Sabtu, 14 Desember 2013

Solenoida

Segelas moccachino dingin dan kamu.
Aku selalu menikmatinya dengan diiringi ocehan panjang lebar darimu
sesekali tawa
sesekali mencibirkan bibir yang justru terlihat semakin lucu.

Padahal diluar sedang hujan lebat,
dingin,
dan kamu lagi-lagi sempat mengomel diawal ketika yang kupesan justru minuman dingin.
Aku justru tertawa dan hanya membalasnya, "alasannya rahasia".
Lagi-lagi kamu membalas dengan senjata andalan mu, cemberut lucu.

Bukan berarti aku tak peduli dengan ocehanmu,
aku sungguh menikmatinya
Menikmati setiap kata yang terucap,
menikmati setiap ekspresi yang berefek senyum pada diriku
menikmati waktuku yang berjalan dengan perlahan dan berharap panjang bersamamu
menikmati segelas moccachino dingin dan kamu.

***

Segelas moccachino dingin dan masih dengan kamu
Aku masih selalu menikmatinya
ocehan panjang lebar darimu
ekspresi-ekspresimu

Tapi tak lagi menghangatkan cuaca dingin yang kala ini melingkupi aku dan kamu

Aku,
Kamu,
Masih bersama-sama menikmati waktu yang bergulir dengan perlahan
Tapi aku tahu itu tak lagi sama
Meskipun aku masih tetap menikmatinya

Kamu,
Sadarkah bahwa aku tahu sorot matamu dan senyummu tak lagi sehangat dulu?

***

Segelas moccachino dingin dan hujan,
Aku masih tetap menikmatinya,
menikmati kenangan,
menikmati kerinduan,
menikmati keikhlasan,
menikmati semua melebur menjadi satu dalam rintikan air Sang Pencipta

Aku,
biarkan ikhlas dalam hati ini muncul lebih banyak lagi,
lebih sering lagi,
hingga jauh lebih besar dibandingkan rasa rindu dan kenangan tentangmu

Segelas moccachino dingin dan hujan,
Ya,kali ini aku mengenangmu,
merindukanmu,
mengikhlaskanmu,
dan aku bersyukur menikmatinya.


(*Solenoida dalam ilmu fisika adalah satu jenis kumparan terbuat dari kabel panjang yang dililitkan secara rapat dan dapat diasumsikan bahwa panjangnya jauh lebih besar daripada diameternya - wikipedia)

Minggu, 08 Desember 2013

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 12

Hai.
Orang yang selama bertahun-tahun aku mencoba mempertahankan hatinya.
Kamu pun pasti mengerti dan paham
arti titik kumulasi dari setiap nilai
sama seperti nilai kewarasanku atas keparahanku untuk terus bertahan selama itu
untuk orang yang entah ku ketahui
berbalaskah hatiku atau tidak

Titik kulminasi yang kuberi nama keikhlasan.
Sulit, siapa bilang mudah?
Manusia sekuat apapun imannya tidak menjamin semulus pula teknik dalam mempraktikannya.
Apalagi aku.

Bukan.
Jangan salah persepsi bahwa keikhlasanku itu
layaknya suatu kebosanan
atau ketidakmampuan
atau keputusasaan.
Sekali-kalipum bukan kosakata-kosakata yang mengantarkanku pada satu kata.
Menyerah.

Sekali lagi, bukan.

Aku hanya ingin berkaca sedalam mungkin
bahwa tidak selamanya apa yang kita harapkan
akan disetujui oleh Yang Maha Menghakimi
bahwa manusia juga harus paham
membedakan mana yang bernama ekspektasi dengan apa yang diharapkan.
Dan aku hanya ingin berkaca
menyadari
bahwa selama ini, aku yang memaksa jalan ceritaku sendiri.

Aku yang memaksa hati ini untuk terus bertahan
padahal ia sudah tidak mampu
tidak tahu apapun lagi yang bisa ia lakukan.
Seperti sudah waktunya meledak
Menampung harapan-harapan kosong yang terus kubiarkan menumpuk
tanpa mau membuangnya.

Tidak.
Aku tidak terjatuh.
Terjatuh pada jurang yang kugali sendiri
dengan sebuah cinta tak bertuan lawan.
Hanya diri sendiri yang terus berjuang.

Aku tidak terjatuh.
Aku tidak mati.
Karena aku ingin terus hidup.
Untuk membuat dirimu terus bahagia
dan satu-satunya cara
adalah dengan mengikhlaskan diri ini
untuk membuka mata melihat realita.

Wahai lelaki yang namanya amat kusuka.
Sekalipun aku amat tersiksa untuk mencinta
itu karena aku telah mencinta dengan memaksamu
sebagai partner dalam permainan ini.
Itu karena ketika aku melihatmu
tak ada lagi tawa, raut wajah bahagia dalam dirimu.
Aku hanya bisa memaki diriku
sebagai wanita penjahat
perebut hati suci lelaki sepertimu.

Seperti memakan kue brownis
satu loyang.
Kamu makan satu, ketagihan.
Manis, membuatmu ingin terus memakannya.
Menghabiskannya.
Tapi,
Lama-lama rasa muak dan pahit itu akan tiba.
Karena kamu hanya memaksakan mulutmu untuk terus berusaha
mengunyah.
Hingga kerongkongan mu menelannya dengan mudah.
Tidak ada feedback yang didapat mulutmu.
Yang ada hanya lelah
dan perut yang tertawa karena kenyang tapi muak
secara diferensial.
Itu aku. Analogi diriku.

Aku hanya ingin berkaca
bahwa akan ada kebahagiaan yang luas untukmu
setelah keikhlasan ini terucap.
Terikrarkan.
Terpatri dalam otak dan hatiku.

Bebas.
Membebaslah engkau, wahai seseorang yang amat kucinta dalam hidupku
Selama 9 tahun ini.
Bersiaplah dunia yang bersedia merengkuhmu lebih lebar
menyediakan pelukan bersahabat
merengkuhmu dalam-dalam
membuat hidupmu lebih berwarna
tanpaku.
Tertawa.
Karena keikhlasanku.

Wahai seseorang yang mengantarkanku pada perubahan besar.
Ada cerita yang kau toreh dalam album kehidupanku
dan kau lukis begitu kuat
tertancap di seluruh titik-titik pikiran dan perasaanku.
Ada ribuan jenis perlakuan
milyaran kata ucapan
yang kau rekat kuat dalam perjalanan hidupku.
Biar bagaimanapun
ini salahku.
Aku yang memaksa alur cerita hidupku sendiri.
Aku yang menantang Yang Maha Kuasa Sang Pembuat Cerita Kehidupan.

Pergilah.
Kali ini kamu bebas.
Aku melepasmu dari ikatan cinta yang aku buat sendiri.
Justru karena aku mencintaimu.
Pergilah.
Berkelanalah sesukamu dan cintailah wanita yang kamu mau.
Wahai lelaki yang tak pernah kubenci sampai saat ini.
Terima kasih.
Mengajarkanku bagaimana rasanya mencintai dan dicintai dalam sekaligus
dan
mengajariku makna keikhlasan dan pengorbanan.

Maaf.
Lagi-lagi aku menangis.
Tanpa sadar.
Karena.
Aku hanya mencintaimu.

Jumat, 22 November 2013

Time Still Running, Ayo Sukses Sama-Sama!

" I still wondering where is the end of my way"
"Kalau belum berakhir, belum indah. Semangat!"
" Tapi penasaran banget endingnya dimana.."
" Kalau lo tau endingnya gimana, sama aja kayak minta Indomie nggak usah dimasak. Makan aja mentah-mentah. Semua pakai proses, penasaran endingnya yaa terus lanjut sampai endingnya diarahkan. Jangan lupa doa dan ibadah."
"Aku akan sabar. Kamu tunggu aku yah. Cepat atau lambat aku bakalan gabung ke Jakarta. Aamiin.."
"Aku nggak mau kita saling tunggu. Ayo lari bareng, ketemu di garis pas finished. Terus ngaso bareng. Lari lagi. Time still running. There's no time to wait, you just have to know how to stop. Time flies so fast. Memories  stays. Let's go dude, no time to worry with!"

***

Itu percakapan yang entah sengaja "terlihat" (nggak kepo sih, beneran keliatan dengan sendirinya) antara kedua teman saya. Dan ini yeaaah, saya rasa betul banget. Makanya saya mau izin untuk share tulisan mereka lewat blog saya.

Mungkin dalam kasus mereka adalah mengenai pekerjaan. Maklumlah, saya dan teman-teman kuliah saya (mereka teman kuliah saya) yang baru fresh graduate, apa lagi yang digalaukan kalau bukan pekerjaan terlebih dahulu.

Saya mau membahas tentang tulisan mereka ini. Poin inti tulisan mereka yang saya tangkap ada tiga. Saya ingin ajak kalian yang lagi baca blog saya juga sama-sama belajar (termasuk saya pastinya). Kalau-kalau pemikiran saya ada yang salah, please correct me.

1. "Ayo kita sukses bareng-bareng!" bukan "Gue sih mau sukses, kalo lo nggak mau, ya bodo amat" atau "Gue tunggu lo di universitas/perusahaan xxx, ayolah semangat!"

Great. Saya rasa ini yang masih amat sangat jarang ada di diri manusia. Zaman sekarang, tanya deh paling utama ke diri sendiri, ketika Ujian Nasional atau ujian-ujian lainnya (bukan pas lagi ngerjain ujiannya ya), cuek aja kalau-kalay ada temannya yang masih sangat tertinggal jauh sama pelajaran, mata kuliah, atau bahan yang mau diujikan. Sangat amat jarang ada orang yang mau dengan ikhlas dan sukarela untuk, "ayo kita belajar bareng-bareng, kalau ada yang belum ngerti kita share sama-sama". Atau mungkin nipu? Maksud saya, sebenarnya kita paham, ngerti lah dikit-dikit setidaknya, tapi pas orang lain ingin minta ajarin sedikiiiit aja dari apa yang kita tahu, paling-paling jawaban kita cuma, "Duuuh, gue juga belum ngerti nih. Serius deh. Coba tanya yang lain". Dan 'yang lain' pun juga membalas dengan kata-kata yang sama.

See? Saya pun mengakui terkadang saya masih bersikap begitu.

Atau kayak kasus nya teman saya ini tentang jobseeker. Ah, siapapun ingin sukses, saya yakin itu. Hanya saja sukses yang seperti apa? Sukses hanya untuk diri sendirinya kah?
Yaaaa, biasa sih kalau hidup setelah pasca pendidikan dan guna mencari pekerjaan, kita inginnya yaa udah jalan hidup masing-masing. Yang penting saya sudah dapat kerjaan, mencari kesuksesan sendiri. Bodo sama teman atau bahkan lebih kejamnya lagi saudara sendiri.

Tapi, apakah biasa itu sama definisinya dengan wajar?

Ah ya, bukankah kalau sama-sama sukses itu lebih indah?
Tapi memang terkadang rasa iri dan nggak adil ketika melihat orang lain yang juga sukses itu lebih berkuasa dibanding rasa puas bahwa kita sudah sukses bersama-sama.
Hidup itu memang tentang pemenang dan dan yang kalah. Tapi bukan tidak mungkin kalau semuanya adalah pemenang kan? Ini tentang hidup, bukan penilaian dari-Nya.

2. Semua butuh proses, bahkan masak mie pun juga butuh itu.

Haha. Mie nya kayaknya ga usah dipertegas juga kali ya. Cuma memang begitulah keadaannya. Lagi-lagi ini tentang hidup.
Tapi kalau tadi ibaratnya sama masak mie, saya mau ibarat-in kayak hukum I dan III Newton. Tolong koreksi saya kalau pendapat saya agak ga bagus. Hahaha.

"Setiap benda akan memiliki kecepatan yang konstan kecuali ada gaya yang resultannya tidak nol bekerja pada benda tersebut."

Hukum Newton I. Konsep sederhananya anak Fisika (SMP-SMA, ga tau kalau kuliah :p), Kalau resultan gayanya nol, benda akan tetap diam ditempat atau bergerak secara konstan. See? Untuk mencapai sukses, percuma aja lo kalau nggak ada pergerakan atau usaha bahasa bagusnya (bukan usahanya versi fisika). Nggak akan ngaruh hidup kita, samaaaaa aja kayak gitu-gitu doang. Teman-teman yang lain udah ngajak sukses bareng tapi kita nya tetap bodo amat, yaaa itu sih balik lagi ke pilihan hidup kalian. 
Semua butuh proses, dan kita lah pembuat proses itu.

"Gaya aksi dan reaksi dari dua benda memiliki besar yang sama, dengan arah terbalik, dan segaris"

Hukum Newton III. Yaaa nggak usah dibuat pusing kata-katanya. Intinya kalau versi SMP-SMA mah, gaya aksi sama besar dengan gaya reaksi. Yaaa kalau kita mau sukses, harus disesuaikan juga dong sama berapa besar aksinya kita (bahasa kita nya mah usaha). Usaha yang dilakuin sedikit, hasil yang didapat juga yaaa standar lah. Dia (Tuhan) lebih suka melihat hambaNya berusaha lebih banyak lagi.
Lagi-lagi saya setuju. Semua butuh proses. Proses yang halal. Proses yang disukai Tuhan. Usaha lebih kuat lagi dalam proses, dan temui sukses itu.

3. Ikhtiar, perbanyak doa.

Saya mau nambahin versinya.
Berdoa untuk diri sendiri, kayak nya mah tanpa disuruh untuk yang menganut monoteisme juga akan melakukannya. Tapi turut mendoakan orang lain?
Masih berat rasanya.
Saya juga terkadang merasakannnya.

Saya pernah diceritain sama guru les saya, terlepas dari mana ceritanya, yaaa ambil ibroh nya aja. Tentang ibu-ibu yang belum dikasih kesempatan untuk punya anak. Ibu itu datang ke salah seorang ustadz (katakanlah begitu) untuk menanyakan apa yang harus dilakukan oleh dia lagi selain usaha dan berdoa kepada Allah. Jawaban ustadz sederhana, beliau nggak nyuruh si ibu buat sedekah sehari 100.000 atau puasa daud dan sebagainya, tapi cuma 'mendoakan hal yang serupa untuk orang-orang yang juga merasakan hal yang sama seperti ibu itu'.

Ibu itu ngelakuinnya, dan dalam waktu sebulan, Allah mengabulkan.

Doa yang mengandung kebaikan itu akan memantul pada kita lho. Saya sering ngerasainnya.
Maksudnya bukan riya', jelas harus disertai niat tulus, bukan karena supaya doa baiknya benar-benar memantul ke saya juga.
Dan tulus itulah yang sedikit atau bahkan sulit dilakukan. Makanya ayo kita belajar!

Ya. Mendoakan orang lain untuk bisa sukses kayak kita, kenapa tidak? Kalau ada teman kita bilang, "bro, doain gue ya supaya gue lulus juga UN nya" atau "doain gue ya, supaya gue lolos bisa masuk keterima di perusahaan xxx" atau "doain aku ya supaya aku betulan keterima di universitas xxx", bukan hal yang sulit juga bukan untuk mengamini dalam hati seikhlas mungkin?

Kalaupun suatu saat nanti ternyata "aamiin"-an kita dikabulkan, dia lebih sukses dari kita, mengapa galau? Toh Tuhan sudah tentukan siapa rezekinya dimana dan berapa, tidak akan pernah tertukar. Tidak akan pernah selama usaha meraihnya itu benar.

***

Ah ya, sekali lagi tulisan saya ini pun juga masih belajar. Maksudnya, saya pun ingin membagi bersama kalian, bahwa, Ya! Ayo kita sama-sama berhenti egois. Ayo kita semua saling mendoakan, jangan belagu sendirian, pamer takdir kebaikan kalian didepan orang-orang yang masih mencari. Ayo kita sama-sama sukses untuk diri, keluarga, dan negara kita. Bukan munafik ketika saya bilang sukses untuk negara. Negara ini sudah bobrok keadaannya, makanya kita harus sukses juga untuk negara kita.

Sukses itu kita yang memulai, kita subjeknya, hidup objeknya. Ayo kita nikmati prosesnya dengan usaha terbaik kita..

Terakhir, ayah saya pernah bilang ke saya, dulu waktu saya masih belum dapat universitas manapun. Beliau cuma bilang hal yang sederhana, "Kamu itu anak baik, Allah pasti kasih yang terbaik". Dan saya akan mendoakan hal yang sama juga pada kalian. saya percaya kalian orang yang baik-baik juga, maka Allah juga pasti akan berikan yang terbaik untuk kalian.

Ayo kita sama-sama semangat! :)

Rabu, 23 Oktober 2013

Tahun ke-17 Untukmu, Dariku


Salah satu orang yang saya sayangi sudah berumur 17 tahun.

I always bully you when you were a baby.

Waktu dia masih kecil, saya sayang banget sama dia, cuma mungkin caranya yang berbeda.

Saya tahu dia lahir ditahun yang kurang tepat, dimana perbedaan perlakuan lingkungan antara saya dan dia jauh berbeda. Saya punya panggilan "sendiri" buat dia, yang sampai saat ini masih saya rahasiakan. Saya suka ngejailin dia, meski hanya sekedar nyubitin pipinya yang berakhir saat ini pipi dia habis karena sering saya cubitin (haha).

Saya suka bawa dia ke kamar tidur, bareng nenek saya. Nanti nenek saya bacain cerita-cerita nabi dan rasul atau cerita-cerita rakyat khususnya cerita dari minang, atau dinyanyikan lagu-lagu minang. Dia pendiam banget, kayaknya pasrah saya apain aja. Meskipun suka nangis gara-gara saya becandain, tapi kayaknya lempeng aja tanggapan sesudahnya. Dulu bahkan saya pernah berpikir, apa dia benci sama saya ya gara-gara suka saya kerjain?


Waktu dia masih bayi, saya nggak pernah berani buat gendong dia. Takut. Tapi suatu waktu saya memberanikan diri buat gendong dia. Dulu saya keciiiil banget, gendong bayi pun rasanya susah payah. Tapi ketagihan. Semakin berani saya gendong dia, saya mulai bereksperimen buat putar-putar-in dia sambil gendong. Kayaknya saya nggak peduli apa dia bakalan puyeng atau nggak. Kalau dia lagi dimandiin, saya ciprat-cipratin air ke mukanya, nggak peduli masuk ke matanya.

Sekali lagi saya penasaran, apa waktu dulu dia punya rasa benci sama saya?

Waktu itu dia pernah jatuh di tempat tidur orang tua saya, di sela-sela tempat tidur dan tembok. Panik. Takut kenapa-kenapa. Dia suka banget jatuh. Sering banget diurut gara-gara keseleo pas bayi. Pernah waktu itu badannya biru kayak abis keseleo nggak tahu gara-gara apa.

Semakin besar, dia nggak sebenarnya nggak banyak tingkah. Malah untuk ukuran anak laki-laki, dia tergolong anak yang pendiam.

Dia lahir di tahun dengan kondisi yang jauh berbeda dengan saya. Kalau dulu saya waktu kecil masih suka diajak jalan-jalan, dibawain makanan melimpah dari ayah saya, tiap sabtu atau minggu ada aja kegiatan diluar rumah, dibelikan mainan yang saya syudia tidak merasakan itu. Kalaupun pernah itu sangat-sangat jarang.
Dia lahir di zaman revolusi dimana semua harga naik dan ekonomi keluarga yaa standar-standar saja. Dia jarang sekali menikmati indahnya kemudahan dunia sejak kecil.

I used to hate you, seriously.

Saya pernah membenci dia. Serius. Saat dia mulai masuk sekolah menengah pertama, saat dia mulai menginjak masa remaja. Bukan, bukan karena aku iri akan segala sesuatunya. Bukan karena dia lebih diperhatikan oleh siapapun. Sama sekali bukan.

Saya benci dia bergaul dengan teman-teman disekitar rumahnya.

Bukan melarang untuk bergaul dengan orang lain, tapi saya melihat teman-temannya agak membawa dampak yang buruk ke dirinya. Omongannya mulai kasar, sering membantah perkataan orang-orang dirumah, meskipun masih belum jauh dikatakan "berandal", tapi saya benci dia.
Saya pernah bilang, "Nggak usah main sama dia. Omongan kamu tuh kayak nggak dijaga banget"

Saya nggak bermaksud untuk membedakan antara anak-anak yang mengenyam pendidikan di "tempat yang baik" dengan di "tempat yang tidak baik". Saya rasa itu juga tergantung pribadinya masing-masing. Tapi untuk kondisi ini, saya benci dia bergaul dengan orang-orang yang seperti itu.

Karena saya nggak suka tingkahnya, sering banget saya bentak-bentakin dia. Dia minta bantuan apapun ke saya, saya nggak mau bantuin dia. Tingkahnya selalu buat bikin saya emosi, entah karena apa. Pikiran saya selalu negatif terus sama dia. Tiap dia ngomong apapun, rasanya benci aja dengar kata-katanya.
Tante saya pernah bilang, "Jangan suka bentak-bentak. Dia itu yang nanti bertanggung jawab sama kamu kalau papa udah nggak ada."

Lagi-lagi saya penasaran, apa saat itu dia juga benci sama saya?

And the Life must Go On...

Saya paham, dia sangat ingin mengubah dirinya. Saya suka bilang ke dia, "Ikutan kek organisasi. Yang bener tapi. Rohis kek, OSIS kek, jangan diem doang di sekolah".
Saya tahu, sekacau apapun tingkahnya di rumah, kalau di sekolah dia nggak akan pernah macam-macam. Dia nggak pernah buat ulah yang sampai dimarahin guru di sekolahnya.

Tapi saya tahu, dia jauuuuuh lebih berusaha dibanding saya. Saya paham itu. Dan itu membuat rasa benci saya padanya mulai berkurang sedikit demi sedikit.
Saya tahu perasaannya berada di lingkungan dimana aku dan kakak ku bisa mengenyam pendidikan di sekolah favorit di kota aku, sedangkan dia bisa dibilang sulit untuk bisa mendapatkannya.

Saya tahu dia pintar, hanya saja malas.

Perjuangan ayah saya untuk mati-matian supaya dia bisa keterima sekolah di tempat yang baik, jauuuuh lebih besar dibanding saat saya dan kakak saya.

Saya tahu, dia ingin bisa seperti saya dan kakak saya. Saya tahu dia punya keinginan kuat untuk bisa sekolah di tempat yang sama denganku dan kakak ku. Saya tahu.

Saya jahat, suka ngatain dia cuma bisa dapat SMA yang bukan negeri. Bukan. Maksud saya bukan untuk hal-hal negatif.
Tapi seriously, saya ingin dia saya terpukul dan mau mati-matian ngubah dirinya.
Saya nggak bilang usaha saya berhasil atau nggak, itu kembali lagi ke pribadi masing-masing. Tapi saya tahu dia berusaha.

Saya tahu dia berusaha mati-matian belajar karena dia malesnya minta ampun buat belajar, sampai akhirnya dia selalu bisa dapat peringkat di kelasnya sejak kelas satu SMA. Saya tahu dia mulai punya cita-cita, berusaha ingin menjadi kakak-kakaknya. Meskipun kakak-kakaknya apalagi terutama saya, masih jauuuuuuh dibilang "hebat" buat hidup dia.

You Getting Older, I Hope You'll be Wise and You'll Get All Your Dreams.

Saya ingin sukses, sungguh.

Tapi entah kenapa, tekad saya bertambah sedikit dengan pemikiran, "Kalau saya tidak sampai mencapai keinginan saya, demi apapun, saya ingin lihat adik saya berhasil dengan cita-citanya."

Dulu saya punya cita-cita jadi dokter. Mati-matian banget ingin jadi dokter sampai SMP, saya harus sadar diri. Sadar diri bahwa menjadi dokter itu butuh biaya yang nggak cuma seberapa, sadar diri bahwa menjadi dokter tidak bermasalah dengan kesehatan matanya (kalaupun ada, tidak sebesar miopi yang saya alami), sadar diri bahwa menjadi dokter itu butuh jiwa sosial yang tinggi, sadar diri bahwa menjadi dokter itu lebih dari sekedar cita-cita, harapan, obsesi pribadi, tapi kehadirannya betul-betul menyangkut nyawa manusia. Bukan cita-cita sekedar cita-cita. Bukan cita-cita mainan.
Dan saya sadar diri, kita bukan orang yang punya materi jauh lebih banyak untuk berjuang memperoleh itu.

Tapi Allah mentakdirkan jalan yang lain, dia belokkan saya ke jurusan yang jauuuuuh berbeda dari apa yang saya kumpulkan dan saya minati semenjak SD. Saya suka IPA, saya sangat suka biologi, bahkan ketika masa-masanya menuju perguruan tinggi, saya mati-matian belajar supaya bisa masuk jurusan Bioteknologi ataupun Biologi.

Tapi saya ditakdirkanNya di jurusan sosial.

Dirinya sering bertanya, karena sudah kelas 3 SMA, jurusan apa yang bagus buatnya. Saya jawab, tapi saya nggak mau maksa dia. Saya tau dia punya minat sendiri, sekalipun saya bilang, "Ekonomi itu bagus!" atau "Akuntansi juga bagus, lowongan kerjanya banyak" atau "psikologi aja, itu juga banyak lowongannya kalau kerja".

Bukan. Jangan ambil kata-kata saya mentah-mentah.

Ilmu yang akan kamu ambil semata-mata bukan untuk ditukarkan dengan uang dikemudian harinya. Jangan sampai kamu berpikir begitu. Saya berkata demikian, hanya supaya kamu sadar, bahwa kenyataannya diluar sana memang yang menjadi minat kebanyakan orang-orang mengambil suatu jurusan untuk di kemudian harinya adalah itu.

Tapi saya jauh lebih menyukai diri dia mengikuti apa yang jadi cita-citanya.

Saya mungkin bisa bilang, cita-cita dia jauh lebih realistis dibanding saya dulu. Dia sangat suka bahasa asing, terutama Inggris dan Jepang. Pemahaman dia ke bahasa asing jauuuuh lebih baik dibandingkan hitung menghitung.
Dan saya tahu dirinya ingin masuk perguruan tinggi dengan jurusan bahasa asing seperti Inggris dan Jepang itu.

Mengapa tidak?

Jangan pernah takut dikemudian hari kamu akan menghasilkan apa. Jangan pernah takut kamu tidak dizinkan orang tua. Jangan pernah takut untuk terus berjuang mendapatkan apa yang kamu mau.

Saya paham, Inggris-Jepang juga favorit banyak orang, dan saya tahu dia mungkin minder.

Kamu,
Pernahkah merasakan bahwa ketika kamu merasa tidak punya "apa-apa" selain usaha semampu kamu, akan ada kekuatan jauh lebih dahsyat untuk mendorongmu ke jurang kesuksesan?
Doa orang-orang disekeliling kamu jauh lebih berarti dibanding segalanya.

Jangan pernah takut dengan teman-temanmu yang bisa les ditempat mahal, mewah, dengan paket "pasti lulus PTN dan jurusan yang diinginkan".
Jangan pernah takut dengan teman-temanmu yang mungkin kemampuan bahasa asingnya jauh lebih bagus karena mereka berkesempatan untuk mengikuti pendidikan non-formal bahasa asingnya.
Jangan pernah takut dengan teman-temanmu yang bisa beli buku-buku soal dengan harga mahal, selengkap-lengkapnya, sebanyak-banyaknya, sedangkan kamu hanya punya seadanya.

Berusahalah semampumu. Dan berdoalah.
Meminta padaNya jauuuuuh lebih hebat dari itu semua.
Dan saya selalu mendoakan yang terbaik untukmu.

Kamu,
Pilihlah yang terbaik, dan sekali lagi bukan karena dikemudian hari ingin memperloeh uang sebanyak-banyaknya. Pilihlah sesuai apa yang kamu harapkan dan jadilah salah satu orang yang sadar bahwa negara ini butuh orang-orang yang betul-betul mencintainya.
Kalaupun Allah mempersilahkan kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan melalui bahasa asing, maka bantulah. Bantulah negara ini untuk bisa bersaing dengan negara lain.

Ah ya, kata-kata saya bukan hanya sekedar kata-kata omong kosong belaka. Saya rasa negara ini memang butuh orang-orang yang betul-betul mencintainya sepenuh hati tanpa ada campur tangan negara lain.

Dia, semoga umur yang dewasa ini juga turut mendewasakannya,
menjadi bijak pun adalah suatu pilihan dan semoga dia memilihnya,
dan semoga Allah membantunya mendapatkan apa yang dia inginkan dan memberkahi setiap jalannya.

