih tahu. Nak, ketika laki-laki dan perempuan sudah memutuskan untuk bersama selamanya, ada komitmen untuk keduanya. Pada saat itu, akan ada masalah-masalah yang jauh lebih rumit dan lebih membuat emosi satu sama lain, tapi, itulah tadi. Sebelumnya kalian harus merasakan dahulu, susahnya pola pikir, logika, dan perasaan antar lawan jenis seperti apa. Kalau kalian sudah yakin mampu melewati semuanya, katakanlah "siap" untuk masa depan. Dan sekarang? Laki-lakimu belum siap. Belum, sayang. Maka dia memilih mundur dari kamu, dan itu artinya kamu setidaknya sudah dibebaskan dari hal-hal yang belum serius. Persoalan ayah dan ibumu, berbeda. Ibu siap mendapat perlakuan apapun dari ayahmu, selama itu tidak berhubungan dengan fisik dan omongan negatif orang lain terhadap kami berdua. Begitu pula ayahmu."
"Ibu terlalu teori."
"Bukan teori, sayang. Ketika kamu mengatakan kamu serius pada orang lain, belum tentu yang "diseriusi" juga akan melakukan hal yang sama. Kalau dia juga serius denganmu, dia tidak akan pernah menganggap sebuah permasalahan kecil menjadi besar, atau bahkan seenaknya sendiri mencari-cari masalah untuk dijadikan bahan pertengkaran. Cinta itu saling memaafkan."
"Sekalipun tidak diucapkan? Lalu tahu darimana kalau sudah saling memaafkan?"
"Mata. Berterima kasihlah Tuhan sudah berikan anugerah luar biasa hebatnya itu. Ketika orang tidak bisa mengatakan apa-apa, lihat saja matanya. Dan ibu tahu, ayahmu memaafkan ibu. Begitu juga ibu."
Sosok disampingku ini begitu kuat. Sungguh.
"Karena itulah, menangis bukan suatu hal yang dilarang. Andai para pria tahu, bahwa ngambek dan menangis itu adalah kodrat seorang wanita, Andai para pria tahu, sesungguhnya yang dibutuhkan wanita hanya sederhana, hanya butuh dimengerti dan dipedulikan saja. Soal mapan, ganteng, keren, dan sebagainya itu hal-hal yang diinginkan wanita. Butuh dan ingin itu berbeda kan? Beruntunglah para wanita, karena berkat air matanya, kita bisa terus meningkatkan diri dan belajar untuk bersikap dewasa dan menjadi pribadi yang semakin kuat."
Sekali lagi, air mataku luruh.
"Bu, lantas apa yang harus aku lakukan? Menghindar? Menyerah begitu saja? Menangis setiap hari-setiap malam?"
"Wanita cerdas tidak akan pernah menghindar, sayang. Cam kan itu. Kamu tahu? Shalat istikharahlah kurang lebih seminggu sampai 10 hari kepada Allah. Minta padaNya, apakah kamu akan tetap diberikan kesempatan untuk bersama dia atau tidak. Apakah setelah selama itu perasaan kamu masih tetap sama tak kurang sedikitpun atau tidak. Kalau hasilnya baik, laki-laki yang kamu cintai itu juga akan merasakan hal yang sama denganmu. Jika tidak, ikhlaskanlah. Semua akan ada pengganti yang lebih baik. Jauh lebih baik. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Kamu tidak salah. Kamu juga tidak sia-sia dalam memperjuangkan perasaan kamu."
Aku tersenyum. "Hadits bu?"
Ibu tertawa, "Bukan. Tapi jelas salat istikharah akan membuat jiwa hamba-hamba Tuhan menjadi jauh lebih tenang. Mengadulah padaNya, Dia tempat sebaik-baik tempat untuk mengadu."
Aku menghela napas, "Baiklah."
"Shalat gih. Sudah Isya. Semoga kamu kuat, Nak. Jadilah wanita yang kuat."
***
Maka diberkatilah mereka yang tidak takut akan kesendirian, yang tidak gentar berkawan dirinya sendiri, yang tidak senantiasa membutuhkan kegiatan, sesuatu untuk menyenang-nyenangkan diri, sesuatu untuk dihakimi.
Bila tak pernah sendiri, mana mungkin kau mengenal dirimu sendiri. Dan bila tak mengenal dirimu sendiri, kau pun mulai takut akan kekosongan - Paulo Coelho
***
Nb : *Tulisan paling atas itu share dari status FB adik kelas saya. Thanks a lot Diaz Erlangga, for the sweet and nice words that you write on Facebook Status.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar