Minggu, 21 April 2013

The Decision Maker of Life

Saya boleh memberikan pandangan sendiri, kan?
Termasuk untuk hal ini, terlepas dari apakah orang lain setuju atau tidak setuju dengan pandangan saya.

Setiap orang sudah punya jalan hidupnya masing-masing, bukan?
Ya, bahkan memang ada yang telah ditetapkan dan tidak bisa diubah lebih tepatnya sudah tertulis di Lauh Mahfudz dan tinggal menunggu kapan takdir itu bisa terwujud dalam hidup kita. Tapi ada kalanya, orang menyebut "usaha", "ikhtiar", "upaya" dan sejenisnya supaya hal itu bisa lebih cepat terwujudkan, atau mungkin bisa diperlambat, atau mungkin juga berubah.

Memang kalau yang menyangkut itu, tidak akan pernah habis untuk dibahas. Maunya manusia tuh selalu membantah, "ah, biarpun sudah tertulis sejak kita belum lahir pun, gak ada salahnya kan buat terus berusaha."

Terutama jodoh.

Tapi saya gak tertarik membahas itu secara detail. Setidaknya untuk saat ini.

Memang benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang melarang manusia untuk terus berusaha. Bahkan cara termudah mengetahui orang yang masih punya semangat hidup dengan yang tidak adalah dari seberapa terus dan kuatnya nilai usaha dari dirinya. Dan bukan mustahil sesuatu bisa berubah karena usaha yang dibuat  manusia.
Hanya saja entah mengapa saya punya prinsip lain dalam hidup saya.

Sesungguhnya, setiap keputusan dari usaha apa yang akan kita lakukan, ada "tangan yang tidak terlihat" yang mengarahkan kita pada keputusan tersebut.
Ketika membicarakan tubuh, ada pilihan dari usaha yang dilakukan. Mau menjaga kesehatannya atau tidak? Keputusan yang nanti kita pilih saya yakin sebenarnya "tangan tidak terlihat" itu ikut berperan.
Berperan dalam konteks, baik positif ataupun negatif pilihannya menginginkan kita mempelajari apa dampaknya.
Kalau positif, yaaa beritahu ke orang-orang apa manfaatnya, apa nilai-nilai kebaikan didalamnya. Sebaliknya kalau negatif, ambil pelajaran yang telah kita rasakan dan bisa berikan peringatan untuk orang-orang yang supaya tidak perlu melakukannya.

Atau kalau mengenai jodoh. Pilihannya, mau bersabar menunggu yang terbaik buat kita atau grasak-grusuk kebingungan nggak jelas, meratap-ratap, sibuk cari pacar sana-sini, dan sebagainya.
Positif ataupun negatif itu keputusan dari tiap pilihan yang ada dalam hidup.
Dan lagi-lagi saya percaya bahwa ada yang berperan juga dalam menentukan keputusan kita.

Sebenarnya "dia" sudah tahu pada akhirnya kita seperti apa, hanya saja, mungkin, "dia" ingin menunjukkan dampak-dampak apa saja yang memungkinkan terjadi dalam hidup kita dari setiap keputusan tersebut.
Kalau ternyata kita adalah pencuri kelas kakap saat ini, itu keputusan kalian yang diarahkan olehnya. Kalau kita menjadi alim ulama nan bijaksana, itu juga keputusan kalian yang diarahkan juga olehnya.
Bukan berarti, ketika menjadi pribadi yang negatif, "dia" menuntun kita menjadi seperti itu.
Bukan.

Karena sebenarnya kita punya dua senjata paling ampuh dalam diri kita untuk tetap mengarahkan kita pada keputusan-keputusan terbaik.
Yaitu, doa dan Prasangka.
Doa mengantarkan kita untuk tetap berharap, bahwa setiap keputusan dari pilihan yang ada adalah yang terbaik dalam hidup. Dan prasangka, menjembatani diri kita untuk meyakinkan "dia" bahwa kita akan selalu percaya yang akan terpilih adalah hal-hal yang baik.