And He is My Brother...
Dia adik saya, yang sedang berusaha menjadi lebih dibandingkan kakak-kakaknya. Berusaha supaya bisa mendapatkan jalur undangan meskipun dia paham dan sering minder karena dia hanya sekolah di sekolah swasta dan masih banyak yang jauh lebih pintar dibanding dia. Berusaha menjadi aktif di sekolahnya sebagai ketua rohis untuk pertama kali dalam hidupnya merasakan organisasi dan berhubungan dengan banyak orang sekaligus menjadi pemimpin. Berusaha sebaik mungkin memperbaiki prestasi belajar formalnya, setidaknya untuk orang tuanya.

Allah melihat semua.
Percaya itu.
"The most three important words you can say to yourself : Yes, I can."
And i believe, you can.

Rabu, 28 Agustus 2013

Adagio-Smorzzande

"Karena sekeras apapun aku menjadi baik, tidak akan pernah berakhir padamu. Itupun karena aku yang terlalu memaksakan diri, merasa kamu masih peduli denganku padahal sedikit pun tidak.

Kamu, setiap pertanyaan berkawan baik dengan jawaban. Yang Maha Kuasa berikan satu per satu, sedikit demi sedikit, hingga seharusnya aku tak perlu menagih kembali tentang kumpulan jawaban itu dan semoga kamu senantiasa bahagia disana.

Ah ya, hari ini langit biru indah.
Menyejukkan, menentramkan.
Tapi kali ini aku lebih memilih hujan."

***

I.

Ribuan kali terlintas dalam benak,
mampukah manusia mengubah takdirnya sendiri?
Satu per satu, terus menerus
Karena pertanyaan kehidupan terus merenggut kemungkinan-kemungkinan
Hingga akhirnya tak satu pun yang mampu menghindar
ketika Tuhan katakan,
"jadilah"
Maka yang terjadi, terjadilah
Sampai waktunya tiba.
Kalau manusia mengeluh tentang kehidupan hanya karena
Tak kunjung berujung bahagia,
Tak kunjung tercapai segala harapan dan asa,
Lantas akankah diri bertemu dengan dosa?

II.

Begitu pula aku.
Menunggu.
Mengharap secuil keinginan tentang cita, cinta, dan harapan
Tentang masa yang akan datang
Tentang dia.
Bagiku ini tak semudah cerita-cerita yang pernah kulihat,
kudengar,
Seakan waktu penentuan berjalan lambat dengan sengaja
Atau memang itu suatu tantangan
tersendiri dari Tuhan untuk
hambaNya?
Satu.
Tiga.
Lima.
Tujuh tahun lamanya.
Bahkan bisa jadi dua belas atau enam belas.
Kapan penantian ini sampai di penghujung batasnya?

III.

Tuhan berikan pertanda,
tapi siapa dinyana?
Siapa tahu itu hanya kinerja otak dan perasaan yang sibuk mengada-ada
Mengkaitkan si pertanda dengan si harapan.
Semakin lama semakin besar
Bahkan tanpa disadari, perasaan terus menuntut pada si kejadian hidup.
Ah ya, Tuhan.
Bukankah hidup ini adil?
Maka selama apapun aku menunggu,
akan ada "sesuatu" yang Kau siapkan
Berapa lama lagi Tuhan?
Tapi sekelilingku terasa begitu hangat.
Aku menikmatinya.
Aku tidak menyesal untuk terus bertahan.

IV.

Setiap pertanyaan berkawan baik dengan jawaban.
Kau berikan jawaban satu persatu,
Sedikit demi sedikit
Hingga aku tak perlu menagih
kembali tentang kumpulan jawaban.

V.

Langit biru indah.
Menyejukkan, menentramkan.
Takdir selalu yang paling baik,
yang paling benar.
Tak akan salah apalagi tertukar.
Sekalipun berbeda 2x360° dari sesuatu yang disebut harapan.
Tidak akan ada yang sia-sia
Tuhan akan selalu siap, menyimpan rapat-rapat sejenak.
Dia,
Berikan pilihan terbaik untuk membawakan
kebahagiaan untuk setiap hambaNya
Betapapun manusia tetaplah manusia.

Langit biru indah.
Menyejukkan, menetramkan.
Tapi kali ini aku lebih memilih hujan.

***

(*Dalam musik terdapat istilah tanda tempo, yaitu tanda yang digunakan untuk menunjukan cepat atau lambatnya sebuah lagu yang harus dinyanyikan. Dan adagio termasuk salah satu kategori tanda tempo sangat lambat dengan penuh perasaan.

Dan terdapat istilah tanda dinamik, yaitu tanda utuk menyatakan keras, lembutnya sebuah lagu yang dinyanyikan. Tanda dinamik memiliki beberapa perubahan setiap lagu dimainkan. Salah satunya adalah Smorzzande, yaitu sedikit demi sedikit menghilang.)

Selasa, 16 Juli 2013

Buatku, Kamu, dan Waktu-Waktu yang Berjalan - 11

Kamu, apakah kamu tahu? Sekarang aku mulai memahami makna realistis. Bahwa dalam hidupku saat ini ada yang jauh lebih penting, jauh lebih berharga untukku pikirkan, ku lakukan, dibandingkan atas segala halnya mengenai kamu.
Kali ini aku ingin berjuang untuk keluargaku. Dan hal ini semakin menyadarkanku bahwa selama apapun aku menunggu atau lebih tepatnya lagi mengharapkanmu, keinginan itu seakan mustahil terwujud untukku.

Jangan. Kamu orang yang baik, bahkan sangat baik. Berasal dari keluarga yang baik-baik, sangat berkecukupan, hebat, hangat, dan kriteria terbaik lainnya untuk sebuah keluarga. Dan itu masih sangat jauh dengan hidupku saat ini.

Bukan. Bukannya aku membenci keluargaku. Bahkan aku amat sangat mencintai mereka. Maka dari itu, aku rela memohon habis-habisan supaya aku bisa membahagiakan, membantu, atau membanggakan mereka. Aku hanya ingin agar cukuplah nanti aku memperoleh seseorang yang sama kondisinya, sama kadar keimanannya, dan apapun itu.

Dimataku, kamu semakin hebat. Dan hal ini bersinergi dengan perasaanku yang benar-benar ingin menyerah.
Sungguh.
Aku takut makin mencintai orang sepertimu.

Kamu.
Aku tahu, sekeras apapun, sesetia apapun seseorang mencintai, kalau bukan jodohnya, tentu tidak akan dipertemukan. Tapi entah mengapa, hati dan pikiran ini amat sangat membatu.
Mengeras.
Rasanya tak bisa dilunakkan untuk mencoba mengikiskan semua harapan tentangmu.

Karena yang terbaik hanya untuk yang terbaik juga, bukan?
Dan aku percaya, aku juga akan mendoakan, selalu, bahwa kamu akan mendapatkan seseorang yang terbaik dengan lingkungan yang baik pula.

Kamu. Aku akan terus belajar untuk ikhlas menerima kenyataan. Aku sedang berjuang untuk itu kok. Supaya hidupmu pun tenang, tanpa gangguan aku lagi.

Kamu.
Terima kasih banyak.
Aku boleh mengatakannya, kah?
Doakan aku agar bisa menggugurkan satu per satu perasaan ini.
Aku mencintaimu.
Sampai saat ini.

Rabu, 03 Juli 2013

Kalau Suatu Saat Nanti Aku Menjadi Seorang Ibu...

Allah, boleh aku meminta, mengaku. sekaligus berjanji kepadaMu kali ini? Aku ingin sekali suatu saat nanti menjadi seorang ibu terbaik untuk anakku, jikalau Engkau mengizinkanku untuk memilikinya. Aku ingin melahirkan anak-anak yang bisa merasakan hidup lebih baik dibandingkan aku, aku ingin mereka bisa merasakan bangga mempunyai seorang ibu seperti aku. Aku ingin memberikan perlakuan cinta yang luar biasa untuknya, agar mereka juga bisa merasakan dengan nyata, dengan jelas, bahwa dihidupnya ada orang yang begitu mencintainya. Tulus. Tanpa pamrih.

Allah, jika nanti aku diberi kesempatan menjadi seorang ibu, aku ingin seperti ibu, yang tidak pernah mengeluh mati-matian mencari cara halal hanya untuk menghidupiku. Bekerja, siang-malam, bahkan kadang kala hari libur pun tidak pernah sedikitpun ia mengeluh tentang itu. Aku ingin seperti beliau, yang selalu mati-matian mengadakan apa yang aku dan saudaraku lain butuhkan. Aku tahu ketika aku membutuhkan sesuatu apalagi yang bernama uang secara mendadak, tidak selamanya ibuku punya uang untuk menutupi kebutuhanku, tapi entah mengapa dia selalu mengabarkanku bahwa kebutuhanku bisa dipenuhi dengan segera. Aku tahu ibuku berusaha sekeras apapun, secara halal, bahkan bukan tidak mungkin seringkali beliau mesti menahan malu hanya untuk berhutang demi keluarganya.

Aku tahu dan sesungguhnya aku pun tidak sampai hati hanya sekedar mengucap namanya tapi untuk sekedar meminta sesuatu, tiap hari, tiap hari, dan tiap harinya. Aku tahu ibu pasti bingung ketika saat itu, karena kalau aku berada di posisi yang sama sepertinya, aku pasti tak akan kuat. Tapi ibu selalu kuat, aku ingin seperti dia. Sungguh. Semoga Kau terus limpahkan rezeki yang luar biasa untuknya, aku, dan keluargaku lainnya. Supaya aku tidak perlu melihatnya bekerja setiap hari, bahkan tidak jarang merelakan kerja yang lebih ke luar kota hanya untuk menjemput rezekiMu. Supaya aku juga bisa membantunya mengembalikan semua apa yang sudah dipinjamkannya untuk menghidupkan keluargaku dengan sepenuhnya. Supaya nanti, aku bisa menghidupkan anak-anakku lebih baik dan bisa membahagiakan mereka.

