Rabu, 15 April 2015

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 21- End

Hai. Sudah berapa lama? Aku bahkan sampai lupa waktu, seberapa lama aku mempertahankan semuanya dengan rasa yang masih sama, tak berkurang sedikitpun. Sekalipun aku sadar, dirimu pun telah lama mengesahkan bahwa semua tidak akan pernah berlanjut lagi. Dalam bentuk apapun, dalam kesempatan apapun.

Kuatkah kamu disana? Ah, betul. Waktu begitu cepat berlalu dan aku rasa bagimu melupakan semuanya juga begitu cepat. Lenyap. Tanpa bekas. Pasalnya, bagiku lagi-lagi itu tidak mudah. Aku telah terlalu banyak menghabiskan kenangan sambil menunggu waktu yang tepat, hingga saatnya tiba, ternyata semua tidak seperti yang aku impikan. Kehadiranmu tak pernah lagi kujumpai. Sampai sekarang.

Aku bahkan kamu saling berbagi cerita, sedekat itu, bahkan untuk terakhir kalinya pun kamu katakan, pertemanan akan tetap diusahakan. Bagimu itu tetap paling yang terpenting. Tidak akan pernah hilang biar saja perasaan yang menghilang. Kenyataannya, aku menelan itu sendirian, seakan-akan dirimu amnesia atau bahkan sedetikpun belum pernah mengenalku, tentang semuanya. Kamu tidak secara gamblang katakan untuk menjauhiku, tapi yang aku temui adalah diriku tak diberi kesempatan untuk dekat seperti dulu.

Demi Tuhan, melihat sosok dengan jaket, jam tangan, dan tas selempang kecil dihadapanku membuyarkan ketangguhan air mataku lagi. Apa kamu sehat? Baik-baik saja kah? Terakhir kamu doakan aku untuk bisa mendapatkan pekerjaan baru yang aku inginkan, dan belum sempat aku ceritakan padamu, tapi aku berhutang doa padamu, bisa jadi doamu salah satu doa-doa yang dia kabulkan untukku.Demi apapun, aku tetap mendoakanmu sampai detik ini.

Mungkin kehadiranku dalam hidupmu justru mengacaukan semua rencana indah yang kamu siapkan. Perjumpaan kita pun, yang aku tahu itu takdir Tuhan, lantas aku bisa apa jika yang aku rasakan memang murni datang dengan sendirinya tanpa dibuat-buat, tanpa dipaksa? Destiny can’t be changed. Nggak akan pernah bisa berubah. Mungkin kita hanya sekedar dipertemukan, bukan dipersatukan. Sekalipun aku harus kehilanganmu untuk kedua kalinya dan mungkin pula ini untuk yang selamanya.

Ketahuilah, aku bahkan tak pernah bisa membencimu. Sedikitpun. Apapun yang sudah kamu lakukan padaku, entah rasanya itu tidak berhasil pula menjadi alasan untuk membenci. Iya, Sedetik waktu bersamamu adalah keniscayaan akan rasa bahagia. Sungguh aku merindukanmu meski aku tahu dirimu telah ada di sudut yang paling jauh dari pandanganku. Keinginanku yang terus menjadikan “harapan” hati untuk berteriak, “jangan menyerah! Sebentar lagi kamu bakal dipertemukan lagi kok!”, sejenis keinginan untuk bisa menjadi sosok yang terus bisa mendampingimu, menyemangatimu dalam meraih impian-impianmu, yang siap merengkuhmu jika kamu lelah dan jatuh, yang siap membelamu jika kamu tersudut, aku rasa, mau tidak mau aku harus menghapusnya. Sedikit demi sedikit. Secara permanen.

Memunculkan sosokmu dalam pikiranku selalu membuat dadaku sesak. Sesak karena aku gagal memenuhi impianku. Sesak karena sesungguhnya aku bukanlah akhir dari perjalananmu. Maafkan aku jika tidak berani mengeluarkan perasaan secara langsung padamu, diriku memang seperti ini. Payah. Tapi ketahuilah, terkadang kata-kata yang kutulis adalah tentang doa dan harapan untuk bahagiamu yang tak mampu aku ucapkan.

Tidak apa.

Kau tahu?
Aku berterima kasih padamu. Karenamu aku memang terjatuh, namun Tuhan juga membangkitkan aku. Karenamu aku paham, cinta ini tumbuh karena-Nya dan datang dari-Nya. Dia berikan kejadian ini untuk membangunkanku bahwa cinta-Nya jauh lebih besar, jauh lebih luas untukku.

Kau tahu?
Bagimu aku bisa jadi tampak bodoh tapi aku berterima kasih padamu. Kamu menyadarkanku bahwa Tuhan sesungguhnya mungkin telah siapkan yan terbaik untukku dan pastinya untukmu juga. Yang akan mau menghargaiku sebagai wanita, yang akan menganggapku sebagai wanita yang harus dia jaga kehormatannya. Bukan yang seharusnya aku kejar hingga tega menyakiti hati sendiri yang bahkan dirimu sendiri tak ingin aku kejar, tak ingin aku pertahankan.

Kamu tahu?
Terima kasih telah menghilang dan pergi dariku meskipun aku merindukanmu. Kepergianmu menyadarkan aku agar terus menjadi wanita yang hebat. Mengalami penolakan bukan suatu hal yang baru untukku, bahkan dari kecil aku sudah merasakannya. Memiliki perasaan terhadap orang lain pun sungguh bukan suatu hal yang mudah bagiku dengan “takdir kepribadian” ini. Bahkan menunggu selama itu demi apapun bukan suatu hal yang mudah dilakukan dan bukan hal mudah pula untuk diupakan saat ini. Tapi dengan kepergianmu lah mengingatkan aku pada Tuhan. Kepergianmu mendekatkan aku pada-Nya, bahwa apapun yang akan terjadi nanti padaku dan padamu adalah jalan yang terbaik dari-Nya. Jika memang takdir-Nya, aku yakin kita akan dipertemukan lagi untuk terkahir kalinya dan selama-lamanya untuk sebenar-benarnya bersama. Destiny can’t be changed, right. Dan jika ada kesempatan seperti itu lagi, maukah kamu ‘meyakinkannya’ untuk kali itu?

Kamu tahu?
Terima kasih atas semua waktumu bersamaku.
Aku jauh lebih bahagia mencintai-Nya.
Sekarang.

(1 April 2015)

Minggu, 22 Maret 2015

Titik Tanpa Koma



Lewat sajak-sajak senja yang memanggilku
mesra menyentuh relung jiwa yang telah terdiam begitu lama
Aku berdiri disini, menikmatinya
tanpa interupsi biarkan senja melakukan semaunya sendiri

Sehitung waktu dalam keheningan aku sempat menggila
Ragu tanpa aba-aba
menghilang segala sesuatunya tanpa diminta
Tapi apa yang kunamakan cinta telah terlanjur memakan diriku
akalku
harapan-harapanku
Hingga sekuat apapun aku mencoba melupakan langit
Percuma tak akan mau membantu

Rapuh,
Kalut,
Ratap.
Lantas apa lagi yang bisa diperbuat
Jika Tuhan berikan jalan tak dinyana apapun pula harus diterima
Ikhlas
Bukankah sesudah kesulitan Dia janjikan kemudahan?

Berlatarkan langit jingga dengan rasa rela
Kesadaranku pulih, air mataku menderas
Tertampar keras
Bahwa Ia tegurkan padaku, cinta-Nya jauh lebih besar dari cinta makhluklainnya
Sekalipun cinta pada makhluk-Nya tidak pernah salah
Tapi logika mengatakan,
“bukankah suatu kesalahan ketika aku jauh lebih mencintai makhluk-Nya?”

Senja,
Sampaikan maaf yang sudah seharusnya
dan kata yang ingin kusampaikan
Aku mencintai Tuhanku tanpa koma,
Titik.

Senin, 09 Maret 2015

Islamic Calligraphy - 4 - Q.S An-Naml (27) : 40



This Islamic Calligraphy made by me on March 01st 2015.

***
Q.S An-Naml (27) : 40

"Hadza min fadhli rabbi".

Ada satu bahasan yang bikin “nyes” waktu ngumpul kemarin. Saya awalnya ngira, ini sekedar hadits atau kata-kata mutiara hikmah semacam itu, tapi ternyata itu penggalan ayat Q.S An-Naml (27) : 40.

Jadi kalau secara garis besar baca terjemahan dan tafsir, intinya tentang Nabi Sulaiman A.S mau nunjukin kenabiannya ke ratu bilqis. Beliau nanya ke bala tentaranya (yg terdiri dari jin dan manusia), “eh siapa yg bisa bawa singgasana ratu bilqis secepat mungkin?” Dan dari beberapa penawaran, yang paling oke bilang, “saya bisa bawa singgasana itu bahkan sebelum engkau berkedip”. Beliau berdoa kepada Allah dan ternyata benar terjadi.

Lantas Nabi Sulaiman berkata, “Hadza min fadhli rabbi, ini termasuk karunia Rabb-ku”. Tapi beliau ngelanjutin kata-katanya, “yaitu untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk [kebaikan] dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.

Itu sih secara terjemahan nya ya. CMIIW juga.

Tapi yang bikin “nyes” adalah waktu pas ngumpul itu ada yg bilang,

"kadang kita dipuji sedikit sama orang, semisal dibilang pinter lah, cakep lah, aktivis yang beuh gerecep banget lah, atau sesuatu yang hebat-hebatlah, kayaknya adaaa gitu rasa "ih iya, hebat juga ya gue", padahal ya gitu, hadza min fadhli rabbi, kalaupun ada kehebatan yang kita punya, itu asli karunianya Allah. Emang sih mungkin kita usaha juga, tapi tetap ga bakalan bisa kalau bukan Dia yang ngasih kesempatan biar kita "bisa", kan? Tinggal pilih buat bersyukur atau ingkar. Toh kalaupun Dia berkehendak untuk "ngambil" lagi kehebatan kita, yaaa itu hakNya."

Ah. Iya. Hadza min fadhli rabbi. Kita mah nggak ada apa-apanya. Ibarat dikasih pinjem sama yang punya segalanya, yang orang lain anggap kita “bisa ini-itu” pun sebetulnya termasuk karuniaNya, bukan asli milik sendiri.

Sekian. Semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya ya.
:)

Rabu, 25 Februari 2015

Senja dan Kejora - 3

"Ra?"
"Hmm..." Kejora sok sibuk mengetik di laptopnya.
"Ra?"
"Apa, Nja?"
"Ra, masukin uang Rp 500.000,- buat infaq kebanyakan nggak?"
"Iyalah, Nja. Rp 200.000,- aja juga udah banyak banget. Orang-orang malah seringnya kalau nggak seribu, lima ribu, sepuluh ribu, ya ampun, seratus ribu juga jarang, Nja."
"Nah. Tapi kamu pernah mikir kayak gitu ga sama apa aja yang udah Allah kasih ke kita?"

Kejora menghentikan ketikannya. Diam sejenak.
"Iya nggak, Ra?"
Kejora masih diam.
"Ih si Ara diam aja ditanyain juga."
"Njaaaa...Kok kata-katamu "dalem" sih?"
"Dalem apanya? Nggak, Ra. Ini aku juga baru ngeh, kayak abis disentil. Yaaah merenung gitu lah, Ra."

Kejora menghampiri tempat Senja duduk. "Nja, gara-gara omongan kamu, aku baru inget belum infaq hari ini."
"Belum malam, Ra, Masih ada waktu buat infaq. Jalan ke mushala bentar selipin duit juga bisa. Atau kalau nggak, niatin sekarang mau sisihin uang berapa, infaq-in nya barengin sama infaq besok."
Kejora mengangguk-angguk, "Iya ya Nja. Betul juga. Kadang kita suka mikir, ngeluarin duit lima ribu aja buat infaq kayaknya susah banget. Takut banget kayak uang kita di dompet bakalan habis cuma gara-gara ngeluarin duit lima ribu."
Senja ikutan mengangguk. "Iya, Ra. Padahal kalau mau bandingin sama apa yang udah Allah kasih, ya ampun, kita mah nggak bakalan ada apa-apanya, ya Ra. Duit yang kita punya juga Allah yang ngasih. Bahkan mau napas buat bisa hidup aja Allah yang kasih. Kenapa kita malah pelit sama orang lain atau sekedar bersedekah di jalan Allah? Yang punya segalanya aja sama sekali nggak pelit."

"Iya, bener Nja. Padahal kata Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam, bersedekah itu nggak bakalan ngurangin harta(*). Itu juga mungkin ya yang bikin Utsman bin Affan Radhiallahu Anhu yang kaya nya nggak ketulungan, sekalipun dia sedekah sebanyak mungkin dan emang betul-betul karena Allah, hartanya nggak bakalan berkurang, malah makin banyak."
"Iya kah?" tanya Senja penasaran.
"Salah satunya sih waktu itu ceritanya Thalhah bin Ubaidillah r.a mau bayar hutangnya sama Utsman bin Affan r.a, pas mau bayar dan bilang sama Utsman kalau uang nya udah ada, beliau malah bilang ke Thalhah kalau "Udah uangnya buat kamu aja sebagai hadiah kepahlawananmu"(**). Thalhah r.a ngutang sama beliau aja dilepas hutangnya. Lah kita Njaaaa? Adik kita utang aja dua puluh ribu kayak nya dikejar-kejar banget deeeh. Malah suka nyari-nyari orang lain, "Ada yang punya utang sama gue gaaaa?"
Senja tertawa, "Ahahaha. Iya banget ya, Ra. Aku juga doyan banget mikir-mikirin, kira-kira ada yang ngutang ga ya sama aku? Terutama kalau duit lagi cekak."

Kejora mengangguk-angguk, "Iya, kadang juga suka ngerasa, duh sama uang aja kok sebegininya ya, Nja. Ya ampuuun. Malu sama Allah, maruk banget sama duit."
"Padahal hitung-hitungan sama harta pun juga ga baik ya, Ra(***). Itulah kenapa daritadi aku mikir dan nanya begitu, Ra. Kita hitung-hitungan banget sama apa yang kita punya, padahal Allah aja ngasih rezeki ke kita kapanpun dia mau. Nggak pakai hitung-hitungan."
Kejora menghela napas kuat-kuat, "Nja, aku sebetulnya pernah dikasih tahu sama ayah aku, kalau lupa sedekah, bawaannya lagi pengen "pelit" aja, coba baca Q.S Al-Hadid. Nanti kamu bakalan kayak dicubit(****). Tapi dasar aku nya aja yang yaaah bandel gitulah. Ah, payah deh aku."
"Oh iya, Ra? Ayah kamu emang the best lah. Oke nanti ngaji aku baca itu. Aku juga sebetulnya pernah ngeh sih ada hadits yang bilang, "Wahai kaum wanita, bersedekahlah walaupun dengan perhiasan kalian"(*****). Raaaa, kita kan wanitaaaa. Ngeri banget ya kitaaaa."
"Demi apa Njaaaa? Ya ampun, ingetin aku terus Nja kalau aku males banget buat infaq atau lagi pelit banget sama orang ya. Kita kan cewek Njaaaaa, ya ampuuun"

"Ada juga aku pernah diceritain dulu, waktu abis shalat ied, Rasulullah bilang gini ke kaum wanita, 'Wahai kaum wanita, bersedekahlah, karena sesungguhnya kebanyakan dari kalian menjadi bahan bakar api neraka jahanam'. Terus ada yang nanya, 'Kenapa gitu ya Rasul?' Rasulullah jawab, 'Karena kamu banyak mengeluh dan suka membangkang kepada suami.'(******) Raaa, kalau nanti aku dikasih kesempatan nikah, jangan sampai aku kebanyakan ngeluh sama ngebangkang sama suami deh. BAHAN BAKAR API NERAKA JAHANAM, Raaaa..."
"SERIUSAN NJAAA? BAHAN BAKAR API NERAKA JAHANAM? Ya Allah semoga Engkau jodohkan aku dengan laki-laki yang suka bersedekah dan mau ngajarin aku biar nggak ngeluh-ngeluh mulu sama dia. Aamiin."
"Mau nya siapa, Ra? Ahahaha."
"Anja! Seriusan ini do'anya. Tolong aamiin-in."
"Iya aamiin ya Allah. Semoga aku juga dijodohkan dengan laki-laki seperti itu. Soalnya kita kan perempuan ya Allah, banyak khilafnya, makanya semoga engkau jodohkan kita dengan sosok yang mau mengajarkan dan saling belajar tentang kebaikan. Iya nggak, Ra?"
"Kamu mau nya sama siapa, Nja? Hahahaha."
"Ra. ini seriusan juga. Eh, tapi ini do'a nya kayak curhat gini, iya nggak sih?"

Kejora terus tertawa, tapi sambil mencari-cari sesuatu di lemarinya. "Hahaha. Capek ah ketawa mulu. Nja, gimana kalau kita buat konsep sedekah sendiri. Semisalnya bingung mau sedekah kemana, daripada nggak jelas, tiap hari nih ya, kita taruh duit yang kita niatin buat sedekah di kotak ini, terus nanti mungkin tiap seminggu atau dua minggu sekali, baru kita masukin ke masjid atau sedekahin ke amal-amal ZIS yang ada disini. Tapi kalau mau sedekah langsung diluar sih silahkan aja. Ini biar kita makin sering dan banyak-banyakin nyisihin "kefanaan" aja kayak Utsman bin Affan r.a. Iya kaaan?"
"Cerdas banget si Kejora. Boleh-boleh. Taruh aja diatas TV, Ra. Aku mau masukin hari ini. Kamu sekalian aja masukin katanya belum infaq hari ini,"
"Ho oh. Bentar, Nja, doamu tadi buat siapa?"
"Araaaaa!"
"Seriusan, Njaaaa"
"Bodo ah."
"Katanya kalau doa kalau bisa sedetail mungkin Njaaa."
"Bodo. Kamu juga emang buat siapa? Hayooo?"
"Njaaa. Kasih tauuu"
"Nggaaak!"