Sekeras apapun usaha kita, sekuat apapun, sehebat dan se-se-se lainnya, memang sudah ada yang mengatur. "Dia" tahu akhir dari perjalanan hidup kita akibat pilihan itu seperti apa, maka "dia" juga mengatur jalan ceritanya.
Kalau ternyata kita adalah pencuri kelas kakap, yaa akan selamanya sebagai tokoh itu, kecuali kita menggunakan senjata terampuh yang kita miliki.
Dan berlaku pula pada pilihan-pilihan yang dinilai negatif lainnya.

"Dia" adalah Allah.
Yang maha luar biasa, maha segalanya. Dia yang lebih tahu sifat-sifat dari setiap hambaNya, Dia yang lebih tahu mana yang paling baik bagi hambaNya.
Selalu gunakanlah dua senjata hebat itu, bukan untuk melawannya seperti jagoan-jagoan dalam film. Tapi justru untuk mendekatkan diri padaNya, untuk merebut perhatian dan kasih sayangNya.
Toh kita tidak dibutuhkan biaya untuk melakukannya. Mengapa sulit? Mengapa menganggapnya rumit?

Allah itu sesuai prasangka hambaNya, jika hambaNya berprasangka positif, maka Dia akan menuntunmu menuju hal-hal yang positif, begitupula sebaliknya.
Keputusan dalam hidupmu, yakinlah bahwa sebenarnya Dia sedang menuntunmu menuju yang terbaik. Kalau belum terbaik, terus gunakan senjatamu.
Karena keputusanNya tidak pernah salah, tidak pernah cepat atau lambat, tetapi selalu tepat.
Percayalah.


Rabu, 10 April 2013

Nek, Saya Rindu Padamu.

Saya sudah lulus, nek.
Dulu saya ingat, nenek yang pertama kali meyakinkan saya untuk kuliah di universitas ini. Meskipun saat itu saya amat sangat tidak yakin karena berbeda keinginan dan jurusan yang saya dapat.
Saya juga ingat ketika nenek selalu mengingatkan saya belajar, kapan ujian, bagaimana nilai-nilainya. Nenek ingin sekali melihat saya lulus.
Saya masih ingat, nek. Selalu.

Rasanya ketika disaat-saat terakhir engkau pun, permintaanmu sederhana. Hanya menanyakan, kapan saya pulang ke rumah. Dan saat itu saya sedang di Bogor, karena besok pun masih kuliah. Tapi memang salah saya, minggu kemarin saya tidak menyempatkan diri pulang ke rumah.
Dan seketika itu saya amat sangat menyesal, sampai sekarang.

Saya tidak tahu lagi, nek. Betapa saat ini saya sangat, sangat rindu padamu. Saya tidak malu ketika di bus umum ini saya memilih menangis diam-diam tanpa henti untuk beberapa menit yang tak cuma sedikit.
Rasanya saya ingin bertemu, memeluk nenek saat ini, dan bilang, "Pilihan nenek nggak pernah salah. Karena nenek lah saya bangga kuliah disini".
Sebagai pengganti diakhir saya pula yang tak sempat bertemu dengan beliau.

Saya selalu ingat, pesan-pesan sederhana nenek. Sederhana sekali. Supaya jangan melalaikan shalat, supaya bisa mengontrol emosi, supaya bisa lebih empati dengan orang lain, supaya jangan lupa baca quran setiap hari, jangan lupa sedekah setiap hari, banyak senyum ke orang-orang..
Sederhana. Tapi karena berkali-kali dilontarkan olehmu, berkali-kali diingatkan olehmu, saya rindu.
Saya rindu kata-kata itu muncul lagi, mengingatkan saya lagi.

Ah. Rasanya, kesalahan besar ini tak akan pernah mati bahkan sampai sekarang. Saya masih ingat ketika pagi-pagi bergegas pulang dan melihat nenek tidur dengan tenang, saya menahan tangis sekuat tenaga.
Dan pecah, tidak kuat seperti orang yang tidak tahu lagi harus bagaimana, seperti orang yang bingung, ling-lung, kacau.
Saya tidak ada. Nenek minta bertemu dengan saya, tapi saya tidak ada.

Nek, saya lulus.
Tapi nilai keseluruhan nya tidak sebagus teman-teman saya. Saya minta maaf ya?
Saya minta maaf sempat masih tidak yakin dengan kuliah saya, masih merasa kecewa mengapa diterima kuliah disini, bahkan masih sempat berniat keluar dari tempat kuliah ini. Tapi nek, saya sekarang sadar. Saya justru semakin mencintai tempat ini, saya bangga bisa menjadi almamater disini.

Nek, saya ingat ketika keluarga ini sempat diperbincangkan, dianggap tidak sopan, hanya karena tidak mau mengadakan tahlilan, yasinan atau apalah namanya itu untukmu.
Tapi kami yakin, kalaupun engkau ada, engkau tidak akan ingin kami melakukannya, kan? 
Tapi begitulah. Kami harus menerima dan siap telinga kami untuk mendengar segala omongan yang tidak sesuai. Saya sedih. Demi Allah, kami mencintaimu.
Semenjak itu, kami sempatkan tadarus bersama-sama, berdoa bersama setiap selesai magrib. Bahkan mama pun tak kalah sedih dan menyesalnya sampai sekarang.

Karena pada saat yang sama, mama tidak ada juga di rumah. Sama seperti saya.
Mungkin rasa bersalah saya masih kalah besar dibanding mama. Tapi saya rasa, intensitas kebersalahan ini sama saja.

Nek, saya mencintai anakmu. Saya mencintai mama. Sama sepertimu.
Terima kasih kau telah lahirkan sosok yang luar biasa, tidak kalah hebatnya denganmu. Terima kasih kau didik dia, kau tempa hidupnya hingga bisa sekuat ini. Terima kasih kau tak mengikuti rasa keputusasaanmu untuk menelantarkan mama saat mama masih sangat kecil hanya karena ketidaksanggupan finansial, hingga ia sekarang menjadi sosok ibu yang sangat luar biasa buat saya.
Buat saya, hingga saat ini, orang terkuat dalam hidup saya hanya mama saya.

Nek, saya mau membahagiakan anakmu. Saya mau membahagiakannya dengan cara sendiri, dengan kemampuan saya. Saya minta maaf jika apa yang saya inginkan tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan, tapi murni, saya ingin membahagiakan mama.
Saya mecintainya. Sangat mencintainya.

Nek, semoga saya bisa membahagiakan mama. Semoga jalan kesuksesan saya terus ada untuk membahagiakannya. Terima kasih, nek. Semoga Allah senantiasa menjagamu dengan baik, menyayangi dan mencintai nenek disana, karena saya sangat menyayangi dan mencintai nya sampai saat ini.


Nek, sungguh. 
Hari ini saya sangat rindu padamu.

Kalian Hebat!

Dari dulu, saya ingin sekali menjadi orang hebat, dengan cara saya sendiri, dengan kemampuan saya sendiri. Biarkan saya jelaskan terlebih dahulu alasannya, sebagai pembuka.

Karena masa kecil sayalah yang membentuk diri saya seperti ini.

Bukankah masa kecil bagi kebanyakan orang justru seharusnya dipenuhi dengan hal-hal yang membahagiakan, pertemanan yang menyenangkan, penuh canda tawa, dan tak perlu memikirkan hal-hal berat yang belum layak dipikirkan pada usia Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Dasar?
Tapi apa yang saya hadapi tidaklah semudah itu.

Saya ingin menjadi orang hebat dan itu justru karena kalian. Ingin bisa seperti kalian.
Waktu dulu, mungkin banyak teman-teman yang menganggap saya anti-sosial, sulit berbaur atau bergaul dengan mereka. Tapi saya yakin, inilah balasan mereka yang memang sedikit lebih tega terhadap saya.
Saya amat sangat jarang punya teman. Dan itu justru disaat masa-masa peer group seseorang sangat terbentuk, disaat hubungan sosial seseorang memang dibutuhkan untuk berkembang.

Saya lebih banyak menghabiskan bekal makan siang saya sendirian.
Saya lebih suka didalam kelas, mengerjakan buku-buku tugas dikala orang-orang asyik bermain bersama sahabat-sahabatnya.
Saya lebih suka datang telat ke sekolah, supaya ketika saya sampai ke sekolah langsung waktunya belajar. Tanpa harus menunggu dengan bermain-main dengan teman terlebih dahulu.
Saya lebih banyak berdiam diri di jemputan sekolah, baik saat berangkat maupun pulang.
Saya lebih memilih berjalan-jalan sendirian dikala orang lain sibuk tertawa-tawa dengan temannya.
Bahkan, saya tidak pernah jajan di kantin atau tukang jajanan sekitar sekolah sampai saya kelas 3 SD. Dan hal itu membuat kewajaran kalau saya amat sangat ingin tahu rasanya jajanan waktu kecil saya seperti apa.

Anti-sosial kah saya?

Sesungguhnya tidak. Ini hanya dampak awal negatif yang terjadi terhadap saya. Dimulai dari TK.

Saya merasa tidak sanggup ketika saya ditatap dengan tatapan yang seakan-akan saya pantas dibenci oleh dua orang yang satu jemputan dengan saya. Padahal sedikitpun saya tidak kenal mereka.
Saya menahan sakit ketika selalu dicubit yang amat sangat menyakitkan setiap kali baris di barisan bukan paling belakang, entah dalam hal apapun. Sekalipun saya tidak tahu alasannya apa.
Saya menahan rasa ingin tahu saya setiap kali jenis permainan yang ingin saya mainkan selalu direbut oleh teman-teman saya yang lain bahkan tak jarang justru mengusir saya.
Saya menahan semua rasa setiap kali saya dibilang "sok tahu", dicoret tangan saya dengan krayon atau pensil, mengalah setiap kali saya mendapatkan jatah pensil / krayon lebih bagus daripada orang lain, atau bahkan dicubit dengan amat sangat sakit kalau tidak memberi jawaban ketika ulangan.
Saya lebih memilih menikmati duduk-duduk paling belakang setiap hari Jumat, saat nya pelajaran shalat dan mengaji dibandingkan ikut bergerombol dengan teman-teman yang lain yang tak ingin juga mendapati kehadiran saya.
Saya yang amat sangat sedih ketika mendapati kakak saya segera lulus dari SD yang sama dan memulai hari-hari sekolah dengan sendiri sejak kelas 3 SD.

Tahukah kalian, bahwa saya amat sangat ingin seperti kalian?
Dimata saya kalian hebat, bahkan sampai sekarang pun saya memandang orang-orang yang saya kenal adalah orang-orang yang hebat.

Saya ingin cantik seperti kalian, bisa bergaul dengan mudahnya. Punya banyak teman, bisa menyanyi, bisa menggambar dengan indah sekali. Saya ingin pintar seperti kalian, berani berbicara di depan banyak orang, pintar bermain musik, rapi, bisa tertawa dengan lepas dan bahagianya, bisa dikenal guru-guru, mudah menerima pujian dan memuji antar satu sama lain.

Buat saya, kalian itu hebat.
Bahkan sampai saat ini saya akan menganggap orang-orang disekitar saya adalah orang-orang hebat.

Saya tidak punya apa-apa. Saya tidak pernah bermimpi bisa sehebat kalian, karena itu tadi.
Rasa minder saya sudah tertancap kuat sejak kecil.
Yang ada dalam diri saya sejak kecil hanya...
Saya ingin punya hal hebat yang bisa saya wujudkan dengan kemampuan diri saya sendiri. Meskipun saya tidak tahu, hal hebat apa yang pantas untuk diri saya sendiri.

Kondisi lingkungan, pertemanan yang jarang, membuat saya lebih suka habiskan untuk membaca, mengerjakan buku tugas yang bahkan bab nya belum dipelajari di kelas dan efeknya...

Karena kalian lah saya berjuang keras mendobrak rasa minder saya meskipun sampai saat ini belum sehebat kalian untuk bisa mudah bergaul dengan sesama.
Karena kalian lah saya memperjuangkan peringkat-peringkat di kelas dan bisa menjadi juara kelas.
Karena kalian lah saya mencoba terus menerus memberanikan diri saya dalam bersosialisasi dengan kalian.
Saya terus menerus mencoba belajar.
Itu karena kalian.