Allah, aku ingin seperti ibu, yang selalu menyempatkan tiap harinya menanyakan kabarku, sekalipun ia sedang tidak ada dirumah karena kerjaannya. Ibu selalu menyediakan waktu walau hanya beberapa menit untuk sekedar mendengar suaraku, mengetahui apakah aku sudah makan, dan baik-baik saja. Kalaupun tidak sempat menelepon, setidaknya ibu selalu mengirimkan pesan serupa dalam bentuk tulisan yang muncul di handphoneku. Allah, bahkan ketika melihat namanya tertera di layar handphoneku pun tak jarang aku meneteskan air mata. Sekalipun aku dan keluargaku lainnya tidak menanyakan kabarnya, dia akan selalu menanyakannya. Pasti. Aku ingin seperti ibu, yang cintanya tak pernah alpa untukku dan yang lainnya.

Allah, aku ingin seperti ibu, yang selalu mengutamakan kepentingan anaknya dibandingkan dirinya sendiri. Kadang ibu memilih menyimpan makanan yang didapat hasil pemberian teman-temannya atau jatah makanan dari tempatnya bekerja kalau ada suatu acara hanya supaya aku dan yang lain bisa merasakan makanan yang enak. Sekalipun komentar yang didapat dari anak-anaknya mungkin komentar negatif seperti, “ah makanannya udah dingin kayak gini” atau “ah, ginian mulu bawaannya”, tapi ibu tak pernah marah, tak pernah jera dengan komentar-komentar tega kepadanya, malah membalasnya dengan kata-kata yang tidak pernah menyalahkan. Begitu pula ketika ibu memasakkan masakan untuk keluarganya, tidak jarang komentar negatif justru keluar yang didengarnya. Padahal, demi apapun justru aku selalu menunggu masakan buatannya. Aku tahu, kalau aku di posisinya pasti sakit, tapi ibu punya hati lapang yang begitu luasnya.

Kalau aku membutuhkannya, memintanya ikut bersamaku padahal pada saat itu ibu sedang ada keperluan bahkan yang sangat sulit untuk membatalkannya, ibu tetap memilih pergi bersamaku, menungguku, sampai urusan ku selesai terlebih dahulu. Aku tahu, pasti nanti ibu dimarahi atasannya, tapi ibu tak pernah mengeluh, tak pernah takut. Ibu justru takut kalau aku kenapa-kenapa atau apakah aku bisa pulang sendirian tanpanya. Aku ingin seperti ibu, yang punya firasat luar biasa terhadap anaknya. Ibu tahu ketika aku punya masalah sekalipun aku tak menceritakan padanya, ibu tahu ketika aku sakit dan memberikan perhatian dengan caranya yang mungkin tidak secara jelas, nyata, tapi aku merasakannya. Sekalipun ketika justru ibu yang merasakan hal seperti itu, justru tidak ada yang peduli dengannya. Karena aku tahu, sejatinya tangan seorang ibu, ucapan menenangkan seorang ibu adalah kekuatan penyembuh yang terbaik dibandingkan obat sekalipun. Aku ingin sepertinya, ya Allah. Sungguh.

Ibu lebih memilih aku dan yang lainnya lebih maju, lebih modern, lebih hebat dibandingkan dirinya. Ibuku memang bukan ibu yang modern seperti ibu-ibu beberapa temanku. Ibuku tidak bisa bahasa Inggris, ibuku tidak mengerti film-film keren apa yang sedang diputar dibioskop, ibuku tidak tahu artis-artis luar negeri, ibuku tidak tahu buku-buku yang menjadi best seller saat ini, ibuku tidak tahu model-model pakaian saat ini, tas-tas branded dengan harga-harga mahal, gadget-gadget canggih, bahkan sekedar internet pun juga setengah paham. Tapi ibu mati-matian menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin atau mengizinkan aku untuk les, membelikan gadget yang aku inginnya semampunya, pakaian-pakaian, hanya karena tahu aku menyukai hal itu. Dan ibu ingin membahagiakan aku dengan caranya sekalipun aku tahu ibu juga mati-matian mencari biaya untuk membayarnya. Nanti, aku juga ingin suatu saat nanti anakku menjadi lebih hebat dariku. Aku ingin sepertinya, ya Allah. Sungguh.

Allah, ibuku memang bukan orang yang begitu terang-terangan menunjukkan rasa cintanya kepada anaknya, tapi aku tahu dia tak pernah lupa mendoakan yang terbaik dan merelakan apapun yang ia bisa hanya untuk anak-anaknya. Aku tidak pernah malu dilahirkan olehnya dalam keadaan yang tidak seberada seperti orang-orang kaya lainnya. Aku tidak pernah malu mempunyai seorang ibu sepertinya.

Allah, jika engkau mengizinkan aku suatu saat nanti menjadi seorang ibu, aku ingin menunjukkan rasa cintaku kepada anakku secara terang-terangan tetapi juga memiliki kehebatan luar biasa yang dimiliki ibuku selama membesarkan aku sampai saat ini. Aku ingin seikhlas ibu ketika kesedihan dan kesulitan dalam hidup itu menghampirinya, ketika menatap kesedihan demi kebahagian anaknya, ketulusan tanpa pamrihnya, dan kecintaan yang tak pernah berkurang darinya.

Mom, thank you for at least trying to understand where i’m coming from, for listening to me without judgement, for always being there, and for everything that you give to me.

Kamis, 27 Juni 2013

Hai Teman! Apa Kabar?

Dulu, saya pernah merasakan, saat dimana yang seharusnya anak kecil itu yaaa masanya buat bermain-main, punya teman sebanyak-banyaknya, ketawa-tawa saling bercanda, tapi itu semua nggak berlaku dalam hidup saya.

Bukan kok. Saya nggak bermaksud mencurhatkan waktu dulu saya kayak apa. 
Tapi ini tentang apa yang dinamakan "Teman".

Baiklah.
Mungkin efek yang saya dapatkan dari "masa" itu yang menjadikan saya punya pemikiran yang berbeda soal yang namanya "teman". Selama kurang lebih 9 tahun lah saya "tertampak" di mata orang lain sebagai orang yang anti sosial, pendiam minta ampun, jarang banget keliatan main kesana kemari sama orang lain (yang sebaya lah yaa setidaknya), dan itu terjadi baik di lingkungan rumah ataupun di sekolah. 

Atau jangan-jangan sampai sekarang masih ada yang menganggap saya begitu?

Itu terjadi bukan karena saya nggak mau membuka diri, berusaha berteman dengan orang lain, tapi justru rasanya saya "disingkirkan".

Ah, mungkin itu perasaan doang kali, Del. Lo nya aja yang nggak mau bergaul.

Bisa jadi. Di lingkungan rumah saya (yang rumahnya dekatan sama saya), yang sebaya sama saya kebanyakan laki-laki. Dan saya memang memilih untuk dirumah, main sama kakak saya, punya boneka, mainan apapun banyaaaak banget, nonton kartun-kartun apapun dirumah sama kakak saya. Tapi kalau disaat kamu merasakan dunia sekolah untuk pertama kalinya, kamu tiba-tiba dicubit tanpa tahu salah apa dan itu karena kamu nggak boleh baris di depan dia, bagaimana? Atau ketika kamu duduk tenang-tenang saja di mobil tiba-tiba diomongin sama orang-orang semobil dengan tatapan yang sadis minta ampun dan kalau turun dari mobil dijorokin kayak sengaja biar cepat-cepat keluar, bagaimana? Atau ketika kamu mau ngambil sesuatu rasanya adaaaa aja yang ngerebut itu dari tangan kamu, bagaimana? Padahal saya nggak tahu salah apa, bertingkah apapun juga nggak.

Kejadian yang terus menerus selama dua tahun. Dan berdampak terus sampai umur saya 9 tahun.

Saya takut sama orang lain. Sumpah. 
Selama SD sampai kelas 3 SD tepatnya, saya iri sama teman-teman saya yang bisa bercanda dengan hebohnya, ketawa-tawa, jajan bareng disekolah, ribut sana sini, sumpah saya iri. Untuk ngomong sama teman saya pun saya hati-hati banget, takut kalau-kalau saya salah omong dan dibenci satu sekolahan. Berangkat sekolah atau pulang pun saya ngintilin kakak saya terus.

Saya iri tapi takut dalam waktu yang bersamaan. 

Saya nggak tahu mau ngelakuin apa dikelas, jadi kalau kata orang, saya mah kerajinan banget. Lagi istirahat kadang-kadang ngerjain soal-soal dibuku pelajaran sambil makan bekal dari rumah atau kalau dulu saya paling suka banget buku pelajaran Bahasa Indonesia, soalnya banyak cerita-ceritanya. Makanya kalau dulu pelajaran Bahasa Indonesia, kadang pas baca cerita di buku kan guru baca duluan baru murid ngikutin bacaan guru, saya paling sebal adegan itu. Kelamaan. Baca kayak gitu doang bisa satu jam pelajaran.

Nggak niat belagu kok. Tapi seriusan, secara nggak sengaja semua waktu saya di sekolah saya habisin buat belajar. Saya pernah dicariin kepala sekolah cuma karena nggak sengaja pipi teman saya kena coret pulpen sama saya. Dan saya sampai nggak mau sekolah besoknya, mohon-mohon sama ibu saya supaya nggak sekolah.

See? Berlebihankah saya untuk ukuran usia segitu? Yaaa entah lah buat yang lain bagaimana memandangnya.

Dan pandangan saya sama yang namanya "teman" itu berubah drastis, saya nggak percaya sama orang yang bisa dijadiin teman, rasanya lebih baik sendiri. Tapi beruntunglah saya, yang namanya prestasi benar-benar menolong secara nggak langsung. Saya dikenal sama guru-guru sama satu angkatan yaaa cuma karena rangking satu mulu kayaknya. Tapi setidaknya itu membantu saya buat bisa "berbicara" dengan orang lain.