***

Nb :

(*)
Dari Abu Hurairah r.a bahwasanya Rasulullah bersabda, "Tidaklah sesuatu pemberian sedekah itu mengurangi banyaknya harta. Tidaklah Allah itu menambahkan seseorang akan sifat pengampunannya, melainkan ia akan bertambah pula kemuliaannya. Juga tidaklah seseorang itu merendahkan diri karena mengharapkan keridhaan Allah, melainkan ia akan diangkat pula derajatnya oleh Allah 'Azzawajalla" (H.R Muslim - Riyadhus Shalihin Hadits No. 554)

(**)
Tentang Utsman bin Affan r.a, beliau memang dikenal sebagai salah satu sosok sahabat Nabi SAW yang luar biasa kaya nggak abis-abis. Agak lebay sih bahasa saya, tapi kalau baca-baca kisahnya, emang betulan begitu. Dan memang masih banyak Sahabat Nabi SAW yang juga kaya dan dermawan, semisalnya Abdurrahman bin Auf r.a, beliau juga oke banget, kaya tapi dermawannya minta ampun. Tapi bagi saya Utsman bin Affan paling the best kalau soal tajir, dermawan, sekaligus lemah lembut luar biasa. Kayak udah satu paket buat dia. Beda banget sama manusia jaman sekarang.

"Beliau memiliki akhlak mulia, sangat pemalu, dermawan, dan terhormat, mendahulukan kebutuhan keluarga dan familinya dengan memberikan perhiasan dunia yang fana. Mungkin beliau bermaksud untuk mendorong mereka agar lebih mendahulukan sesuatu yang kekal daripada sesuatu yang fana."

"Diriwayatkan dari Ibnu Jarir bahwa Thalhah r.a datang menemui Utsman bin Affan r.a dluar masjid dan berkata pada beliau, "Uang lima puluh ribu yang dulu aku pinjam sekarang sudah ada, kirimlah utusanmu untuk datang mengambilnya!" Beliau menjawab, "Uang tersebut sudah kami hibahkan untukmu karena kepahlawananmu"

"Dari Abdurrahman bin Samurah bahwa pada suatu hari Utsman bin Affan r.a datang membawa seribu dinar dan meletakannya di kamar Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dosa bagi Utsman setelah dia melakukan ini (diucapkan dua kali)" (Diambil dari Buku Al-Bidayah wan Nihayah - Masa Khulafa'ur Rasyidin; Bagian Khalifah Utsman bin Affan r.a - Pasal Pertama Biografi Utsman bin Affan r.a, Ibnu Katsir)

Oh iya, Utsman bin Affan juga bahkan waktu Ali bin Abi Thalib r.a mau menikah dengan Fatimah Azzahra r.a, beliau membeli pakaian perang Ali seharga 500 dirham. 400 dirham digunakan Ali untuk mas kawin, sedangkan yang 100 nya untuk biaya lain. Nggak lama kemudian, beliau mengembalikan baju perang Ali itu sebagai kado pernikahan. Dan lagi, bahkan saat beliau wafat pun, Ubaidillah bin Utbah memberitakan, beliau masih mempunyai harta yang disimpan penjaga gudangnya, yaitu: 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. dan itu kalau di konversiin dalam rupiah mencapai Rp 7,2 triliun. Keren ya?

(***)
Dari Asma' binti Abu Bakar As-Shiddiq r.a, katanya, "Rasulullah SAW bersabda kepadaku, "Jangan engkau menyimpan apa-apa yang ada di tanganmu, sebab kalau demikian maka Allah akan menyimpan terhadap dirimu - yakni engkau tidak diberi rezeki lagi"
Dalam riwayat lain disebutkan,
"Nafkahkanlah atau berikanlah atau sebarkanlah dan jangan engkau menghitung-hitungnya, sebab kalau demikian maka Allah akan menghitung-hitungkan karunia yang akan diberikan kepadamu. Jangan pula engkau mencegah - menahan untuk memberikan sesuatu, sebab kalau demikian maka Allah akan mencegah pemberianNya padamu" (Muttafaq 'alaih - Riyadhus Shalihin Hadits No. 557)

(****)
Sok atuh lah coba baca terjemahannya Q.S Al-Hadid. Semoga saling mengingatkan juga. :)

(*****)
Diriwayatkan dari Amr bin Al-Harits, dari Zainab istri Abdullah, ia berkata, "Saat itu aku berada di dalam masjid, lalu aku melihat Rasulullah SAW bersabda, "Wahai kaum wanita, bersedekahlah walaupun dengan perhiasan kalian". Saat itu Zainab sudah biasa bersedekah untuk Abdullah dan anak-anak yatim yang ada di rumahnya (dalam pengasuhannya). Kemudian Zainab berkata kepada Abdullah, "Tanyakan kepada Rasulullah SAW, apakah sudah cukup bagiku bersedakh untukmu dan anak-anak yatim yang ada di rumahku?" Abdullah berkata, "Kamu saja yang menanyakan halitu kepada beliau". Kemudian aku berangkat menemui Rasulullah SAW, akupun bertemu dengan seorang wanita dari golongan Anshar yang berada di depan pintu rumah beliau. Urusan wanita Anshar itu sama denganku. Lalu Bilal bin Rabah r.a lewat dihadapan kamu, kemudian kami meminta padanya untuk menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW. Kami meminta Bilal agar tidak memberitahukan perihal kami. Bilal pun masuk ke rumah Rasulullah SAW dan menanyakan hal itu. Lalu Rasulullah SAW bertanya, "Siapa dua orang itu?" Bilal menjawab, "Zainab". Rasulullah Saw bertanya, "Zainab siapa?" Bilal menjawab, "istri Abdullah". Kemudian beliau berkata. "Ya. Cukup. Dan ia mendapatkan dua pahala. Satu pahala sedekah dan satu lagi pahala kekerabatan". (H.R Shahih Bukhari No. 1466)