Saya berjuang mati-matian untuk bisa menghebatkan diri saya seperti kalian.
Meskipun sampai saat ini juga saya masih kalah hebat dengan kalian.

Lima belas tahun, terhitung sejak TK. Saya belajar banyak. Saya menemukan orang-orang hebat termasuk kamu yang mungkin sedang membaca tulisan saya. Dan saya selalu belajar akan satu hal.
Bahwa sesungguhnya setiap orang itu bisa menciptakan atau memunculkan kehebatan dari dirinya masing-masing.
Mungkin ada yang hebat dalam kompetisi, ada yang hebat dalam musik atau menyanyi, ada yang hebat dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Diluar sana masih banyak orang hebat. Yang hafal Al-Quran, pengarang buku-buku terkenal, hebat dalam berorganisasi, merancang suatu konsep ide.
Bahkan mungkin diantara kalian yang masih menganggap diri kalian biasa aja, saya akan tetap menemukan kehebatan dalam diri kalian.
Ayo, sama-sama kita hancurkan rasa minder ini. Sama-sama ciptakan kehebatan masing-masing.

Buat saya, kalian akan tetap dan selalu menjadi yang terhebat sekalipun kalian menyangkalnya. Saya selalu ingin menjadi seperti kalian, untuk itu lah saya berterima kasih karena kalian.

Terima kasih. Karena kalian lah penyemangat hidup saya yang masih amat sangat biasa ini. Karena kalian lah saya belajar bahwa manusia semua adalah istimewa.
Terima kasih.
Karena kalian lah saya terus menerus ingin menjadi hebat.
Karena kalian lah saya mengerti rasanya berjuang melawan.
Dalam hidup.

Jumat, 05 April 2013

Sky's The Limit

Langit selalu sama
Langit ditempat saat ini aku melihat
    ataupun ditempat saat ini kau lihat
Akan selalu sama
Biru
Awan menggumpal berarak serasa mengikuti kemana arah angin menuju
Aku selalu suka langit
Bukan karena kamu juga menyukai hal yang sama
Kurasa mungkin kita jodoh
Kau wariskan semua kenangan pada langit
    ditempat saat kini kau berada
Dan
Saat aku melihat langit saat ini
    aku melihatnya
Saling berebut menyajikan potongan-potongan gambar tak bersusun
Memaksaku merunut segala kejadian
     dan mengenangnya tanpa batas
Hingga pada akhirnya kenyataan menyakitkan mengatakan
     dirimu akan selalu sulit direngkuh
Dengan cara apapun
Dengan taktik dan strategi apapun
Tidak ada metode nya
Lantas mengapa aku masih menyukai langit?
Sebegitunyakah aku mengharap padamu?
Atau sebenarnya kamu menyukai langit karena aku?
Biar berapapun pertanyaannya,
     jawabannya akan selalu sama
Dirimu terlalu tinggi dan tak akan mampu aku mencapaimu
Langit selalu sama
Dari dulu sampai sekarang
Biru
Mengagumkan
Menenangkan
Menakjubkan
Tanpa perlu kau wariskan kenangan pun aku akan tetap menyukainya
Sama
Karena aku pun tak punya alasan mengapa aku menyukaimu
Tanpa batas

Kamis, 04 April 2013

Infinitas Ikhlas

Muhiddin ga ikhlas banget kalau Riama lebih milih Togu daripada dia.

Bukan. Bukan tentang sinetron. Kebetulan iklan sinetron terkenal saat ini muncul tepat pada saat saya menulis tentang ini.
Tentang kamu.
Tentang kalian.
Tentang orang-orang hebat.
Tentang Ikhlas.

Terkadang hubungan antara sabar dengan ikhlas itu dekaaaat sekali. Saya juga belum pernah menemukan teorinya, jadi ini murni pemikiran saya. Ketika seseorang mampu bersikap sabar, sesungguhnya dia juga telah berlaku ikhlas. Maksudnya?