Sekali lagi bukan nyombong, kayak ginian apa yang mau disombongin juga?

Bahkan waktu pertama kali masuk SMP dikelas saya sebagian besar anak-anaknya dulu satu SD sama saya, tapi saya nggak kenal mereka. Parah banget ya? Dan saya mati-matian banget buat merubah diri saya untuk "berani" kenalan sama orang.

Oke, dan saat ini saya sudah kebiasaan nggak malu buat kenalan sama orang yang baru saya temuin. Tapi pemikiran saya tentang "teman" tetap sama sampai sekarang. Karena ada satu hal yang membuat pribadi saya merasa, "semua orang nggak ada yang boleh ngerasain kayak saya dulu". Karena saya tahu rasa sakit dan irinya itu seperti apa.

Saya nggak mau melihat orang yang diam saja, karena pemalu, sementara disebelahnya ada orang dengan geng nya cekakak-cekikik, gebuk-gebuk meja, senang sekali rasanya, padahal disebelahnya juga temannya tapi memang bukan geng nya.
Saya nggak mau melihat orang yang diam saja ketika tahu dia berada di tempat dengan orang-orang yang sama sekali nggak ada yang dia kenal.
Karena dulu saya penah ngerasain. Untuk ngomong "Namanya siapa?" atau "Ikutan dong, ngomongin apa sih?" aja itu susah. Rasanya keringat dingin kayak mau diinterogasi sama polisi.

Rasanya saya ingin menunjukkan, "ayo kita ngobrol sama-sama" ke orang-orang yang seperti itu.

Ya, pemikiran saya tentang "teman" yang tetap sama sampai sekarang hanya karena satu hal. Buat saya, saya lebih suka mereka yang "bercerita" untuk saya apapun itu, tapi tidak untuk saya. Buat saya, saya lebih suka "tidak ikut campur" sekalipun saya geng mereka, dibandingkan saya ikut-ikutan kepo dan rusuh hanya karena perbincangan tertentu. Buat saya, saya lebih baik ketawa, senyum, atau bentuk timbal balik sejenis lainnya dibandingkan harus berkomentar panjang lebar.
Cuma karena satu hal.
Saya takut kehilangan teman. Saya takut saya melakukan hal yang salah dan teman saya hilang.

Yaaa, begitulah efeknya. Sampai sekarang.

Buat saya tidak masalah ketika teman, sahabat, atau apapun itulah  tidak tahu makanan kesukaan saya, kebiasaan saya seperti apa, ulang tahun saya kapan. Tapi saya selalu mencoba mengingat apa saja yang ada dari "diri" mereka. Makanya terkadang saya suka masih "mengingat" hal-hal atau kejadian yang bahkan terlupakan sama teman-teman saya.

Karena saya menghargai sekali yang namanya pertemanan, Tapi saya tetap tidak bisa membagi kejadian hidup saya pada mereka.

Toh, terkadang orang lain mengaku "bersahabat" dengan yang lainnya, tapi mereka tidak tahu kapan sahabatnya ulang tahun, apa makanan kesukaannya, apa buku yang suka dibacanya, dan hal wajar lainnya.
Dan begitulah pandangan saya terhadap yang namanya "teman".

Ah ya, untuk semua manusia di dunia, saya rasa tidak ada satupun orang di dunia ini yang ingin "didiamkan" atau "terkucilkan". Tidak selamanya yang pendiam itu karena dia anti-sosial, nggak mau bergaul, atau apapun itulah. Kalau ada orang yang bukan (katakanlah kelompok kita) disaat kita sedang bersama teman-teman yang lain, nggak ada salahnya untuk sekedar berkenalan atau basa-basi formalitas, kan? Biarlah dibilang sok akrab, karena saya rasa semua orang lebih memilih hal itu dibandingkan diam saja, karena itu tandanya dia diterima sama sekitarnya.

Jadilah teman yang baik untuk teman kalian.

Hai teman! Apa kabar? 
Terima kasih. Siapapun kalian, dimanapun kalian, masih mengingat atau bahkan sudah melupakan sekalipun.
Sekali lagi, terima kasih.







Sabtu, 22 Juni 2013

Tentang Rahasia

semenjak senja beranjak perlahan-lahan
malu-malu tanpa menyampaikan salam perpisahan
hingga berpapasan dengan bintang gemintang yang
entah mengapa malam ini begitu bersemangat
memancarkan kilaunya amat terang
sekalipun suasana lebih hening dari biasanya
beserta angin yang menggetarkan dedaunan dengan lembutnya
utuh

senyap ini damai
tanpa alasan dan memang tidak perlu meminta alasan
alam mengetahui segalanya termasuk pertanda sang Kuasa
lantas apa yang akan mereka tawarkan sebagai pengganti ketenangan ini
masih berbentuk kerahasiaankah

semua berjalan dengan seutuh-utuhnya kombinasi yang nyata
untuk setiap makhluknya

Minggu, 21 April 2013

The Decision Maker of Life

Saya boleh memberikan pandangan sendiri, kan?
Termasuk untuk hal ini, terlepas dari apakah orang lain setuju atau tidak setuju dengan pandangan saya.

Setiap orang sudah punya jalan hidupnya masing-masing, bukan?
Ya, bahkan memang ada yang telah ditetapkan dan tidak bisa diubah lebih tepatnya sudah tertulis di Lauh Mahfudz dan tinggal menunggu kapan takdir itu bisa terwujud dalam hidup kita. Tapi ada kalanya, orang menyebut "usaha", "ikhtiar", "upaya" dan sejenisnya supaya hal itu bisa lebih cepat terwujudkan, atau mungkin bisa diperlambat, atau mungkin juga berubah.

Memang kalau yang menyangkut itu, tidak akan pernah habis untuk dibahas. Maunya manusia tuh selalu membantah, "ah, biarpun sudah tertulis sejak kita belum lahir pun, gak ada salahnya kan buat terus berusaha."

Terutama jodoh.

Tapi saya gak tertarik membahas itu secara detail. Setidaknya untuk saat ini.

Memang benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang melarang manusia untuk terus berusaha. Bahkan cara termudah mengetahui orang yang masih punya semangat hidup dengan yang tidak adalah dari seberapa terus dan kuatnya nilai usaha dari dirinya. Dan bukan mustahil sesuatu bisa berubah karena usaha yang dibuat  manusia.
Hanya saja entah mengapa saya punya prinsip lain dalam hidup saya.

Sesungguhnya, setiap keputusan dari usaha apa yang akan kita lakukan, ada "tangan yang tidak terlihat" yang mengarahkan kita pada keputusan tersebut.
Ketika membicarakan tubuh, ada pilihan dari usaha yang dilakukan. Mau menjaga kesehatannya atau tidak? Keputusan yang nanti kita pilih saya yakin sebenarnya "tangan tidak terlihat" itu ikut berperan.
Berperan dalam konteks, baik positif ataupun negatif pilihannya menginginkan kita mempelajari apa dampaknya.
Kalau positif, yaaa beritahu ke orang-orang apa manfaatnya, apa nilai-nilai kebaikan didalamnya. Sebaliknya kalau negatif, ambil pelajaran yang telah kita rasakan dan bisa berikan peringatan untuk orang-orang yang supaya tidak perlu melakukannya.

Atau kalau mengenai jodoh. Pilihannya, mau bersabar menunggu yang terbaik buat kita atau grasak-grusuk kebingungan nggak jelas, meratap-ratap, sibuk cari pacar sana-sini, dan sebagainya.
Positif ataupun negatif itu keputusan dari tiap pilihan yang ada dalam hidup.
Dan lagi-lagi saya percaya bahwa ada yang berperan juga dalam menentukan keputusan kita.

Sebenarnya "dia" sudah tahu pada akhirnya kita seperti apa, hanya saja, mungkin, "dia" ingin menunjukkan dampak-dampak apa saja yang memungkinkan terjadi dalam hidup kita dari setiap keputusan tersebut.
Kalau ternyata kita adalah pencuri kelas kakap saat ini, itu keputusan kalian yang diarahkan olehnya. Kalau kita menjadi alim ulama nan bijaksana, itu juga keputusan kalian yang diarahkan juga olehnya.
Bukan berarti, ketika menjadi pribadi yang negatif, "dia" menuntun kita menjadi seperti itu.
Bukan.

Karena sebenarnya kita punya dua senjata paling ampuh dalam diri kita untuk tetap mengarahkan kita pada keputusan-keputusan terbaik.
Yaitu, doa dan Prasangka.
Doa mengantarkan kita untuk tetap berharap, bahwa setiap keputusan dari pilihan yang ada adalah yang terbaik dalam hidup. Dan prasangka, menjembatani diri kita untuk meyakinkan "dia" bahwa kita akan selalu percaya yang akan terpilih adalah hal-hal yang baik.

Sekeras apapun usaha kita, sekuat apapun, sehebat dan se-se-se lainnya, memang sudah ada yang mengatur. "Dia" tahu akhir dari perjalanan hidup kita akibat pilihan itu seperti apa, maka "dia" juga mengatur jalan ceritanya.
Kalau ternyata kita adalah pencuri kelas kakap, yaa akan selamanya sebagai tokoh itu, kecuali kita menggunakan senjata terampuh yang kita miliki.
Dan berlaku pula pada pilihan-pilihan yang dinilai negatif lainnya.

"Dia" adalah Allah.
Yang maha luar biasa, maha segalanya. Dia yang lebih tahu sifat-sifat dari setiap hambaNya, Dia yang lebih tahu mana yang paling baik bagi hambaNya.
Selalu gunakanlah dua senjata hebat itu, bukan untuk melawannya seperti jagoan-jagoan dalam film. Tapi justru untuk mendekatkan diri padaNya, untuk merebut perhatian dan kasih sayangNya.
Toh kita tidak dibutuhkan biaya untuk melakukannya. Mengapa sulit? Mengapa menganggapnya rumit?