(******)
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah r.a, dia berkata, "Saya pernah menyaksikan shalat Ied bersama Rasulullah SAW. Beliau memulai hari raya dengan melaksanakan shalat Ied terlebih dahulu kemudian berkhutbah, tanpa adzan dan tanpa iqamah. Kemudian beliau berdiri dengan berpegangan kepada Bilal bin Rabah. Rasulullah SAW memerintahkan manusia untuk bertakwa dan mendorong untuk menaati Allah SWT. Beliau menasihati dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau berlalu hingga sampai kepada kaum wanita. Beliau pun menasihati kaum wanita dan mengingatkan mereka. Beliau bersabda, "Wahai kaum wanita, bersedekahlah, karena sesungguhnya kebanyakan kalian menjadi bahan bakar api neraka Jahanam". Lalu ada seorang wanita berdiri dengan wajah merah hitam pada pipinya yang berada di tengah-tengah kerumunan mereka. Wanita itu bertanya, "Kenapa seperti itu Rasulullah?" Rasulullah SAW menjawab, "Karena kamu banyak mengeluh dan suka membangkang kepada suami." Jabir berkata, "Setelah itu, mereka menyedekahkan perhiasan mereka. Mereka melemparkan anting dan cincin yang mereka pakai ke kain yang dibentangkan oleh Bilal". (H.R Shahih Bukhari)

Ciaoo!

Jumat, 20 Februari 2015

Coretan Kejora - 2

Kalau bukan kita yang mentarbiyah diri kita sendiri, maka siapa lagi?
Seperti kali ini, aku merasa...

"Kak Kejora, bapak tukang es dawet itu nangis."
Aku mengikuti arah yang adikku tunjuk. Ah iya, aku melihatnya. Seorang bapak tua dengan wajah yang sudah lelah, efek usia yang juga tidak bisa disembunyikan, dan dia menyatukan kedua telapak tangannya, menggenggam penuh erat di wajahnya.
Dan ada air mata di pipinya.

"Beli gih dek. Kamu punya uang berapa?"
"Tapi kan dingin kak. Abis hujan."
"Biarin. Nanti kamu minta bungkusin aja sama bapaknya. Nih kakak cuma megang uang lebih Rp 20.000."
"Kak itu banyak banget, mau beli sepanci?"
"Nggak apa-apa dek. Buru gih, keburu bapaknya malah pergi."
Dan adikku bergegas menuju si bapak tukang es dawet.

Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya hingga adikku kembali dengan menenteng kantong plastik lima buah.
"Dapat berapa?"
"Nggak tahu. Aku nggak ngitung kak. Tadi aku tambahin lagi Rp 10.000. Kak, tadi pas aku bilang mau beli, bapak nya tanya mau beli berapa, aku bilang beli Rp 30.000 dapat berapa, beliau sampai bengong gitu lho kak."
"Oh ya? Terus?" Aku ambil satu plastik kecil dan mulai menikmatinya,
"Kak, ih dingin sih. Katanya buat ntar aja," protes adikku.
"Nggak apa-apa. Insya Allah malah berkah. Terusin lagi ceritamu dong."
"Bapak nya bengong terus kayak kliyepan gitu matanya terus beliau balik badan sambil ngusap-ngusap matanya. Kayaknya nangis lagi. Dan beliau nanya masti-in gitu kak, "Adek betulan mau beli Rp 30.000?" Aku bilang aja, iya."
"Ah, semoga bisa jadi rezeki buat bapaknya ya."