Bisa saya analogikan begini.
Seandainya kamu sangat tidak menyukai dikritik orang lain, dan pada kondisi saat ini ada orang lain yang mengkritik anda, pilihan anda cuma dua. Menerima atau menolak.
Menerima kritikan orang lain atau menolaknya.
Efeknya? Bisa macam-macam.
Menerima kritikan dengan terbuka, menerima kemudian kamu menangisi kekurangan diri sendiri, menerima dengan masa bodo, menerima kemudian memaki di belakang orang yang mengkritik.
Macam-macam. Begitu juga dengan menolak.
Menolak kritikan dengan sok kepedean kalau itu tidak benar, menolak sambil membalas kritikan yang baru untuk orang yang mengkritik kamu, atau menolak dengan emosi yang berlebihan.
Dan ketika kamu memilih pilihan yang meminta dirinmu untuk berlaku sabar dari kritikan dan menjadikannya pelajaran, sesungguhnya kamu juga telah mengikhlaskan bahwa memang setiap orang memang memiliki kekurangan dibalik kelebihan. Dan ada orang yang lebih baik dibanding kamu dalam hidup ini. Kamu harus bisa menerima hal itu.

Dari pilihan akan menimbulkan pilihan lain yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Itu memang konsep hidup manusia.

Percaya atau tidak, ilmu sains memang mempengaruhi dalam hidup manusia.
Saya yakin kalian tahu infinitas atau bahasa ilmiahnya adalah ketakterhinggaan dengan lambang (∞). Lantas apa hubungannya?

Sekali lagi ini murni teori menurut saya. Saya hanya mengkait-kaitkannya saja dalam hidup manusia.

Tak terhingga artinya suatu yang besarannya melebihi kemampuan dari satuan, bilangan, atau apapun. Dia ada. Hanya saja memang tidak dapat ditentukan batasnya sampai mana terhadap sesuatu yang dinilai tak hingga ini.
Salah satunya ikhlas.

Saya rasa ikhlas yang dimiliki oleh setiap manusia harus bersifat tak hingga. Bilangan apapun bila nilainya positif akan bernilai besar untuk tak hingga. Begitu pula sebaliknya. Bilangan apapun bila nilainya negatif akan bernilai kecil untuk negatif tak hingga.
Semakin besar ikhlasmu mendekati tak hingga, semakin besar hatimu.

Ah, teori memang tidak sesulit praktiknya.
Memang. Siapa bilang mudah?
Orang sealim apapun, akan punya kemungkinan yang sama untuk mudah terkontaminasi peluruhan ikhlas dalam hidupnya.
Tinggal bagaimana mau melatih menjadikan ikhlas itu menjadi suatu infinitas.
Saya sendiri juga tidak sepenuhnya yakin bisa menjadi sehebat itu. Tapi mencoba juga bukan suatu hal yang dilarang, kan? Malah akan lebih baik efeknya buat hidup, orang lain, dan kamu.
Saling menasehatilah dalam kebenaran dan kesabaran.

Ikhlaslah dalam segala hal.

Menuntut ilmu lah dengan ikhlas hanya untuk Allah bukan semata-mata mengejar nilai apalagi mengejar jodoh.
Bekerjalah dengan ikhlas bukan semata-mata mencari uang.
Apabila ada musibah, ikhlaskan, karena pasti akan ada rezeki lain dikemudian hari.
Apabila sedih karena kesalahan diri sendiri atau orang lain, ikhlaskan, Allah akan menggantinya dengan kebahagiaan yang lain.
Apabila gagal terhadap sesuatu, ikhlaskan, karena Allah sedang menyiapkan keberhasilan untukmu dan mengajarimu bahwa didunia kesempatan berhasil bisa diperoleh oleh siapa saja.
Apabila tidak sesuai dengan keinginan dan harapan, ikhlaskan, Allah merencakan sesuatu yang jelas-jelas lebih baik dari apa yang kamu inginkan.

Ikhlaskan.
Semakin besar ikhlasmu mendekati tak hingga, semakin besar hatimu.

Karena ikhlas itu tidak ada batasannya. Dimanapun, kapanpun, kepada siapapun, dalam situasi apapun, dia menuntut dan dituntut untuk hadir dan dimiliki di dalam hati manusia.

Infinitaskanlah ikhlasmu.

***