Allah itu sesuai prasangka hambaNya, jika hambaNya berprasangka positif, maka Dia akan menuntunmu menuju hal-hal yang positif, begitupula sebaliknya.
Keputusan dalam hidupmu, yakinlah bahwa sebenarnya Dia sedang menuntunmu menuju yang terbaik. Kalau belum terbaik, terus gunakan senjatamu.
Karena keputusanNya tidak pernah salah, tidak pernah cepat atau lambat, tetapi selalu tepat.
Percayalah.


Rabu, 10 April 2013

Nek, Saya Rindu Padamu.

Saya sudah lulus, nek.
Dulu saya ingat, nenek yang pertama kali meyakinkan saya untuk kuliah di universitas ini. Meskipun saat itu saya amat sangat tidak yakin karena berbeda keinginan dan jurusan yang saya dapat.
Saya juga ingat ketika nenek selalu mengingatkan saya belajar, kapan ujian, bagaimana nilai-nilainya. Nenek ingin sekali melihat saya lulus.
Saya masih ingat, nek. Selalu.

Rasanya ketika disaat-saat terakhir engkau pun, permintaanmu sederhana. Hanya menanyakan, kapan saya pulang ke rumah. Dan saat itu saya sedang di Bogor, karena besok pun masih kuliah. Tapi memang salah saya, minggu kemarin saya tidak menyempatkan diri pulang ke rumah.
Dan seketika itu saya amat sangat menyesal, sampai sekarang.

Saya tidak tahu lagi, nek. Betapa saat ini saya sangat, sangat rindu padamu. Saya tidak malu ketika di bus umum ini saya memilih menangis diam-diam tanpa henti untuk beberapa menit yang tak cuma sedikit.
Rasanya saya ingin bertemu, memeluk nenek saat ini, dan bilang, "Pilihan nenek nggak pernah salah. Karena nenek lah saya bangga kuliah disini".
Sebagai pengganti diakhir saya pula yang tak sempat bertemu dengan beliau.

Saya selalu ingat, pesan-pesan sederhana nenek. Sederhana sekali. Supaya jangan melalaikan shalat, supaya bisa mengontrol emosi, supaya bisa lebih empati dengan orang lain, supaya jangan lupa baca quran setiap hari, jangan lupa sedekah setiap hari, banyak senyum ke orang-orang..
Sederhana. Tapi karena berkali-kali dilontarkan olehmu, berkali-kali diingatkan olehmu, saya rindu.
Saya rindu kata-kata itu muncul lagi, mengingatkan saya lagi.

Ah. Rasanya, kesalahan besar ini tak akan pernah mati bahkan sampai sekarang. Saya masih ingat ketika pagi-pagi bergegas pulang dan melihat nenek tidur dengan tenang, saya menahan tangis sekuat tenaga.
Dan pecah, tidak kuat seperti orang yang tidak tahu lagi harus bagaimana, seperti orang yang bingung, ling-lung, kacau.
Saya tidak ada. Nenek minta bertemu dengan saya, tapi saya tidak ada.

Nek, saya lulus.
Tapi nilai keseluruhan nya tidak sebagus teman-teman saya. Saya minta maaf ya?
Saya minta maaf sempat masih tidak yakin dengan kuliah saya, masih merasa kecewa mengapa diterima kuliah disini, bahkan masih sempat berniat keluar dari tempat kuliah ini. Tapi nek, saya sekarang sadar. Saya justru semakin mencintai tempat ini, saya bangga bisa menjadi almamater disini.

Nek, saya ingat ketika keluarga ini sempat diperbincangkan, dianggap tidak sopan, hanya karena tidak mau mengadakan tahlilan, yasinan atau apalah namanya itu untukmu.
Tapi kami yakin, kalaupun engkau ada, engkau tidak akan ingin kami melakukannya, kan? 
Tapi begitulah. Kami harus menerima dan siap telinga kami untuk mendengar segala omongan yang tidak sesuai. Saya sedih. Demi Allah, kami mencintaimu.
Semenjak itu, kami sempatkan tadarus bersama-sama, berdoa bersama setiap selesai magrib. Bahkan mama pun tak kalah sedih dan menyesalnya sampai sekarang.

Karena pada saat yang sama, mama tidak ada juga di rumah. Sama seperti saya.
Mungkin rasa bersalah saya masih kalah besar dibanding mama. Tapi saya rasa, intensitas kebersalahan ini sama saja.

Nek, saya mencintai anakmu. Saya mencintai mama. Sama sepertimu.
Terima kasih kau telah lahirkan sosok yang luar biasa, tidak kalah hebatnya denganmu. Terima kasih kau didik dia, kau tempa hidupnya hingga bisa sekuat ini. Terima kasih kau tak mengikuti rasa keputusasaanmu untuk menelantarkan mama saat mama masih sangat kecil hanya karena ketidaksanggupan finansial, hingga ia sekarang menjadi sosok ibu yang sangat luar biasa buat saya.
Buat saya, hingga saat ini, orang terkuat dalam hidup saya hanya mama saya.

Nek, saya mau membahagiakan anakmu. Saya mau membahagiakannya dengan cara sendiri, dengan kemampuan saya. Saya minta maaf jika apa yang saya inginkan tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan, tapi murni, saya ingin membahagiakan mama.
Saya mecintainya. Sangat mencintainya.

Nek, semoga saya bisa membahagiakan mama. Semoga jalan kesuksesan saya terus ada untuk membahagiakannya. Terima kasih, nek. Semoga Allah senantiasa menjagamu dengan baik, menyayangi dan mencintai nenek disana, karena saya sangat menyayangi dan mencintai nya sampai saat ini.


Nek, sungguh. 
Hari ini saya sangat rindu padamu.

Kalian Hebat!

Dari dulu, saya ingin sekali menjadi orang hebat, dengan cara saya sendiri, dengan kemampuan saya sendiri. Biarkan saya jelaskan terlebih dahulu alasannya, sebagai pembuka.

Karena masa kecil sayalah yang membentuk diri saya seperti ini.

Bukankah masa kecil bagi kebanyakan orang justru seharusnya dipenuhi dengan hal-hal yang membahagiakan, pertemanan yang menyenangkan, penuh canda tawa, dan tak perlu memikirkan hal-hal berat yang belum layak dipikirkan pada usia Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Dasar?
Tapi apa yang saya hadapi tidaklah semudah itu.

Saya ingin menjadi orang hebat dan itu justru karena kalian. Ingin bisa seperti kalian.
Waktu dulu, mungkin banyak teman-teman yang menganggap saya anti-sosial, sulit berbaur atau bergaul dengan mereka. Tapi saya yakin, inilah balasan mereka yang memang sedikit lebih tega terhadap saya.
Saya amat sangat jarang punya teman. Dan itu justru disaat masa-masa peer group seseorang sangat terbentuk, disaat hubungan sosial seseorang memang dibutuhkan untuk berkembang.

Saya lebih banyak menghabiskan bekal makan siang saya sendirian.
Saya lebih suka didalam kelas, mengerjakan buku-buku tugas dikala orang-orang asyik bermain bersama sahabat-sahabatnya.
Saya lebih suka datang telat ke sekolah, supaya ketika saya sampai ke sekolah langsung waktunya belajar. Tanpa harus menunggu dengan bermain-main dengan teman terlebih dahulu.
Saya lebih banyak berdiam diri di jemputan sekolah, baik saat berangkat maupun pulang.
Saya lebih memilih berjalan-jalan sendirian dikala orang lain sibuk tertawa-tawa dengan temannya.
Bahkan, saya tidak pernah jajan di kantin atau tukang jajanan sekitar sekolah sampai saya kelas 3 SD. Dan hal itu membuat kewajaran kalau saya amat sangat ingin tahu rasanya jajanan waktu kecil saya seperti apa.

Anti-sosial kah saya?

Sesungguhnya tidak. Ini hanya dampak awal negatif yang terjadi terhadap saya. Dimulai dari TK.

Saya merasa tidak sanggup ketika saya ditatap dengan tatapan yang seakan-akan saya pantas dibenci oleh dua orang yang satu jemputan dengan saya. Padahal sedikitpun saya tidak kenal mereka.
Saya menahan sakit ketika selalu dicubit yang amat sangat menyakitkan setiap kali baris di barisan bukan paling belakang, entah dalam hal apapun. Sekalipun saya tidak tahu alasannya apa.
Saya menahan rasa ingin tahu saya setiap kali jenis permainan yang ingin saya mainkan selalu direbut oleh teman-teman saya yang lain bahkan tak jarang justru mengusir saya.
Saya menahan semua rasa setiap kali saya dibilang "sok tahu", dicoret tangan saya dengan krayon atau pensil, mengalah setiap kali saya mendapatkan jatah pensil / krayon lebih bagus daripada orang lain, atau bahkan dicubit dengan amat sangat sakit kalau tidak memberi jawaban ketika ulangan.
Saya lebih memilih menikmati duduk-duduk paling belakang setiap hari Jumat, saat nya pelajaran shalat dan mengaji dibandingkan ikut bergerombol dengan teman-teman yang lain yang tak ingin juga mendapati kehadiran saya.
Saya yang amat sangat sedih ketika mendapati kakak saya segera lulus dari SD yang sama dan memulai hari-hari sekolah dengan sendiri sejak kelas 3 SD.

Tahukah kalian, bahwa saya amat sangat ingin seperti kalian?
Dimata saya kalian hebat, bahkan sampai sekarang pun saya memandang orang-orang yang saya kenal adalah orang-orang yang hebat.