"Bapak nya sambil berkali-kali pegang tangan aku dua-duanya kak. Kayaknya berterima kasih banget. Aku malah jadi nggak enak beliau sampai segitunya."
"Mungkin beliau emang belum begitu laku jualannya, apalagi hujan, makanya pas kamu bilang mau beli, dia jadi kayak bersyukur banget."
Adikku mengangguk tapi lantas berkomentar lagi, "Kasian ya kak sama orang-orang yang kayak gitu. Dunia kayaknya kejam banget. Aku ngebayangin, mungkin kalau aku jadi si bapak, wah nggak tahu deh aku bakalan kayak gimana. Jangankan gitu kak, kesusahan dikit aja, nggak tahu harus minta tolong sama siapa, ah ya ampun kak, beliau tegar banget."
"Hmmm, bisa aja sebetulnya beliau itu justru rapuh, siapa sih dikasih kondisi kayak gitu yang hati dan pikiranya nggak karuan? Tapi beliau mungkin tahu ada yang bakalan selalu menguatkan disamping beliau. Dek, Allah itu dekat. Bahkan lebih dekat dari urat nadi kita."

Aku memikirkan perkataan ku beberapa jam yang lalu. Iya, aku tahu itu penggalan ayat Q.S Al-Baqarah. Lantas aku buka Al-Qur'an ku, aku cari dan saat aku menemukannya, entahlah, aku sulit mengatakan apa yang aku rasakan saat ini.
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang-orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran." (Q.S Al-Baqarah : 186)
Seketika badanku rasanya lemas. Padahal aku berkata "Allah itu dekat" ke adikku, dengan maksud, ya kalaupun tidak ada yang menolong kita, ada Allah yang selalu stand by disamping kita. Tapi ternyata ketika aku lihat terjemahannya...
Aku yakin makna nya lebih dari itu.
Lebih.
Jauh lebih luar biasa daripada itu.

Aku tahu aku tidak punya pemahaman untuk menafsirkan ayat Al-Qur'an. Ketika aku membaca artinya dengan lengkap, aku hanya merasakan suatu hal yang aku sendiri sulit untuk mengungkapkannya.

Aku merasa betapa Allah begitu luar biasa. Bahkan Dia sudah mengantisipasi apabila ada kaum Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menanyakan, "Dimanakah Tuhan kita ya Rasulullah?" maka lantas dia turunkan ayat ini. Dia katakan agar Rasulullah sampaikan kepada mereka bahwa diriNya dekat dengan hambaNya. Dia gunakan kata ganti "Aku" seakan-akan memang diriNya punya hubungan yang dekat dengan kita.
Padahal diri kita sendiri tidak jarang menjauh dariNya.
Sungguh, seluruh badanku rasanya...lemas.

Kita bisa anggap orang yang spesial dengan kita, yang kita kagumi, yang punya hubungan dekat dengan kita, dan berkata ketika kita sedang merasa kalut, "Hei, tenang, kan ada aku disini."
Begitu juga Allah. Allah bahkan tidak mengatakan, "Ya Muhammad, katakanlah (pada mereka) bahwa Tuhanmu dekat."
Tapi Dia justru seakan-akan berkata langsung pada kita, pada hamba-hambaNya dengan perantara Rasulullah, "ya, Aku dekat denganmu".
Sedangkan kita seringkali mengalpakan kehadiranNya, apakah kita sebenar-benar hambaNya yang mencintai Dia seutuhnya?
Aku bilang, "Ya Allah aku mencintaiMu, sungguh aku mencintaiMu", tanpa sadar bahwa sesungguhnya Dia pun membalas pernyataanku dengan caraNya sendiri.
"Aku kabulkan permohonan orang-orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku"
Aku tergugu. Dia akan kabulkan doa semua orang, tidak hanya orang-orang yang kita anggap agama nya jauh lebih hebat dari kita, tidak sebatas orang-orang yang ahli ibadah, tidak hanya orang-orang kaya atau punya kekuasaan tertinggi. Tapi semua orang.
Semua orang yang berdoa kepadaNya.
Dia seakan-akan ingin memberitahu kita, "Aku ada. Aku benar-benar ada. Bicaralah pada-Ku lewat doa-doa mu. Aku akan kabulkan. Siapapun yang ingin berdoa kepada-Ku, silahkan berdoalah"

Kita bahkan sulit meminta bertemu dengan dosen hanya sekedar bisa berbicara untuk bahas skripsi. Bertemu dengan dokter hanya sekedar untuk konsultasi harus punya janji. Bertemu dengan orang-orang penting, birokrasinya minta ampun, padahal hanya sekedar berbicara dan itupun dijatah hanya beberapa menit saja.
Allah Yang lebih tinggi jabatannya, kekuasaannya, pemilik alam semesta, segala-galanya, Dia berikan kebebasan pada hambaNya, siapapun, untuk bisa berbicara padaNya lewat doa, memohon sebanyak mungkin padaNya, kapanpun yang kita mau, dimanapun.