Saya ingin cantik seperti kalian, bisa bergaul dengan mudahnya. Punya banyak teman, bisa menyanyi, bisa menggambar dengan indah sekali. Saya ingin pintar seperti kalian, berani berbicara di depan banyak orang, pintar bermain musik, rapi, bisa tertawa dengan lepas dan bahagianya, bisa dikenal guru-guru, mudah menerima pujian dan memuji antar satu sama lain.

Buat saya, kalian itu hebat.
Bahkan sampai saat ini saya akan menganggap orang-orang disekitar saya adalah orang-orang hebat.

Saya tidak punya apa-apa. Saya tidak pernah bermimpi bisa sehebat kalian, karena itu tadi.
Rasa minder saya sudah tertancap kuat sejak kecil.
Yang ada dalam diri saya sejak kecil hanya...
Saya ingin punya hal hebat yang bisa saya wujudkan dengan kemampuan diri saya sendiri. Meskipun saya tidak tahu, hal hebat apa yang pantas untuk diri saya sendiri.

Kondisi lingkungan, pertemanan yang jarang, membuat saya lebih suka habiskan untuk membaca, mengerjakan buku tugas yang bahkan bab nya belum dipelajari di kelas dan efeknya...

Karena kalian lah saya berjuang keras mendobrak rasa minder saya meskipun sampai saat ini belum sehebat kalian untuk bisa mudah bergaul dengan sesama.
Karena kalian lah saya memperjuangkan peringkat-peringkat di kelas dan bisa menjadi juara kelas.
Karena kalian lah saya mencoba terus menerus memberanikan diri saya dalam bersosialisasi dengan kalian.
Saya terus menerus mencoba belajar.
Itu karena kalian.

Saya berjuang mati-matian untuk bisa menghebatkan diri saya seperti kalian.
Meskipun sampai saat ini juga saya masih kalah hebat dengan kalian.

Lima belas tahun, terhitung sejak TK. Saya belajar banyak. Saya menemukan orang-orang hebat termasuk kamu yang mungkin sedang membaca tulisan saya. Dan saya selalu belajar akan satu hal.
Bahwa sesungguhnya setiap orang itu bisa menciptakan atau memunculkan kehebatan dari dirinya masing-masing.
Mungkin ada yang hebat dalam kompetisi, ada yang hebat dalam musik atau menyanyi, ada yang hebat dalam berkomunikasi dengan orang lain.
Diluar sana masih banyak orang hebat. Yang hafal Al-Quran, pengarang buku-buku terkenal, hebat dalam berorganisasi, merancang suatu konsep ide.
Bahkan mungkin diantara kalian yang masih menganggap diri kalian biasa aja, saya akan tetap menemukan kehebatan dalam diri kalian.
Ayo, sama-sama kita hancurkan rasa minder ini. Sama-sama ciptakan kehebatan masing-masing.

Buat saya, kalian akan tetap dan selalu menjadi yang terhebat sekalipun kalian menyangkalnya. Saya selalu ingin menjadi seperti kalian, untuk itu lah saya berterima kasih karena kalian.

Terima kasih. Karena kalian lah penyemangat hidup saya yang masih amat sangat biasa ini. Karena kalian lah saya belajar bahwa manusia semua adalah istimewa.
Terima kasih.
Karena kalian lah saya terus menerus ingin menjadi hebat.
Karena kalian lah saya mengerti rasanya berjuang melawan.
Dalam hidup.

Jumat, 05 April 2013

Sky's The Limit

Langit selalu sama
Langit ditempat saat ini aku melihat
    ataupun ditempat saat ini kau lihat
Akan selalu sama
Biru
Awan menggumpal berarak serasa mengikuti kemana arah angin menuju
Aku selalu suka langit
Bukan karena kamu juga menyukai hal yang sama
Kurasa mungkin kita jodoh
Kau wariskan semua kenangan pada langit
    ditempat saat kini kau berada
Dan
Saat aku melihat langit saat ini
    aku melihatnya
Saling berebut menyajikan potongan-potongan gambar tak bersusun
Memaksaku merunut segala kejadian
     dan mengenangnya tanpa batas
Hingga pada akhirnya kenyataan menyakitkan mengatakan
     dirimu akan selalu sulit direngkuh
Dengan cara apapun
Dengan taktik dan strategi apapun
Tidak ada metode nya
Lantas mengapa aku masih menyukai langit?
Sebegitunyakah aku mengharap padamu?
Atau sebenarnya kamu menyukai langit karena aku?
Biar berapapun pertanyaannya,
     jawabannya akan selalu sama
Dirimu terlalu tinggi dan tak akan mampu aku mencapaimu
Langit selalu sama
Dari dulu sampai sekarang
Biru
Mengagumkan
Menenangkan
Menakjubkan
Tanpa perlu kau wariskan kenangan pun aku akan tetap menyukainya
Sama
Karena aku pun tak punya alasan mengapa aku menyukaimu
Tanpa batas

Kamis, 04 April 2013

Infinitas Ikhlas

Muhiddin ga ikhlas banget kalau Riama lebih milih Togu daripada dia.

Bukan. Bukan tentang sinetron. Kebetulan iklan sinetron terkenal saat ini muncul tepat pada saat saya menulis tentang ini.
Tentang kamu.
Tentang kalian.
Tentang orang-orang hebat.
Tentang Ikhlas.

Terkadang hubungan antara sabar dengan ikhlas itu dekaaaat sekali. Saya juga belum pernah menemukan teorinya, jadi ini murni pemikiran saya. Ketika seseorang mampu bersikap sabar, sesungguhnya dia juga telah berlaku ikhlas. Maksudnya?

Bisa saya analogikan begini.
Seandainya kamu sangat tidak menyukai dikritik orang lain, dan pada kondisi saat ini ada orang lain yang mengkritik anda, pilihan anda cuma dua. Menerima atau menolak.
Menerima kritikan orang lain atau menolaknya.
Efeknya? Bisa macam-macam.
Menerima kritikan dengan terbuka, menerima kemudian kamu menangisi kekurangan diri sendiri, menerima dengan masa bodo, menerima kemudian memaki di belakang orang yang mengkritik.
Macam-macam. Begitu juga dengan menolak.
Menolak kritikan dengan sok kepedean kalau itu tidak benar, menolak sambil membalas kritikan yang baru untuk orang yang mengkritik kamu, atau menolak dengan emosi yang berlebihan.
Dan ketika kamu memilih pilihan yang meminta dirinmu untuk berlaku sabar dari kritikan dan menjadikannya pelajaran, sesungguhnya kamu juga telah mengikhlaskan bahwa memang setiap orang memang memiliki kekurangan dibalik kelebihan. Dan ada orang yang lebih baik dibanding kamu dalam hidup ini. Kamu harus bisa menerima hal itu.

Dari pilihan akan menimbulkan pilihan lain yang jumlahnya jauh lebih banyak.
Itu memang konsep hidup manusia.

Percaya atau tidak, ilmu sains memang mempengaruhi dalam hidup manusia.
Saya yakin kalian tahu infinitas atau bahasa ilmiahnya adalah ketakterhinggaan dengan lambang (∞). Lantas apa hubungannya?

Sekali lagi ini murni teori menurut saya. Saya hanya mengkait-kaitkannya saja dalam hidup manusia.

Tak terhingga artinya suatu yang besarannya melebihi kemampuan dari satuan, bilangan, atau apapun. Dia ada. Hanya saja memang tidak dapat ditentukan batasnya sampai mana terhadap sesuatu yang dinilai tak hingga ini.
Salah satunya ikhlas.

Saya rasa ikhlas yang dimiliki oleh setiap manusia harus bersifat tak hingga. Bilangan apapun bila nilainya positif akan bernilai besar untuk tak hingga. Begitu pula sebaliknya. Bilangan apapun bila nilainya negatif akan bernilai kecil untuk negatif tak hingga.
Semakin besar ikhlasmu mendekati tak hingga, semakin besar hatimu.

Ah, teori memang tidak sesulit praktiknya.
Memang. Siapa bilang mudah?
Orang sealim apapun, akan punya kemungkinan yang sama untuk mudah terkontaminasi peluruhan ikhlas dalam hidupnya.
Tinggal bagaimana mau melatih menjadikan ikhlas itu menjadi suatu infinitas.
Saya sendiri juga tidak sepenuhnya yakin bisa menjadi sehebat itu. Tapi mencoba juga bukan suatu hal yang dilarang, kan? Malah akan lebih baik efeknya buat hidup, orang lain, dan kamu.
Saling menasehatilah dalam kebenaran dan kesabaran.

Ikhlaslah dalam segala hal.

Menuntut ilmu lah dengan ikhlas hanya untuk Allah bukan semata-mata mengejar nilai apalagi mengejar jodoh.
Bekerjalah dengan ikhlas bukan semata-mata mencari uang.
Apabila ada musibah, ikhlaskan, karena pasti akan ada rezeki lain dikemudian hari.
Apabila sedih karena kesalahan diri sendiri atau orang lain, ikhlaskan, Allah akan menggantinya dengan kebahagiaan yang lain.
Apabila gagal terhadap sesuatu, ikhlaskan, karena Allah sedang menyiapkan keberhasilan untukmu dan mengajarimu bahwa didunia kesempatan berhasil bisa diperoleh oleh siapa saja.
Apabila tidak sesuai dengan keinginan dan harapan, ikhlaskan, Allah merencakan sesuatu yang jelas-jelas lebih baik dari apa yang kamu inginkan.

Ikhlaskan.
Semakin besar ikhlasmu mendekati tak hingga, semakin besar hatimu.

Karena ikhlas itu tidak ada batasannya. Dimanapun, kapanpun, kepada siapapun, dalam situasi apapun, dia menuntut dan dituntut untuk hadir dan dimiliki di dalam hati manusia.

Infinitaskanlah ikhlasmu.

***