Aku malu.
Sebegitu luangnya waktuNya untuk aku, tapi hanya pada saat-saat tertentu saja aku menganggapNya ada. Hanya pada saat aku betul-betul di posisi sulit, baru aku berbincang padaNya.
Tidakkah itu hal menyakitkan, ketika aku mengaku mencintai, tapi berbincang pun jarang? Bahkan orang tua ku pun sedih jika melihat anaknya tidak mau berbicara padanya. Apakah Allah jikalau aku begitu juga lantas merasa sakit dan dengan mudahnya mengatakan, "Sungguh aku membenci Kejora" begitu saja?
Tidak. Sekalipun tidak. CintaNya akan tetap sama, tidak berubah. Karena aku pun tahu, dia tidak butuh itu. Justru aku yang sangat membutuhkan Dia.

Ratusan milyar atau bahkan triliunan manusia, pada saat yang bersamaan, memohon padaNya, adakah Dia luput melupakan salah satu dari kita? Satu-satunya yang mengetahui diri setiap orang yang ada di dunia ini, kemampuan dan keterbatasan satu per satu dari kita, mana yang baik dan tidak baik untuk kita, sungguh, Allah sangat luar biasa. Maka siapa lagi kah yang mampu berbuat sedemikian rupa?
Dia tahu aku, Dia ingat aku, Dia tahu kelemahan dan kelebihan aku, Dia tahu segala macam sifat aku, Dia tahu kebiasaan-kebiasaan aku. Tapi Dia juga tahu siapa dirimu, dirinya, diri mereka, diri orang-orang diluar sana. Dia tahu. Dia tahu kondisimu saat ini seperti apa.
Maka ada lagikah Yang Lebih Mengetahui, Yang Lebih Memerhatikanmu, Yang Lebih Memahamimu dengan sebaik-baiknya selain Dia?

Dan ketika aku memohon padaNya, ya, sesungguhnya Dia tahu aku, "Kejora memohon padaKu".
Atau mungkin bapak yang tadi aku temui, yang aku lihat sedang menggenggam kedua telapak tangannya seraya menutupi wajah yang aku anggap mungkin beliau sedang berdoa. Allah pasti tahu siapa beliau, "A memohon padaKu. Aku tahu dia, aku tahu apa yang dia minta, dan Aku tahu kondisinya."
Tapi...
"Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku..."
Aku paham, aku juga semestinya berusaha. Berusaha dengan menjalankan kewajiban-kewajibanku terhadapNya, berusaha sesuai dengan apa yang aku harapkan. Doamu, "Ya Allah semoga aku bisa menikah dengannya", "Ya Allah semoga nilai IPK ku bagus", "Ya Allah semoga aku bisa mendapatkan pekerjaan disini", kita bebas berdoa sebaik apapun yang memang kita impikan. Tapi Allah seakan-akan mengatakan pada kita, "hendaklah kamu juga berusaha untuk memenuhi perintahKu". Dia tidak katakan, "Kamu harus penuhi perintahKu". Tidak. Tapi Dia seakan-akan berkata "Setidaknya kamu berusahalah." Karena Dia juga ingin melihat usaha aku, kamu, dan yang lainnya.
"...dan beriman kepadaku, agar mereka memperoleh kebenaran."
Dan saatnya, ketika aku memohon padaNya, ketika doa-doaku tidak lantas dijawab dengan segera. Aku semestinya paham, sekali-kali bukan karena Dia melupakan aku, bukan sekalipun dia melupakanmu. Dia mengujimu, apakah lantas kita berputus asa dan kembali melupakan Dia atau tidak?
Karena Allah tahu cara terbaik untuk menjawab doa-doamu. Allah tahu mana yang terbaik, waktu yang terbaik, atas semua pengharapanmu. Allah tahu apa yang harus Dia lakukan untuk menjawab doa-doamu yang bahkan tidak pernah sedikitpun kamu pikirkan, dan jika saatnya tiba kamu akan merasa, "Oh, ternyata Allah menjawab doa ku seperti ini". Dan apabila ketika memohon padaNya, dirimu sepenuhnya percaya, tawaddhu, dan ikhlas apapun padaNya, pada saat semuanya terjawab, kamu akan yakin dengan seyakin-yakinnya , bahwa "Ya, benar. Allah benar-benar ada bersamaku."

Allah.
Terima kasih atas pembelajaran hari ini padaku.
DiriMu sungguh sebenar-benarnya ada bersamaku dan hamba-hambaMu yang lain.

***

Nb :
Tulisan ini saya buat fiksi, tapi overall dasar dari penulisan atas pemahaman ayat Q.S Al-Baqarah 186 ini adalah ngambil sedikit banget dari Tafsir Ibnu Katsir dan banyaknya dari penjelasan versi Ust. Nouman Ali Khan. Yang lebih rinci sebagai pengetahuan yang lebih dalam dan jelas bisa dilihat di (Indonesian Subtitle) Nouman Ali Khan: "Allah is Near".